“Duh mbak sabar banget ya, kalem banget. Sayang banget ya pasti sama Isya. Pandai memahami perasaan anak ya mbak sepertinya,”
“Aku tuh kadang kesel kalau ada orangtua yang suka marahin anaknya mbak, lihat mbak tuh rasanya wow hebat banget bisa nahan marah pas anak lagi nakal-nakalnya.”
Saya cuma bisa senyum menanggapi berbagai pernyataan seperti di atas. Belum tahu aja kalau di rumah, batin saya. Bukan saya yang hebat bisa menahan amarah atau apalah itu ketika anak tantrum atau tidak mood melakukan sesuatu. Namun seringkali Isya (nama anak saya)lah yang bisa lebih kooperatif ketika di luar rumah, ketika harus bertemu banyak orang dan mungkin suatu kebetulan saat itu dia lagi nurut dan sikapnya manis.
Kadang saya juga merasa bersalah, kok kesannya saya ini galak di rumah dan di depan orang-orang pakai topeng ibu peri.
Tidak begitu sih, hanya saja memang saat itu Isya mudah diajak bekerjasama dan tidak membuat masalah di hadapan teman-teman saya atau saudara-saudaranya saat kami bepergian bersama. Itulah mengapa yang nampak di hadapan mereka hanya baik-baiknya saja dari kami berdua. Namun bukan berarti saya membongkar aib diri sendiri. Tidak. Ketahuilah ibu-ibu, saya juga manusia biasa.
Sama seperti ibu-ibu yang lain. Kalau anak tantrum dan membuat kepala kita serasa mau pecah, saya pun juga tetap punya emosi dan kadang juga lepas kendali. Sehingga kadang anak mendengar teriakan ibunya, atau bahkan cubitan ringan di lengan karena batas kesabaran ibu sudah habis. Tidak ada ibu yang sempurna. Saya pun mulai berhenti menyalahkan diri sendiri ketika segala hal mulai tidak terkendali. Karena itulah satu-satunya kunci kewarasan yang harus kita miliki.
Tidak Apa-apa Menjadi Ibu yang Tidak Sempurna
Kadang ada juga yang berbisik di telinga anak saya,
Isya hebat sekali, pasti Ibu tidak pernah teriak-teriak ya
Lalu mulai membayangkan bagaimana perlakuan saya pada Isya saat ia mulai membuang-buang mainan, makanan dan segala macam benda yang ada di sekitarnya tanpa alasan. Andai saat itu Isya bisa protes, dia pasti akan mengatakan,
Ngga! Ibuk suka teriak dan marah
Ibu ideal mana wahai teman-temanku yang tidak pernah berteriak tanpa alasan dan menahan diri untuk tidak berteriak setiap saat? yah, mungkin memang ada.
Sebagai orangtua, saya sadar bahwa merawat anak-anak 24 jam sehari tanpa henti dapat membuat seseorang sulit untuk berpikir jernih. Bapaknya pernah saya titipi Isya selama tiga jam saja sementara saya pergi keluar. Tentu saja Bapaknya tidak betah dan mengadukan banyak hal ketika saya pulang.
Saya berpikir bahwa hal ini tentu saja alami, sudah menjadi fitrah. Namun ketika harus mengatasi berbagai kebutuhan dan emosi terus menerus, dari siang ke siang, malam ke malam, tidak ada hal yang mudah atau sempurna. Terkadang bisa bertahan saja sudah cukup bagus.
Jadi jika tidak ingin seperti Kim Ji Yeong, seorang istri yang melepaskan karir serta kebebasannya demi mengasuh anak namun pada akhirnya kehilangan jati dirinya sendiri, maka tidak apa-apa kok tetap seperti ini. Tidak ada ibu yang sempurna, tidak ada istri yang sempurna. Kita berhak dan layak mendapatkan kebahagiaan dari diri sendiri.
Namun bukan berarti kita berhenti untuk belajar. Justru dengan berbagi dengan para ibu yang lain, kita akan bisa melihat dan bertukar pendapat mengenai pengasuhan anak. Oleh karena itu tulisan di sini bukan berarti saya sudah berhasil sepenuhnya memahami perasaan anak saya, membuat anak saya menjadi penurut sepenuhnya, menjadi anak yang siap sedia selalu menuruti perkataan ibunya. Tidak.
