Khutbah Salat Idul Adha selalu membahas tentang keikhlasan Ismail, Ibrahim serta Ibunda Sarah dalam menghadapi ujian yang diberikan Allah. Namun kali ini kita akan memetik hikmah dari cinta Ibrahim, Sarah, Hajar, dan Ismail.
Hampir-hampir setiap khatib menangis ketika membacakan ayat-ayat dalam Quran yang berkaitan dengan pengorbanan mereka. Teman bloger pastinya sudah nglonthok alias hapal dengan cerita tersebut. Maka dalam tulisan ini saya lebih menuliskan tentang refleksi diri tentang bagaimana Ibunda Sarah dan Ismail sebagai keluarga dari Nabi Ibrahim yang sejarah keikhlasannya termaktub dalam Al-Quran.
Perjalanan Sarah
Sarah dikenal sebagai wanita terbaik pada zamannya. Selain cantik, ia juga cerdas. Nabi Ibrahim sangat mencintainya. Ia juga sangat mematuhi perintah suaminya. Ujian pada pernikahan mereka berawal ketika Ibrahim dan Sarah hijrah ke Mesir karena dakwahnya tidak diterima di Babilonia. Nabi Ibrahim dan Sarah memutuskan untuk hijrah ke Baitul Maqdis dan tinggal di Harran, sebuah daerah dekat Syam. Tidak beda dengan penduduk Irak, penduduk di Harran pun menyembah bintang dan patung. Di daerah itu, Ibrahim AS diutus Allah untuk menghilangkan segala kebatilan dan kemungkaran.
Saat itu Mesir dipimpin oleh seorang raja kafir yang suka berfoya-foya dan zalim. Raja itu bernama ‘Amr bin Amru’ Al-Qais bin Mailun. Ketika itu, Mesir berada dipimpin seorang raja yang dikenal zalim, suka foya-foya dan gila wanita. Setiap mendengar ada wanita cantik, ia selalu ingin memilikinya. Jika wanita itu telah memiliki suami, ia akan memaksa suaminya untuk menceraikan istrinya. Jika wanita itu adalah saudara dari seseorang yang dikenalnya akan ia tinggalkan.
Kedatangan Ibrahim dan istrinya yang sangat cantik diketahui oleh pengawal kerajaan. Pengawal itu langsung memberitahukan perihal tersebut kepada rajanya. Ia berkata Ibrahim datang bersama seorang wanita yang sangat cantik. Hasrat sang raja tiba-tiba menggebu dan menyuruh pengawalnya untuk memanggil mereka berdua. Ibrahim pun datang menemui raja yang zalim itu.
Firaun: Siapakah wanita yang bersamamu itu?
Ibrahim: Saudariku.
Ibrahim kemudian berbisik kepada istrinya, jangan katakan bahwa kau adalah istriku agar selamat.
Rasulullah bersabda, Ibrahim tidak pernah berbohong kecuali tiga kali. Pertama, perkataannya ketika diajak untuk beribadah kepada berhala Tuhan mereka dan Ibrahim menjawab, sesungguhnya dirinya sakit. Kedua, perkataannya patung besar itulah yang melakukannya. Ketiga, perkataannya tentang Sarah, Sesungguhnya dia saudariku’.
Inilah hikmah cinta Ibrahim pada istrinya. Sarah termasuk wanita yang kaya dan masih saudara dari Nabi Ibrahim Alaihi Salam. Selain cantik, ibunda Sarah tergolong murah hati karena memiliki banyak kambing dan lahan yang luas. Sang ibu menghibahkan semua itu kepada nabi Ibrahim untuk diurus dan dikembangkan. Ketika perintah Allah tentang risalah kenabian turun dan diperintahkan menyampaikan risalah itu kepada kaumnya, tidak satu pun yang mau menerima ajakan Ibrahim, kecuali Sarah dan Luth. Karena itu, Ibrahim dan Sarah yang pada waktu itu menetap di Babil (Irak) memutuskan untuk hijrah ke Harran, sebuah daerah dekat Syam.
