Siang itu langkah kaki terhenti di depan sebuah hotel yang masih terbilang baru di Kota Malang. Hotel dengan tampilan minimalis namun indah. Begitu memasuki lobi, pandangan mataku terhenti pada sebuah papan pengumuman di dekat lift.

“Pertemuan AMAN (Asian Moslem Action Network) Lantai 1 Ruang Meeting Tlogomas.”

Begitu bunyi pengumuman yang kubaca. Aku pun segera memencet tombol lift untuk segera naik ke lantai satu tanpa perlu bertanya pada resepsionis. Begitu keluar dari pintu lift ada dua orang perempuan yang menyambut ramah dan menyalamiku dengan hangat. Keduanya tak pernah kukenal sebelumnya. Kami bertiga saling memperkenalkan diri. Lalu keduanya pun mengajakku langsung ke restoran untuk makan siang. Aku mengikutinya. Daripada sendirian, maka kuikuti saja beliau berdua menuju restoran.

Beliau bercerita banyak tentang anak dan kesehariannya di pekerjaan masing-masing. Sesekali mereka juga bertanya padaku, dimana aku tinggal, apa kesibukanku dan apa organisasi yang kuikuti. Serta banyak lagi pertanyaan basa-basi lain yang saling kami lontarkan selama makan siang berlangsung. Tak berapa lama, aku melihat dari kejauhan seorang wanita yang umurnya tidak jauh dariku, seorang kakak kelasku dulu di SD. Aku melambaikan tangan padanya.

“Oh Mbak Ivvana diundang juga, alhamdulillah, akhirnya kita ketemu disini.” Sapaku pada mbak Ivvana. Ia pun menyambut pelukanku erat, menjabat tanganku lama. Aku minta izin pada dua ibu-ibu yang sudah menemaniku tadi untuk pindah tempat duduk menemani Mbak Ivvana yang tampak sendirian menyantap makan siang.

Lama tidak berjumpa dengan mbak Ivvana kami saling bertukar cerita hingga tertawa lepas. Mengingat masa-masa kami pernah satu organisasi dan bagaimana kami terakhir kali bertemu.

“Jihan tambah kurus aja lho,” katanya.

“Masa mbak? Mungkin karena tiap hari olahraga angkat beban Mbak.” Sahutku asal sambil tertawa.

“Iya? Kok rajin?”

“Ya gimana engga Mbak, gendongin Isya tiga belas kilo setiap hari. Hahaha,” Mbak Ivvana ikut tertawa. Isya adalah anakku yang usianya sembilan bulan. Badannya gempal, kata orang mirip cosplay roti sobek.

“Jihan sudah berapa kali ikut dialog bareng AMAN?” Mbak Ivvana menutup makan siangnya dengan pertanyaan yang juga ingin kuutarakan padanya.

“Ini yang kedua kalinya Mbak,” jawabku singkat. Mbak Ivvana manggut-manggut. Tak lama kemudian fasilitator mempersilakan kami semua untuk segera masuk ke dalam ruangan meeting. Karena dialog akan segera dibuka.

Masing-masing dari kami yang datang sebagai undangan ternyata datang dari berbagai latar organisasi yang berbeda. Ada beberapa dari NU, Muhammadiyah, HTI, Salafi, bahkan Syiah dan Ahmadiyah pun turut hadir bersama kami. Jika sebelumnya dialog yang pernah kuikuti selalu berujung pada adu kepintaran dan argumen, siapa yang bisa menaklukan lawan bicaranya maka ia “tampak” benar. Maka tidak dengan dialog yang kuikuti kali ini.