Namun tulisan ini lebih pada bagian pengetahuan yang pernah membesarkan diri saya dan pengetahuan tambahan tentang menjadi orangtua di abad ke-21.
Ibu Berbagi Soal Memahami Perasaan Anak
Saat perasaan anak-anak tidak baik, mereka tidak bisa berperilaku baik -Joanna Faber
1. Mengakui dan Menerima Perasaan Anak dengan Kalimat
Seringkali Isya saya marahi karena melempar barang-barang yang ada di dekatnya. Bahkan pernah juga ia melempar makanannya. Lalu ketika saya marah, ia akan menangis dan melempar barang-barang itu lagi. Kemarahan saya tidak mempan, dan seringkali berujung pada penyesalan. Karena Isya pun pastinya akan merasa gengsi ketika harus kalah dengan ibunya : mengambil kembali barang-barang yang dilemparnya lalu minta maaf?
Lalu saya pun menerapkan apa yang Joanna Faber katakan untuk mencoba mengakui dan menerima perasaan anak. Ketika Isya berbuat seperti itu lagi saya mendekatinya, dan menawarkan gendongan untuknya. Isya menerima, lalu menangis di pangkuan saya. Saya mencoba mengakui bahwa ia sedang marah (mungkin pada saya, mungkin juga pada bibi atau pamannya).
Saya bertanya padanya, Kenapa nak? Isya sakit? Dadanya sakit ya Nak? Yuk sini sama Ibu. Ibu minta maaf ya Nak kalau blablablabla…
Saya mencoba memposisikan diri sebagai Isya. Bagaimana kalau ada seseorang menyangkal perasaan dan memarahi atas sikap saya yang menyebalkan? Bagaimana kalau saya tiba-tiba dinasihati orang padahal saya sedang tidak ingin dan tidak butuh itu? Bagaimana kalau saya dibandingkan dengan para ibu lain? Tentu saja perasaan saya tidak akan membaik dengan hal-hal itu. Saya hanya butuh dipahami dan diterima.
Begitu juga dengan perasaan anak-anak.
Joanna mengatakan agar kita menguatkan hati dan menahan diri untuk tidak membalas ucapan anak, lalu memikirkan emosi yang sedang dirasakannya, lalu mencoba menyebutkan emosi itu dan memasukkannya dalam kalimat. Begitulah saya mengatasi perasaan buruk itu. Ia akan pergi kalau kita membiarkannya pergi dan menerima perasaan baik yang datang.
Adek lagi marah ya? Pasti adek jengkel ya?
Begitulah saya membiarkan perasaan buruk itu pergi. Lalu Isya akan menerima dan memeluk saya karena saya berhasil memahami perasaannya.
2. Memberikan Fantasi yang Tidak Dapat Kita Berikan dalam Realitas
Ibuk, es.. Ibuk ess…
Isya sangat suka es krim. Hampir setiap kali kami pergi ke minimarket, dia selalu meminta es krim. Pernah suatu kali malam-malam dia merengek minta dibelikan es krim. Padahal sudah waktunya tidur, dan saya tidak mungkin mengabulkan permintaannya bukan?
Ketika saya mulai menjelaskan mengapa dia tidak bisa mendapatkan es krim malam itu, dia menangis dan tak jarang berteriak. Isya mungkin tak memahami alasan yang saya berikan. Ketika saya sharing dengan sesama teman, ternyata anaknya pun demikian. Saya pun mulai menggali, kenapa anak tidak bisa menerima ketika kita mengatakan, tidak bisa, seharusnya tidak, atau tidak boleh meminta apa yang diinginkan hatinya itu.
Menurut Joanna, alat yang paling baik digunakan dalam keadaan seperti itu adalah memberikan secara fantasi apa yang tidak dapat kita berikan dalam realitas. Ketika Isya juga merengek di dalam mobil karena tidak dibelikan permen yang diinginkannya seperti yang teman-temannya dapatkan, maka tidak ada gunanya untuk berceramah tentang kerusakan gigi atau giginya sakit, dan lain-lain.
Iya ya dek, es krim emang enak. Isya kapan ya bisa makan es krim setiap hari ngga usah pake sikat gigi? Eh iya, ini kan bantalnya Isya seperti es krim ya Nak? Warnanya rainbow seperti es krim kesukaan Isya. Oh iya kambing yang kemarin Isya kasih makan kayaknya juga suka es krim..
