Kumpulan essay yang ditulis oleh redaktur Mojok.co ini selain lucu tapi juga menambah wawasan saya. Seperti misalnya kisah hidup Bapak Hatta yang akrab dengan buku. Bukan hanya akrab tapi sudah seperti darah yang mengalir dalam tubuhnya. Ah, saya jadi penasaran dengan buku yang dibaca mbak Prima. Eh apa dipanggil Cik Prima aja? Haha..
Seperti judulnya, Cik Prima mungkin terlalu merendah untuk meroket. Hehe, sebenarnya tidak sia-sia juga sih hal-hal yang dilakukannya selama ini hingga kumpulan essay yang diangkat dari kehidupan beliau sehari-hari ini menjadi sebuah buku. Karena saya percaya, tidak ada buku yang sia-sia untuk dibaca termasuk buku yang baru selesai saya baca ini.
Selain soal kisah bung Hatta, saya juga baru kepikiran soal warna telur asin! Oh iya tentu akhirnya saya ikut-ikutan googling apakah warna telur asin itu biru atau hijau? Penting banget ngga sih? Wkwk, ya namanya juga wawasan kan. Siapa tahu soal warna telur asin ini bakal muncul di kuis indonesia pintar. Bisa jadi.
Apa lagi? Ah, soal ke-typo-an seseorang yang sebenarnya receh sih tapi membacanya membuat saya tertawa juga. Selain itu soal orang-orang yang mendadak keminggris, sampai-sampai banyak ibu-ibu muda yang menamai bayi mereka dengan kata yang bahkan untuk diucapkan saja susah. Contohnya nih, bagaimana kamu mengeja Xavierhya? Safiera? Safira? Entah, hanya ibu dan ayahnya yang tahu. Saya yakin pasti yang bikin akta kelahirannya menyodorkan kertas dan pulpen pada ayah dan ibu sang anak untuk menulis namanya yang bahkan membingungkan untuk dieja. Tapi ya begitulah, orang-orang kita masih menganggap sesuatu yang berasal dari negara asing itu lebih hebat daripada apa yang ada di negeri sendiri. Ah, jangan-jangan saya juga masih demikian. Buktinya saya tidak menamai nama anak saya dengan Siti atau Budi atau Sri. Kasihan nanti kalau dia besar pasti akan dibully, dengan nyanyian,
“Srii kapan kowe bali?” hmm, saya tidak mau hal itu terjadi pada anak saya.
Oke kita kembali ke isi buku.
Saya juga kemudian mendadak berpikir, lumayan dalam, gegara epilog yang Cik Prima tulis. Perihal tulisan yang terpampang saat beliau mengunjungi Yayasan Insist. Bahwa hal besar dimulai dari hal kecil, seperti mencuci piringmu sendiri sesudah makan. Jangan tunggu orang untuk melakukannya. Mak jleb banget. Karena saya tipe orang yang seperti itu memang, suka menunda pekerjaan. Mendadak saya melihat sekeliling, ada selimut yang belum terlipat rapi, ada juga tumpukan pakaian yang belum disetrika. Kalau saya bisa melakukannya saat ini kenapa menunggu orang lain yang melakukannya? Kenyataannya saya masih disini, memandangi layar gawai dan mengetik review buku. Agar orang lain tahu bahwa menunda pekerjaan itu tidak baik.
Nah, tugas saya selesai. Saatnya melalukan hal lain yang tidak perlu menunggu besok atau orang lain yang melakukannya.
Cik Prim, terimakasih kisah-kisah recehnya, mungkin selera humor kita sama. Mulai dari ketypoan yang ngga ada faedahnya hingga epilognya yang indah~
Bahagia Mengerjakan Hal Sia-Sia
Cetakan Pertama, Februari 2019, 205halaman.
Penerbit @bukumojok