“Maling singkong dipenjara 10 tahun? Sudah gila ya negara ini?” Ujar seorang Ibu yang sibuk mengiris beberapa sayur yang akan dimasaknya sambil menonton televisi.
Potret negara kita yang sungguh benar-benar terjadi di sekitar kita. Bukan karangan atau cerita fiksi tanpa dasar. Itulah paling tidak yang saya ingat ketika membaca karya Mochtar Lubis ini. Ia berpendapat tentang ciri-ciri Manusia Indonesia yang masih relevan dengan masyarakat Indonesia saat ini. Diantara ciri manusia Indonesia yang dikemukakan Mochtar Lubis dalam buku ini antara lain :
- Munafik (Hipokrit). Agak menyakitkan mungkin jika kita mengatakan demikian. Banyak orang mengatakan bahwa hukum di negeri kita berlaku untuk semua orang. Namun pada prakteknya, kita lihat pencuri kecil masuk penjara tetapi pencuri besar bebas atau masuk penjara sebentar saja.
- Segan atau enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat populer di mulut orang Indonesia.
- Berjiwa feodal. Peninggalan Belanda yang masih saja melekat dalam diri manusia Indonesia adalah feodalisme dalam bentuk baru. Istri ketua pejabat otomatis menjadi ketua perkumpulan istri-istri yang lain. Juga mengenai perilaku antara atasan dan bawahan yang mengenyampingkan kebahagiaan diri sendiri. Asal dirinya bisa selamat. ABS. Asal Bapak Senang.
- Masih percaya takhayul.
- Artistik. Hidup lebih banyak dengan naluri, perasaan, serta sensitifitasnya. Inilah hal paling menarik dan menyenangkan sehingga lahirlah batik, ukiran dan rajutan khas orang Indonesia.
- Watak yang lemah. Mudah bersedia mengubah keyakinannya, apalagi jika dipaksa dan demi bisa “survive”.
Manusia Indonesia menceritakan tentang bagaimana gambaran Manusia Indonesia saat itu di tahun 60an. Namun tulisannya masih relevan hingga kini. Bahkan banyak tulisannya yang saya garis bawahi justru benar adanya sesuai analisis yang ia lakukan puluhan tahun silam. Tentang minyak dunia, perkembangan negara adigdaya yang mengandalkan sumber daya alam dari negara lain, serta bagaimana kepanikan mereka menyongsong tahun-tahun berikutnya karena harus lebih banyak lagi mengimpor bahan mentah jika tak ingin semuanya kembali seperti zaman purba.
Mochtar Lubis mengemukakan bahwa bencana alam yang terjadi saat ini dan yang akan datang dikarenakan ulah manusia itu sendiri yang tidak pernah merasa cukup.
Earth provides enough for everyone’s need, but not for everyman’s greed. (Mahatma Gandhi)
Alangkah benarnya kata mendiang Gandhi ini. Jika kita hendak memenuhi nafsu kita untuk memiliki tingkat dan gaya hidup seperti di Amerika atau negera maju lain sekarang. Mobil, TV, elektronik, makan serba mewah dan berlimpah, telpon di tiap ruangan, AC dan pemanas sentral, dan sebagainya. Semuanya dengan alat yang digerakkan listrik atau mesin, maka seluruh produksi baja, tembaga, alumunium, dan sebagainya yang kini dihasilkan dunia ini akan tidak memadai untuk membawa kita semua ke tingkat penghidupan demikian. Jadi jalan itu adalah jalan buntu yang akan menyesatkan kita.
Pandangan manusia Indonesia tentang “maju ekonomi” juga bagai menelan buah simalakama. Kita ingin menjadi negara maju dengan mengikuti pasar bebas dunia yang kini menjadi pasar yang sebebas-bebasnya. Perdagangan ilegal pun tidak bisa dikontrol dengan baik. Apalagi Indonesia menjadi sasaran atau target pasar gembong narkoba tingkat internasional. Indonesia dibuat menjadi negara se-konsumtif mungkin agar lupa akan hakikat dirinya untuk hidup sederhana. Orang sekarang tidak akan bisa hidup tenang jika tak memiliki kendaraan. Padahal masih ada angkutan umum yang bisa menjadi sarana mereka. Begitulah Indonesia dibuat ‘maju ekonomi’nya berdasarkan parameter negara adigdaya.
Padahal kita tahu, tahun-tahun berikutnya mereka juga akan mengalami kebangkrutan akibat tidak bisa memenuhi kebutuhannya akan bahan-bahan mentah. Semua sudah tersedot habis, dihambur-hamburkan oleh bangsa yang berbudaya konsumtif. Apakah ini ‘maju ekonomi’ yang kita mau? Apakah ini yang menjadi cita-cita bangsa? Mengeruk sebanyak-banyaknya sumber daya. Tanpa memikirkan nanti anak cucu kita yang akan menanggung akibatnya.
Mochtar Lubis
Cetakan Ketujuh Maret 2019, Pustaka Obor Indonesia
140 halaman.