Berita Menggembirakan di Usia 90 Tahun
Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, Nabi Ibrahim dikenal sebagai orang yang menghormati tamu. Suatu hari datanglah seseorang ke rumahnya. Seperti biasa, Ibrahim menyuruh Sarah menghormati tamu. Sarah dipintanya menyembelih anak sapi yang gemuk. Setelah selesai dipanggang, daging itu disuguhkan. Tamu itu rupanya sosok malaikat yang mampir ke kediaman Ibrahim karena diperintah Allah memberi kabar gembira. Sarah akan mengandung bayi. Sarah kaget dan heran, karena sudah tua, berumur lebih dari 90 tahun. Kabar itu membuat pasangan ini berbahagia, karena setelah puluhan tahun berumah tangga, akhirnya akan memiliki anak. Hikmah cinta Ibrahim pada istrinya, akhirnya berbuah pada kebahagiaan.
Bayangkan, usia 90 tahun baru dikaruniai anak. Maka buat para wanita di luar sana yang menantikan buah hati, tetap semangat ya! Karena sesungguhnya takdir atau ketetapan Allah itu tidak akan pernah merugikan kita. Ketetapan Allah pada umatNya selalu berdampak baik bagi dirinya. Begitu indah perkara seorang Muslim, ketika diberi ujian ia bersabar dan ketika diberi nikmat ia bersyukur. Begitulah hakikatnya kehidupan kita. Jadi apa yang sudah ditetapkan bagi kita, jangan pernah mengeluh. Bahkan ketika tidak kunjung diberi amanah berupa buah hati.
Kalau Ibunda Sarah saja bersabar menunggu hingga di usianya yang 90 tahun, maka kita pun hendaknya juga bisa meneladani beliau. Tetap optimis dan selalu berpikir positif bahwa setiap ketentuan Allah adalah baik.
Kabar yang dibawa malaikat untuk Ibunda Sarah di usianya yang 90 tahun ini, tentu saja membuat Sarah dan Nabi Ibrahim sangat gembira. Inilah bagaimana Nabi Ishaq alaihissalam dilahirkan oleh Ibunda Sarah di usianya yang sudah renta. Karena tidak ada yang tidak mungkin di hadapan Allah.
Sebelum itu, Ibunda Sarah memang telah menghadiahkan seorang budak yang diterimanya dari Raja Mesir pada Nabi Ibrahim untuk dinikahi. Ialah Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail alaihissalam. Ketika Ibunda Sarah merasa mandul, tidak mampu memberikan keturunan pada Nabi Ibrahim, ia mencoba melapangkan hatinya demi mendapatkan keturunan.
Cinta Ibrahim, Sarah, Hajar, dan Ismail
Meskipun Ibunda Sarah merestui Nabi Ibrahim untuk menikahi Siti Hajar, tetap saja ada api cemburu yang terpercik diantaranya. Apalagi setelah Siti Hajar melahirkan Nabi Ismail. Begitulah, manusiawi rasanya ketika saya memposisikan diri sebagai Ibunda Sarah. Sebagai seorang wanita yang merasa tidak bisa memenuhi apa yang bisa diberikan oleh wanita lain, tentu saja cemburu adalah hal paling manusiawi.
Cemburu adalah nama lain cinta. Allah menciptakan cinta penuh dengan keindahan, pun Allah pun ciptakan cemburu yang penuh ego (sumber kerusakan) agar kita belajar kesabaran dan keikhlasan. Meskipun Siti Sarah merestui suaminya menikahi Hajar namun setelah Ismail dilahirkan api cemburu menyala di hati Sarah. Menyayangi Ismail anak kandung suaminya tapi asap cemburu pada Hajar tetap ada. Agar asap itu tidak berubah menjadi api yang membakar, Nabi Ibrahim pun memindahkan atau memisahkan Hajar dan Ismail dari Sarah. Andai kita adalah Hajar, apa yang akan kita lakukan?
Terpisah dengan suami adalah bagian terberat bagi seorang wanita, terlebih lagi kondisinya setelah melahirkan.
