“Ko Po Kyin, mengapa kamu hanya merasa bahagia ketika menjadi jahat? Mengapa semua yang kamu lakukan harus membuat orang lain menderita? Pikirkan dokter yang malang itu akan dipecat dari jabatannya, dan orang-orang desa itu, akan ditembak atau digebuki dengan bambu, atau dipenjara seumur hidup. Apa kamu perlu melakukan semua hal itu? Apa yang kamu inginkan dari menimbun uang padahal kamu sudah kaya?”

(Burmese Days, halaman 235)

Kekaguman saya terhadap karya Orwell makin besar. Karyanya yang sudah pernah saya baca sebelumnya yaitu Animal Farm. Saya suka bagaimana Orwell menuturkan kisah-kisah tokoh di dalam Burmese Days ini secara detail dan seolah saya sedang menjadi tokoh tersebut. Orwell mendeskripsikan latar kehidupan seorang pedagang kayu di Burma ini dengan sempurna. Saya yang semula tidak pernah berpikir tentang negara itu, mau tidak mau ikut “peduli” dengan apa yang ditulis oleh Orwell.

Novel ini seolah-olah ditulis dengan rasa sinis dan pahit yang menusuk. Hingga seringkali meninggalkan luka yang cukup besar ketika beristirahat untuk membacanya. Nyaris penuh dengan amarah pada bangsanya sendiri. Orwell menampakkan bagaimana bengisnya para penjajah di Eropa yang seketika itu juga mengubah pemikiran saya terhadap Inggris yang semula saya tempatkan lebih tinggi sedikit dibanding Belanda. Namun bentuk penindasan mereka ternyata sama saja, baik Belanda maupun Inggris. Bentuk kekejian mereka juga nampak sama meskipun apa-apa yang ditinggalkan tak sama.

Semua tokoh dalam novel ini seolah punya cacat watak yang pas untuk mendukung konflik dan jalan cerita. Tidak ada manusia yang sempurna, mungkin begitu penggambarannya. Tidak juga berat sebelah antara yang disebut sebagai pribumi maupun bangsa kulit putih yang mereka sebut sebagai “Tuan/Nyonya terhormat”. Amarah warga pribumi itu tergambar pada dendam kesumat salah satu tokoh cerita yaitu U Po Kyin sang Kepala Distrik Kyauktada pada tokoh dokter sipil India, dr.Veraswami. Sementara itu ada juga orang-orang pribumi yang memendam rasa semacam rasa kagum tapi benci pada orang-orang kulit putih yang datang ke negeri mereka untuk mengeruk semua keuntungan yang bisa mereka dapat di Burma.

Endingnya pun tidak terduga, dan sedikit mengecewakan menurut saya. Karena kisah cinta yang tak pernah berbalas adalah sebuah akhir yang menyakitkan bagi saya. Menemukan Flory, lelaki baik-baik yang memiliki sudut pandang berbeda dengan teman-temannya yang kulit putih itu membuat saya lebih memusatkan perhatian saya pada tokoh ini. Namun Orwell membuat hati saya patah dengan tidak menyuguhkan cerita ala negeri dongeng. Semuanya menjadi masuk akal memang, meski tidak membahagiakan.

Buku ini sebenarnya sudah lama menumpuk di rak buku saya selama beberapa tahun bahkan belum terbuka plastiknya. Termasuk buku tebal yang saya habiskan kurang dari satu minggu. Disamping menarik dan selalu memancing saya untuk selalu penasaran dengan apa yang akan dilakukan Flory selanjutnya, juga mungkin karena efek #dirumahaja yang membuat saya hampir putus asa karena bosan.

Diantara semua konflik yang terjadi dalam Burmese Days, kisah empat tokoh wanita dalam novel ini yang membuat saya lebih antipati lagi terhadap negeri para penjajah itu. Dua wanita kulit putih, yang satu istri pedagang kayu yang pemabuk dan peleceh, serta keponakannya yang belia. Menggambarkan bagaimana wanita Inggris sesungguhnya yang memiliki kebanggaan terhadap rasnya. Lalu dua wanita berkebangsaan Burma, yang satu gundik lelaki kulit putih dan yang lain istri U Po Kyin. Empat wanita ini cukup menggambarkan bagaimana nasib perempuan di masa itu (yang sebenarnya masih dialami sampai sekarang di beberapa negara) yang dianggap lebih rendah daripada gajah. Bahkan U Po Kyin berdoa agar kelak selepas mati jangan sampai kembali ke bumi menjelma menjadi seorang wanita. Sebab itu berarti setara dengan kodok dan tikus.

Emosi kita akan diaduk-aduk ketika membaca bab demi bab dalam novel ini. Selain membangkitkan rasa nasionalisme, novel ini juga memberikan saya wawasan tentang nasib-nasib wanita di luar sana sebelum kemerdekaan.

Burmese Days 

diterjemahkan dari Penerbit Penguin Books, 1986 karya George Orwell

Penerjemah : Endah Raharjo

Penerbit Diva Press, Cetakan Pertama Februari 2019, 482 halaman

4.5/5