Sampai sini, Isya mulai berhenti menangis. Dia menatap saya sambil bilang, “Iya iyaa buk! Mbek mamam ess..” dia mulai mengambil inisiatif untuk menceritakan kambing makan es krim versinya sendiri pada saya. Isya pun lupa dengan keinginannya untuk makan es krim malam-malam, sampai akhirnya dia pun ngantuk dan tertidur.
3. Menggambarkan Perasaan dengan Seni
Ada kalanya kata-kata baik ditulis maupun diucapkan tidak mempan untuk mengungkapkan perasaan yang kuat. Maka saya memilih untuk mengungkapkan perasaan yang kuat itu dengan seni. Memang tak harus sehebat Da Vinci, bahkan menggambar kambing dengan garis-garis tak berbentuk pun tetap oke.
Isya ini suka sekali dengan binatang, namun apa boleh buat karena saya masih tinggal dengan orangtua jadi kami harus menghormati bahwa Ibu saya takut kucing dan binatang lain. Kami hanya pelihara ikan di lantai dua. Akhirnya ketika harus melihat kucing saya mengajaknya ke rumah sepupu yang punya banyak sekali kucing. Kadang kami juga melihat kambing di peternakan milik kakak saya.
Namun ada masanya Isya begitu ingin kesana dan Bapaknya sedang sibuk. Sehingga tidak bisa mengantar kami kesana. Ditambah sudah hampir dua tahun pandemi menghantam negeri ini, kami pun sedapat mungkin menahan keinginan untuk bertamu. Apalagi sekadar melihat kucing atau kambing.
Terakhir kali Isya melihat kambing beberapa bulan lalu, sebelum varian baru dari Covid-19, Kappa masuk ke Indonesia. Itupun kami hanya ada di kandang dan di luar rumah (untung halamannya luas), sehingga masih bisa tetap menjaga jarak.
Ada saat-saat ketika Isya menangis karena begitu inginnya bertemu kucing atau kambing. Kalau sudah seperti ini, biasanya saya akan menjanjikan padanya untuk melihat kucing atau kambing di hari Sabtu. Kadang tangisnya mereda, tapi kadang juga tidak. Namanya juga anak-anak.
Akhirnya saya mencoba memakai cara Joanna,
Isya suka banget ya sama Pus? Sama Mbek?
Isya mengangguk dan cepat-cepat menghapus air matanya, mungkin dia pikir saya akan mengajaknya kesana.
Saya pun meraih kertas dan spidol, lalu mulai menggambarkan kambing dan kucing. Saya melirik Isya yang mulai nampak girang.
Pus mbek, mam Bukk..
“Oh iya pus sama mbeknya maem ya, coba Isya kasih makan,” saya mencontohkan gambar makanan di dekat kucing dan kambing. Isya pun menirunya. Dia mulai berimajinasi sedang memberi makan kucing dan kambing, meski hanya lewat gambar :’)
Sabar ya Nak, insya Allah usai pandemi kita main terus ke rumah pakdhe setiap hari
Tidak hanya itu, bahkan ketika dia meminta sesuatu yang tidak mungkin saya wujudkan saat itu juga, saya mengajak Isya untuk menggambarkannya di kertas. Cara ini cukup berhasil pada anak saya. Perasaannya tersalurkan dengan baik melalui seni, saya pun bisa memahami perasaan anak itu. Kelak, coretan anak-anak inilah yang akan menjadi kenang-kenangan bagi kita lho, Bu!
Bahkan dalam coretan itu sendiri menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang dokter terkemuka di Amerika, Mark Stein, MD, coretan anak-anak balita memiliki arti masing-masing. Selengkapnya teman-teman bisa membacanya di channel ibupedia.com
Sebenarnya cara memahami karakter anak, cara memahami perilaku anak, cara mengetahui psikologi anak, dan hal-hal semacam itu adalah cara-cara yang bisa kita usahakan. Karena anak hanya ingin dipenuhi emosinya. Lalu setelah tersalurkan, ia akan merasa jauh lebih tenang, dan tentu saja akan merasa aman dan baik-baik saja jika keinginannya tidak bisa dituruti.