Tiba di lembah gersang Ismail yang masih bayi itu menangis kehausan. Lalu Siti Hajar berjuang sendiri diantara dua bukit dibawah terik matahari menyengat mencari sumber air. Berjalan dan berlari sambil menggendong Ismail yang menangis, sang ibunda mencari sumber air sampai kemudian menemukannya. Peristiwa ini dikenang hingga menjadi salah satu rangkaian yang harus dilakukan dalam ibadah haji. Berjalan dari Bukit Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali dalam haji/umroh adalah ritual untuk mengenang cinta dan kesabaran seorang ibu yakni perjuangan Siti Hajar.
Kisah Ibrahim yang taat dan tunduk kepada Allah untuk memenggal kepala anak yang dicintainya. Lalu keikhlasan Ismail yang bersedia untuk menjadi “kurban” atas kecintaan pada ayah dan ketaatan pada perintah Allah adalah hikmah yang tidak bisa dipisahkan dari sikap dan sifat Siti Hajar. Andai saya menjadi Ismail pun, tentu saya juga tidak rela berpisah dengan Ayah dan Ibu di usia belia. Namun Ismail alaihissalam punya level ketauhidan yang berbeda, bahkan ketika ia belum beranjak dewasa.
Sebagai manusia saya pun tidak sanggup untuk sampai pada level ikhlasnya Hajar merelakan anaknya yang teramat dicintainya akan dikurbankan. Jangankan dikurbankan, kepalanya terantuk tembok saja saya udah menjerit. Lebay ya. Biarin. Inilah yang saya rasakan bagaimana rasanya menjaga amanah Allah itu. Terlebih lagi saya juga merasakan sebagaimana yang dirasakan oleh Ibunda Sarah. Lama tidak diberi momongan, bahkan mandul.
Jadi ketika ada amanah yang dititipkan Allah pada kita, bukan main senangnya. Namun Allah menguji kembali keikhlasan kita dalam menjalani hidup karenaNya dengan titah menyembelih anak sendiri. Peristiwa tersebut tentu saja juga tidak terpisah dari hikmah sikap-sifat manusiawinya Sarah yang memendam setia, cinta-cemburu dan kerelaan menjadi satu didalam dada yang lapang.
Sungguh tiada kisah yang lebih indah dan mengajarkan tentang kesabaran, keikhlasan dan teladan penuh hikmah dari cinta Ibrahim, Sarah, Hajar dan Ismail.
Baca juga : Penyelenggaraan Idul Adha Saat Pandemi
[…] Baca Selengkapnya […]
Andai aku menjadi Bunda Hajar atau Bunda Sarah, pastilah sudah berkata “why me?”
Pun ketika aku menjadi Ismail…
Mereka manusia, sama sepertiku. Namun, level keimanan dan ketauhidan sangatlah jauh.
Sebuah teladan keihlasan dan kesabaran yang sangat bagus .
keikhlasan dan kesabaran tingkat tinggi
Ketika terasa berat membesarkan anak sendirian…kisah ibunda hajar yang sll memotivasi..bahwa sungguh ujian sy tidaklah seberapa….
itu adalah kisah orang beriman yang levelnya sangat tinggi ya.. Masyaallah. Makin terasa kalau kedewasaan dan keimanan masih sangat terbatas
Andai aku Sarah, mungkin aku akan bisa kuat menghadapi dunia yg seperti menjauh dariku. Tapi aku bukan Sarah sehingga masih sering terkena penyakit hati. Hiks…
Andai aku Ismail, mungkin aku akan rela saja terlukai asalkan ayah menjalankan perintah-Nya. Tapi aku mah malah cengeng merengek2 kalau ada apa-apa teh, nyusahin, malah sering nyakitin. Hehe
Pengorbanan cinta dari Ismail, Hajar dan ibrahim mengajarkan kita arti sesungguhnya dari ketaatan dan keyakinan yang kuat ya mba? Duh, apalah diri ini
[…] pasangan hidup adalah salah satu upaya agar kelak kita memiliki rumah tangga yang bahagia. Terlebih ketika menjadi […]