Sebelum kami menghadiri undangan, sudah disampaikan bersama dengan undangan bahwa dialog yang kami ikuti ini adalah dialog dengan metode terstruktur. Jadi dialog tidak mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, namun memberikan pemahaman langsung dari sumbernya, mendengarkan apa yang ada di kepala orang lain tentang apa yang selama ini diyakininya. Kami belajar mendengar. Karena dengan lebih banyak mendengarkan kita akan lebih bisa membuka pikiran dan hati kita atas perbedaan. Kalau selama ini kita ingin lebih banyak didengar, dialog ini justru akan memberikan kita kesempatan untuk lebih banyak mendengar.

belajar mendengar

Beberapa fasilitator dari Asian Moslem Action Network juga sangat komunikatif dan adil. Mereka mengakomodir semua pendapat yang diungkapkan oleh peserta. Mereka juga memberikan hak untuk tidak menjawab dari pertanyaan yang diajukan pada sesama peserta. Jadi begini aturan mainnya, pertama-tama seluruh peserta yang berjumlah tiga belas orang itu akan diberikan waktu masing-masing dua menit untuk memperkenalkan dirinya. Timer selalu berjalan sehingga waktunya terukur dengan tepat. Tidak akan bisa lebih dari dua menit, namun jika kurang tak mengapa.

Setelah perkenalan, fasilitator mengajukan pertanyaan tentang topik dialog yang akan menjadi diskusi kami di hari itu. Tiga pertanyaan setiap sesi. Lagi-lagi masing-masing peserta juga hanya diberikan waktu dua menit untuk menjawab satu pertanyaan yang diajukan. Maka kami sebagai peserta pun harus pandai-pandai merangkai kata menjadi kalimat yang padat namun informatif dan bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. Menakjubkan, tidak pernah ada yang menyela ketika setiap peserta memberikan jawabannya! Semua juga patuh dengan aturan waktu yang sudah ditentukan.

AMAN

Setelah melalui sesi kedua dan ketiga, maka masuklah kita menuju sesi tanya jawab. Namun AMAN hanya memberikan empat penanya saja untuk pertemuan kali ini. Pertanyaan yang diajukan juga tidak boleh hanya tertuju pada satu perwakilan organisasi saja. Lagi-lagi, penanya juga hanya diberikan waktu dua menit saja. Uniknya, kita bisa memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kalau dirasa pertanyaan itu sensitif bagi kita. Setelah pertanyaan dijawab, penanya tidak boleh lagi menanggapi. Karena kalau ditanggapi lagi, akan jadi debat kusir nantinya, hihi… begitu seterusnya hingga pertanyaan satu demi satu terjawab. Suasana dialog jadi kondusif dan kita mendengarkan informasi penting dari sumber primernya. Ya, lagi-lagi belajar mendengar dengan baik.

Tidak lagi beranggapan, katanya, katanya dan katanya. Kami juga belajar memanage waktu bicara, menahan diri untuk tidak menyela atau memotong pembicaraan lawan bicara. Sungguh dialog berlangsung dengan nyaman, informatif dan yang paling penting tidak ada lagi mata saling memandang curiga.

belajar mendengar bersama AMAN

Ditambah informasi yang diterima oleh peserta dialog juga harus dirahasiakan. Cukup kita menjadi penengah ketika orang-orang dengan mudahnya diadu domba. Cukup kita yang menjadi pemadam kebakaran di kala orang-orang di sekitar kita sedang panas karena hoax yang menyebar dengan cepatnya. Yang paling penting, cukup kita tahu bagaimana orang memakai kacamatanya, memandang suatu keyakinan dengan sudut pandang mereka sendiri tanpa mengklaim bahwa pendapatnya paling benar diantara semua pendapatnya.

Agaknya acara-acara di TV yang selalu menampilkan ketegangan dan adu mulut harus mencontoh bagaimana AMAN mengelola diskusi dengan baik seperti ini. Yang nonton ngga ikutan panas, ngga ikut terprovokasi, Indonesia jadi aman dan damai selamanya. Saya jadi lebih banyak belajar mendengar, hal yang tidak mudah bagi beberapa orang.

“Ketika kamu berbicara, kamu hanya mengatakan hal yang kamu tahu. Tapi dengan mendengarkan seseorang bicara, kamu dapat ilmu baru,” – Dalai Lama

Bagaimana, sudahkah teman bloger belajar mendengar?