Khadijah : Ketika Rahasia Mim Tersingkap – Blog Jeyjingga 

Khadijah terpaku. Mulutnya tak mampu mengucapkan kata itu. Sebuah kata yang berawalan huruf “Mim”. Kata itu ternyata mengandung makna yang dalam. Sebuah kata yang diibaratkan sebagai kunci, rumus, dan juga sandi. Khadijah ingin merahasiakannya. Merahasiakan dambaan hatinya, kekasih juga sepupunya. Khadijah tak sendiri. Seluruh makhluk di jagat raya ini seolah telah menjadi seperti dirinya. 

“Mim”

Ketika dua bibirnya menutup rapat, seakan-akan udara yang ada dalam rongga mulutnya telah meniupkan cinta ke dalam hatinya. Cintanya yang teguh kepada seorang lelaki yang kelak menjadi Sang Nabi…

Review Khadijah : Ketika Rahasia Mim Tersingkap

kisah khadijah ketika rahasia mim tersingkap

Pasti kita semua sudah pernah mendengar bagaimana kisah Ibunda Khadijah radhiallahu anha. Kisah seorang perempuan tangguh, cerdas, lemah lembut namun juga teguh pendirian.

Perempuan pertama yang mengimani Rasulullah. Perempuan pertama yang menjadi cinta Rasulullah. Perempuan pertama yang diketuk pintunya oleh kekasih Allah, Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. Serta perempuan pertama dan juga satu-satunya yang memberikan Rasulullah keturunan yang suci lagi mulia.

Setiap kali membaca kisah Ibunda Khadijah melalui sirah Nabi maupun hadits-hadits, saya selalu berdoa agar Allah bisa memberi kesempatan untuk berjumpa dengan Ibunda Khadijah di surga kelak. Lalu ketika ada seri wanita penghuni surga dari Sibel Eraslan, kisah Khadijah dengan tajuk : Ketika Rahasia Mim Tersingkap menjadi perhatian saya setelah membaca kisah Maryam meskipun mungkin kita sudah sering sekali mendengar kisah perjuangan dan juga cinta beliau. Namun tetap saja novel ini sangat menarik untuk diikuti.

Gerbang Pembuka dari Rahasia Mim

Kisah Khadijah dimulai sejak dirinya tumbuh dari keturunan Nabi yang mulia. Jujur saja, saat membaca Sirah Nabawiyah saya belum pernah sebetah ini ketika membaca cerita sejarah. Tahu sendiri kan kenapa?

Nah, Sibel Eraslan berhasil mengolah sebuah kisah nyata menjadi cerita menarik tanpa mengurangi makna dan kemuliaan seseorang yang menjadi obyek di dalamnya.

Gerbang pembuka yang menjadi istri dari pewaris agama samawi Ibrahim.

Khadijah, dilahirkan dalam keluarga yang penuh syukur dan juga terhormat. Berasal dari keluarga Hasyim yang bersambung dengan garis keturunan Qusay bin Kilab, Luay bin Galib : sebuah keluarga yang sangat terkenal di Mekkah dengan sifatnya yang dermawan juga suka menolong orang-orang yang lemah.

Saat Mekkah dalam kondisi terpuruk, Qusay dan anak keturunannya mengirimkan berpuluh-puluh kuda ke Al-Quds untuk membeli gandum yang akan dibagi-bagikan ke masyarakat. Hasilnya masyarakat pun terhindar dari bencana kelaparan. Sejak saat itu, nama keluarga ini selalu dikenang dan dipanjatkan dalam setiap doa.

Keluarga yang namanya telah terhormat tersebut sebenarnya menantikan kelahiran seorang anak laki-laki yang bisa mewariskan budi baik dan keperkasaan keluarga tersebut. Khuwaylid dan Fatimah adalah sepasang suami dan istri yang sangat mencintai satu sama lain.

Khadijah adalah hadiah yang dikaruniakan kepada mereka. Mereka pun tidak bersedih hati menerimanya. Tak pernah mereka canggung untuk memeluk dan membelai anaknya yang pertama itu. Sosok yang selalu bangun di awal waktu, sosok yang cekatan, begitulah Khadijah.

Dari sang Ibu, Khadijah mewarisi jiwa kelembutan, terutama suka bersedekah dan menolong orang-orang lemah. Lalu lewat sang Ayah, turun kepandaian berkuda, berhitung, dan aritmatika. Lebih dari itu, ia juga dengan mahir mewarisi kemampuan bertahan dalam terik dan badai padang pasir, keahlian untuk tetap bertahan sehingga dapat sampai tujuan. Ia adalah kesabaran Khadijah.

Padang pasir saat itu merupakan medan kekalahan bagi siapapun yang tidak bersabar mengarunginya. Siapa saja yang tidak ramah tindak tanduknya, padang sahara tidak akan membiarkan seorang pun hidup di atasnya. Hamparan padang pasir luas mengepul bagaikan tungku raksasa. Di sini tidak ada penanggalan lain selain penanggalan Matahari dan Bulan. Seandainya kata-kata tidak memiliki kekuatan sihirnya, kemungkinan besar jantungnya terhenti.

Sabar dan mahir dalam berpuisi adalah dua warisan yang paling berharga dari mendiang ayah Khadijah, Khuwaylid bin Asad. Beliau adalah sosok yang tidak akan mungkin mudah menyerah terhadap aturan rimba padang pasir.

