Iwan Setyawan, seorang penulis national best seller yang berkisah tentang Ibuk. Novel terbitan Gramedia ini saya dapat dari pinjaman seorang sahabat di tengah masa karantina kami selama empat belas hari. Melihat judulnya yang khas, ibuk, seperti panggilan Isya pada saya. Akhirnya saya memilih untuk menyelesaikan novel ini dibanding bacaan lain yang sedang menggunung.

Hasilnya? WOW. Tidak menyesal membaca novel ini di tengah kesibukan WFH, mengurus anak sendirian, menata hati, dan mengerjakan pekerjaan rumah karena asisten rumah tangga terpaksa tidak boleh datang. Oleh karena itu waktu membaca saya hanya beberapa menit dalam sehari. Alhamdulillah, daripada tidak ada sama sekali, hehehe… seringkali membaca sebelum tidur, namun berakhir dengan tertidur sebelum habis dua halaman.

Hangatnya Kota Batu dari Kisah Iwan Setyawan

city of iwan setyawan

pict from freepik/@rawpixel

Membaca novel ini membuat saya bernostalgia dengan perjalanan ke Kota Batu, tiga puluh menit jarak tempuh dari kota tempat saya tinggal. Dinginnya, sejuknya, warna-warni bunganya, kebun-kebunnya yang penuh dengan buah-buahan segar, serta susu sapi murni khas alun-alun Batu yang menyehatkan itu. Iwan Setyawan ini ternyata memang lahir di Batu dan menjadi lulusan terbaik MIPA IPB di tahun 1997.

Saya pikir, novel ini tersirat menceritakan tentang kisah Iwan Setyawan sendiri bersama dengan keluarganya. Versi bahasa Inggris dari novel ini berjudul 9 Summers 10 Autumns, Dari Kota Apel ke The Big Apple yang memang menceritakan tentang perjalanan hidupnya sebagai anak sopir angkot yang berhasil menaklukkan New York City. Ternyata buku ini meraih national best seller dan penghargaan sebagai Buku Terbaik Jakarta Book Award 2011 dan Saniharto Award pada tahun yang sama.

Hangatnya keluarga Ibuk yang diceritakan dalam novel ini juga membawa saya pada kenangan masa kecil bersama keluarga besar kami ketika masih tinggal di rumah induk milik kakek. Kehangatan keluarga di tengah dinginnya kota Batu digambarkan dengan sangat baik dan penuh hikmah oleh Iwan Setyawan. Beberapa bagian membuat saya terharu dan melihat realita di sekitar yang diwakili oleh novel ini.

Buah Manis Perjuangan

baby and ibuk

pict from freepik

Seperti sepatumu ini, Nak. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat, -Ibuk

Saat itu usia Tinah masih sangat belia. Tinah yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Bahkan sekadar tamat SD pun tak bisa. Tinah yang ayu, pendiam dan tentu saja pintar. Justru harus puas dengan takdirnya untuk meneruskan usaha neneknya di Pasar Batu. Namun dari pasar Batu inilah Tinah belajar banyak hal. Hingga suatu pagi di Pasar Batu ternyata mengubah hidupnya.

Sim, seorang kenek angkot, seorang playboy pasar yang berambut selalu klimis dan bersandal jepit, hadir dalam hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata yang tidak disengaja. Hingga keduanya saling jatuh cinta, memantapkan hati untuk membina rumah tangga. Keduanya pun menikah dan mereka pun menjadi Ibuk dan Bapak.

Lima anak terlahir sebagai buah cinta dari keduanya. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh perjuangan. Angkot yang sering rusak, rumah mungil yang bocor di kala hujan, biaya pendidikan anak-anak yang tidak sedikit, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan dihadapi Ibuk dengan tabah dan kuat. Air matanya membuat garis-garis hidup semakin indah.

Cerita sederhana namun nyaris menguliti satu demi satu permasalahan kita sebagai manusia. Ya, untuk siapa saja yang membacanya. Bukan hanya pembaca dengan kisah yang mungkin tak jauh berbeda. Bahkan bagi mereka yang sekarang berada di puncak kesuksesan, merasakan kenikmatan nasi goreng seafood dari restoran mahal, mandi air hangat, dan berbagai fasilitas lain yang memanjakan. Kisah Ibuk sejatinya memang kisah kemanusiaan. Jadi menurut saya siapapun akan merasakan hatinya menghangat ketika membacanya.

novel iwan setyawan

Ibuk oleh Iwan Setyawan
Penerbit Gramedia, Jakarta.
Cetakan Pertama, Juni 2012, 293 halaman
3.5/5

Baca Juga Suara Pilu Perempuan di La Barka, Review