Hari ke-28 #dirumahaja

Pagi itu usai dari pasar, seperti biasa ada tukang roti lewat dengan sepeda kumbangnya. Rotinya terkenal enak di kota ini, sudah begitu selalu fresh dan tidak pernah mengecewakan kalau kita memesan dalam jumlah banyak. Singkat cerita, Bapak penjual roti ini tiap pagi mengambil dari pabriknya di daerah Jl. Bandulan, sekitar empat kilometer dari kawasan rumahku. Karena roti di rumah sudah habis, aku pun berinisiatif untuk menyetop Bapak penjual roti itu di depan rumah. Ketika memarkir sepeda kumbangnya, Bapak itu tampak sedih dan lesu. Aku tidak berani bertanya mengapa,

“Roti tawar susunya satu ya Pak,” ujarku. Beliau mengangguk dan mengambilkan satu pack  roti tawar susu untukku, lalu sambil menatap mataku beliau mulai bercerita.

“Duh mbak, saya habis kena tipu pagi ini.” Ujarnya sambil menyeka keringatnya.

“Loh kok bisa Pak?”

“Iya tadi ada yang ambil roti, sudah habis 270.000 tapi tidak dibayar.” Ujarnya memelas. Aku menimbang. Benarkah yang ia katakan ini?

“Dimana Pak? Kok bisa? Kenapa ngga dikejar?” Tanyaku.

“Iya jadi habis belanja ini itu saya kasih rotinya. Katanya mau dibayar di depan rumahnya. Di Bandulan gang satu. Eh ternyata saya tunggu satu jam ada ini tadi, orangnya ngga nongol.”

“Astaghfirullah, lain kali jangan mau lah Pak dibawa kalau belum dibayar.”

“Iya mbak, saya juga ngga nyangka aja, Orang biasanya bayar kok mbak kalau ada orang mau ambil rotinya dulu.”

“Trus gimana Pak? Bapak gantiin dong?”

“Iya mbak, pabrik kan ngga mau tahu.” Ujarnya sambil menyerahkan roti tawar susu itu padaku. Luluh rasanya hati mendengar penuturan beliau di zaman yang serba sulit seperti ini. Sudah pelanggannya makin sepi, masih kena tipu lagi. Mudah-mudahan orang yang menipu beliau ini diberi hidayah dan tidak akan terjadi pada hidupnya seperti apa yang dialami oleh Bapak Penjual roti ini.

“Sabar ya Pak, mudah-mudahan diganti dengan lebih banyak oleh Allah.” Ujarku.

pict from unsplash.com/@picoftasty

Cerita itu sempat membuat adik perempuanku terenyuh dan di sisi lain adik laki-lakiku tidak percaya dengan cerita Bapak Penjual roti tadi. Ceritanya janggal dan tidak masuk akal, begitu katanya. Di masa-masa seperti ini ada banyak sekali orang yang gelap mata. Menyebar cerita bohongan agar orang bersimpati padanya. Lihat saja, besok pasti dia kesini lagi. Begitu kata adik laki-lakiku. Antara percaya dan tidak, memang.

Ah, biarlah itu menjadi urusan antara Allah dengannya. Kalau pun aku yang ditipu, aku tidak rugi suatu apa kecuali beberapa uang kembalian yang kubiarkan tetap ada di tangan Bapak itu. Andai Bapak itu benar tertipu maka suatu saat aku tidak akan menyesal karena sudah membantunya. Kedua perkara itu baik, yang penting kita sudah berbuat semampu yang kita bisa.

Kesulitan yang terjadi di zaman sekarang membuat kita harus benar-benar selektif memang, mana yang harus segera dibantu, mana yang bisa ditunda terlebih dahulu. Namun tidak menutup mata atas kemalangan yang menimpa orang lain.

Belum selesai dengan kisah penjual roti, aku ikut marah mendengar pemberitaan tentang penolakan jenazah yang menjadi korban Covid19. Mereka yang telah mati hatinya itu lebih berbahaya dibanding virus ini.

Mengutip kalimat yang ditulis oleh seorang kakak tingkat saya semasa kuliah, Mbak Pratiwi, seorang ahli mikrobiologi dan saat ini sedang menyelesaikan studi S3nya di Jermain, ikut geram dengan apa yang terjadi di tanah airnya sekarang ini :

Virus Corona ini berbahaya, bahkan sebelum dia masuk ke tubuh kita. Bahaya paling besar dari virus ini adalah mereplikasi ketakutan kita, rasa was-was kita, membunuh kemanusiaan kita.

Melihat mereka yang menolak pemakaman pasien Corona, mereka yang mengusir para tenaga kesehatan, mereka yang tak berempati pada mereka yang lemah. Coba periksa hati anda, siapa tahu di sana ada virus yang lebih ganas dari Corona. Semoga masih ada waktu untuk kita bertaubat.

Kita harus ingat bahwa mati itu pasti datangnya, meski sekuat tenaga kita menolaknya. Bukan karena virus, bukan karena bakteri, bukan karena darah tinggi, atau serangan jantung, bukan karena lapar, tapi karena TAKDIR. Ya TAKDIR! Tugas kita adalah berikhtiar dengan benar bukan abal-abal dengan Ilmu “Pokoke”.

Penghormatan dan apresiasi tertinggi pada perawat, dokter, pegawai rumah sakit, laboratory analis, semua yang terlibat, keluarga mereka, semua yang mendukung. Semoga Allah SWT. membalas jasa-jasa kalian dengan pahala terbaik.

Mereka yang mati syahid, mereka yang mati dengan baik di jalan Allah SWT., tidak peduli di mana mereka dimakamkan, Allah SWT. memuliakan mereka, malaikat menyambutnya. Jangan sampai kita menghinakan sesuatu yang sebenarnya mulia di hadapan Allah SWT.

Teriring doa.

Mudah-mudahan mereka yang menolak memberikan ruangannya untuk ditinggali oleh tenaga kesehatan, seperti yang terjadi di kotaku saat ini dibukakan mata hatinya. Orang-orang yang hanya terdiam melihat kezaliman di depan matanya, orang-orang yang mementingkan perut dan keselamatannya sendiri.

Mudah saja memang menjadi orang apatis. Namai saja dirimu dengan bangkai yang berjalan. Karena hati pun sudah tak ada gunanya bersemayam dalam jasadmu.

Sebelumnya :

Time Capsule #dirumahaja (1)

Time Capsule #dirumahaja (2)

Time Capsule #dirumahaja (3)

Memelihara Kehidupan Manusia #dirumahaja (4)

Menjadi Kuli Agar Kuota Internet Terbeli