Bersabar bukan hanya sebatas bertahan terhadap segala rintangan. Sabar adalah tidak berbuat zalim meski mampu melakukannya – begitulah petuah orangtua pada anak-anaknya.

Khadijah juga mengingat pepatah yang mengatakan bahwa :

“Kata-kata memiliki kekuatan bagaikan belati yang selalu penuh siaga di rangkanya.

Kisah Khadijah dan Baitul Atik

Pepatah yang telah disebutkan di atas bagai anting yang selalu menempel di telinga Khadijah. Seakan jawaban dari kata-kata puisi dan belati atas kejadian di sumur ZamZam di sekitar Baitul Atik saat jemparing diarahkan ke teman dekatnya, Abdul Muthalib, baru saja ia saksikan di hari kemarin. Hampir saja seluruh Mekkah bersatu untuk melawan Abdul Muthalib.

Saat orang-orang Mekkah tidak menghendaki Abdul Muthalib sebagai pewaris kedua untuk membangun sumber kehidupan sumur ZamZam yang telah ditimbun pasir hingga ke permukaannya, ketika itulah para pemuka Mekkah saling menghunuskan jemparing dan belatinya.

Namun Khuwaylid, ayahanda Khadijah berhasil membendung amarah mereka dengan kilau belati yang terhunus dari puisinya yang terucap.

Keberanian bukanlah berarti tidak takut. Keberanian adalah sabar menanti pada tempat yang semestinya meski dalam keadaan takut sekalipun – kata sang Ayahanda pada Khadijah.

Sungguh indah nasihat serta teladan yang diberikan oleh Ayahanda pada Khadijah. Tak heran, cinta pertama Rasulullah di dunia ini tumbuh menjadi wanita yang sangat dihormati, disegani, sekaligus dipuja puji karena sifatnya yang sabar dan empatinya yang tinggi.

Bahkan diceritakan pula dalam novel ini, Khadijah banyak sekali menolong budak wanita dan juga orang-orang yang lemah di kotanya. Seluruh kota mendoakan kebaikannya. Begitulah Khadijah, pun juga sangat bersabar ketika menemani Rasulullah melewati ujian demi ujian dalam medan dakwah beliau berdua.

Teladan Ibunda Khadijah

Novel ini menceritakan sosok Khadijah sejak beliau lahir hingga jatuh ke pembaringannya setelah menemani dakwah Rasulullah. Kisah yang sungguh indah dan mampu diungkapkan oleh Sibel dengan sempurna. Saya seolah dibawa masuk ke dalam kehidupan Ibunda Khadijah di masa-masa Mekkah yang kelam dan penuh dengan kemaksiatan. Dimana jalanan tidak aman bagi perempuan, entah itu siang terlebih malam.

Bahkan ketika bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena kelahirannya yang menurut kebanyakan penduduk Mekkah itu adalah aib, keluarga Khadijah tidak demikian. Khadijah tetap diperlakukan dengan baik oleh orangtuanya, dilayani sebagaimana putri raja. Meskipun tradisi Mekkah begitu menyesakkan dada.

Kehidupan Khadijah laksana perjalanan panjang yang sebenarnya dalam kehidupan. Sebagai orang pertama yang mengimani agama yang baru, sekaligus sebagai salah satu penebar dakwah pertama, Khadijah banyak mendapat perlawanan tajam dari lingkungan maupun bangsawan Mekkah. Selain itu di sisi lain, Khadijah juga berperan dalam masalah-masalah yang berlaku umum. Bisa dikatakan, dirinya hampir tidak pernah luput dari perhatian kehidupan duniawi.

Khadijah berdiri teguh diantara berbagai penderitaan yang mendera.

Sibel Eraslan menggambarkan Ibunda Khadijah tak kalah kerennya dengan Superhero di luar sana. Tidak kalah dengan Wonder Woman yang digandrungi anak-anak usia muda. Khadijah juga seperti ibu rumah tangga sebagaimana saya dan juga mungkin juga teman-teman pembaca. Namun beliau digambarkan tidak pernah merasa terbebani, tidak ada penyesalan dalam hatinya, tidak juga pernah mengerutkan alis. Dia adalah lautnya Mekkah, dia juga adalah cinta.

Kita akan dibawa hanyut dengan emosi. Senang ketika Khadijah menikah dengan Rasulullah, senyum dan berdebarnya jantung beliau seakan juga bisa saya rasakan. Sedih ketika beliau wafat di samping Rasulullah, hingga Rasulullah bersabda :

Perkara mana yang harus aku tangisi? 

Hingga mereka semua (penduduk Mekkah) menyebut tahun itu sebagai Sanatul Hazan atau tahun duka cita. Karena kepergian sang pelindung besar, Abu Thalib pun juga berselang hanya tiga hari dari kepergian ibunda Khadijah.

Bagaimana Ibunda Khadijah, Ketika Rahasia Mim Tersingkap ini dikisahkan dalam novel yang sungguh memikat? Belajar sejarah serasa menyenangkan dan lebih masuk ke dalam qalbu karena karya Sibel yang menurut saya sungguh fantastis. Yuk ikut baca novelnya, Khadijah : Ketika Rahasia Mim Tersingkap sambil mengenang bagaimana kemuliaan dan juga kesabaran beliau ketika menemani Rasulullah dari awal hingga akhir.