“Dari pengalaman aku tahu, perkawinan bagiku tidak lagi merupakan tanda percintaan yang disatukan. Itu adalah pengesahan hukum yang dikarang manusia, di mana dua orang yang barangkali saling mencinta, setelah lima, sepuluh atau dua puluh tahun hidup bersama, tidak lagi menemukan pokok pembicaraan yang menarik satu sama lain. Dua orang yang kemudian disebut suami-istri, yang melanjutkan kehidupan sebagai otomat tanpa berpikir maupun berkehendak.”

Rina, La Barka halaman 185

La Barka adalah nama sebuah tempat yang menjadi persinggahan banyak orang di sebelah Selatan Prancis. Salah satu musafir itu adalah Rina, sahabat Monique, perempuan Prancis pemilik La Barka. Rina adalah perempuan Indonesia yang menikah dengan lelaki Prancis. Ia datang untuk berlibur sekaligus menunggu proses perceraiannya selesai.

La Barka sudah seperti rumah bagi dirinya yang yatim piatu dan dibesarkan di lingkungan biara. Keramahan Monique, keluarganya, serta kawan-kawannya membuat Rina tak merasakan kesepian pasca perpisahannya dengan suami.

Dalam proses perceraiannya itu Rina menjalin hubungan dengan seorang lelaki berkebangsaan Vietnam. Seorang wartawan ternama yang bertugas di Timur Tengah. Ia mampu memikat Rina hingga setiap minggu Rina mengiriminya surat. Ia curahkan seluruh isi hatinya di setiap surat-surat yang ia tujukan untuk wartawan itu. Namun takdir memang tak berpihak pada Rina. Jalinan kasihnya kandas setelah dua tahun ia melewati segala hari-harinya dengan pria Vietnam itu.

Dua bulan Rina menunggu pesan balasan dengan rasa cemas dan kekhawatiran yang tak sudah-sudah. Bahkan ia menutup hatinya rapat-rapat untuk lelaki lain yang silih berganti mengisi hari-harinya di La Barka. Mulai dari Rene hingga Robert. Mereka singgah, mencuri perhatian dari Rina yang tetap kekeuh membentengi hatinya. Menjaga pertahanan terakhirnya untuk lelaki yang selama ini tak lelah memberinya kabar lewat surat-surat.

Namun takdir menyakitkan itu justru diterima Rina dari orang lain. Kabar yang selama ini dinantikan nampaknya sia-sia. Semua rencana Rina bersama dengan anaknya kini kandas. Namun bukan Rina namanya jika ia tak punya rencana lain untuk kehidupannya di masa mendatang. Perempuan memang harus mandiri, baik secara finansial maupun kecakapan.

Selama penantiannya sekaligus masa liburannya di La Barka, Rina banyak menjumpai perempuan-perempuan kawan Monique yang sempat bermalam di sana. Ada yang seminggu, sebulan bahkan ada juga yang hanya semalam. Rina menjadi tahu bagaimana kehidupan mereka. Perceraian, penghianatan, kesetiaan, hingga harga diri yang harus dipertahankan di depan semua orang meskipun harus menahan sakit yang terpendam dalam-dalam.

La Barka Cover

Novel ini benar-benar menghabiskan seluruh waktu saya. Melahap novel ini dalam waktu singkat ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan di awal. Isu-isu perempuan seperti ini selalu menarik hati dan pikiran saya. Seolah terbawa ke dalamnya, saya menjadi ikut gusar dengan berbagai permasalahan yang dialami oleh setiap tokoh. Contohnya Rina, bagaimana ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki tanpa ikatan. Mereka memang bersepakat untuk sama-sama membebaskan satu sama lain. Namun saya melihat bahwa dalam kasus percintaan, tidak sedikit pihak perempuan yang dirugikan.

Orang-orang akan tahu bahwa seorang perempuan yang tak sengaja mereka temui di rumah makan adalah seorang janda. Namun mereka tak akan pernah tahu bahwa lelaki di depan meja mereka juga duda. Laki-laki dengan pesonanya selalu memikat dan tak pernah menampakkan bahwa mereka sedang sendiri atau tidak, kecuali jika mereka mengatakannya sendiri. Apalagi di Indonesia, stigma negatif seorang janda selalu melekat dan menjadi strata sosial yang harus dinomor duakan ketika seorang lelaki ingin melamarnya sebagai pasangan yang sah di mata Undang-undang.

Pertanyaan-pertanyaan seperti,

“Kau masih gadis?”

“Kau janda cerai atau janda mati?”

“Berapa anakmu?”

Pertanyaan itu agaknya jarang ditujukan pada lelaki yang mengaku dirinya duda atau bahkan sudah memiliki istri. Mengapa harus perempuan?

Kisah-kisah yang dialami oleh Rina selama di La Barka dalam buku ini tak bisa dianggap sekedar lalu, ada suara-suara pilu perempuan yang sering dianggap tabu. Padahal nyata untuk didengar dan diungkapkan agar semua orang tahu. Agar semua lelaki mendengar dan membaca kepiluan ini. Sehingga mereka tahu akan bagaimana mereka harus bersikap pada perempuan mereka. Menjaga perempuan mereka.

La Barka, by NH. Dini
Penerbit GPU, Cetakan ke-5 April 2019, 248halaman.

Baca Juga Perempuan Tangguh Era Milenial dan Drama Korea