Intinya menjadi ibu memang tidak mudah tapi bukan berarti kita tidak bisa melakukannya lalu bersifat apatis atas tingkah laku anak. Bahagiakan diri sendiri, lalu anak juga akan merasakan bagaimana ibunya bahagia. Memahami diri sendiri, lalu memahami perasaan anak. Saya berharap dalam artikel ini, siapa tahu ibu-ibu bisa menemukan ide-ide lain yang lebih membahagiakan, yang akan menolong ibu-ibu lainnya menghadapi tantangan sehari-hari dengan anak-anak.
Mungkin kita akan mengakhiri hari dengan perasaan lelah, namun dengan melihat anak kita yang tumbuh dengan baik, menurut, serta saling memahami perasaan antar anggota keluarga, hati kita tentu menjadi lebih damai, lebih terhubung, lebih bersukacita ketimbang sebelumnya.
Selamat berbahagia ya, Bu.
Subhanallah sangat memberikan inspirasi dan solusi bagi kami yang belajar menghargai perasaan anak. Terimakasih kak tipsnya sangat membantu.
Alhamdulillah, terimakasih kak sudah mampir dan berkenan membaca sampai tuntas :))
Entah mengapa saya selalu terharu kalau sudah membahas parenting. Merasa belum bisa menjadi ibu yang baik. Tapi benar, tidak ada ibu yang sempurna. Kita hanya perlu berusaha memahami anak.
Memang sebenarnya anak2 itu lebih sabar dari kita, ya. Abis dimarahi juga masih bisa manis di depan orang. Huhuhuhu…
Sini Ca di rumah budhe banyak banget binatang, mau apa? ayam, bebek, burung?
kambing? (kalau ini di rumah kakaknya budhe sih) 😁
Tak heran kenapa caca (Isya) makin hari makin pinter, ibuk caca selalu mencari cara utk bisa menerapkan parenting yg terbaik versi dirinya. Mengupgrade ilmu pengetahuan dg buku bacaan yg gaperna absen dibaca. Bermanfaat sekali mbaak
Jadi inget almarhumah temen blogger yg selalu nyebut putra putranya sebagai profesor dan kita sebagai orang tua sebagai mahasiswanya. Anak g pernah marah sama kita meski kita belum sempurna mengerjakan tugas2 kita sebagai orang tua 🙂
kadang orang dewasa merasa anak anak itu adalah anak anak yang perasaannya tidak perlu di anggap penting, padahal anak anak juga butuh dipahami ya mbak…
Andai putra saya seperti Isya. Putra saya kalau dikasih cerita fantasi jangankan menurut, yang ada makin uring-uringan. Hahaha…
Saya sih udah biasa diamkan saja. Sejak kecil suka dikasih pengertian kalau boleh, ibu pasti kasih. Kalau tidak, ibu akan kasih tahu alasannya dan semau apapun anak tetap tidak akan mendapatkan yang diinginkannya
Setiap ibu pasti punya batas sabar yang berbeda-beda ya. Tapi cara di atas patut dicoba nih. Belajar memahami perasaan anak dan memposisikan diri kita sebagai anak -> ini penting banget. Makasih atas sharing nya
namanya juga ibu yaa.. kurasa pasti ada lah marah2nya, sedih2nya dan itu wajar karena kita ya manusia biasa yang punya emosi. yang penting adalah cara kita mengelola emosinya gimana, itu yang dilihat sama anak 😀
Tiap ibu punya ciri khas nya ya kak. Ini jadi pembelajaran buat daku yang belum berkeluarga. Jadi dapat masukan dan bekal
aku juga baca bukunya Joana Faber itu, mbak. Benar-benar bagus bukunya membuatku belajar komunikasi yang lebih baik ke anak. Sebelum baca buku itu asli deh aku benar-benar bingung dan frustrasi menghadapi 2 anak balita yang berantem melulu. Sekarang agak mendingan sih sudah bisa lebih sabar menghadapi anak-anak
Menerapkan ini pada usia anakku yang belum genap 4 tahun sangat mudah saat itu mbak. Namun, entah kenapa lepas 4 tahun ada saja yang tak sejalan 🙈 apakah hal itu pernah terjadi juga pada dek Isya mbak?
peran menjadi ibu emang gak mudah ya kak Ji, pengennya jadi ibu sempurna tapi apa daya kita punya kapasitas terlebih kalau lagi lelah-lelahnya. saya sering di bilang jangan marah-marah kalo anak-anak udah mulai berantem, meski anak-anak sih ketawa-ketawa emaknya marah-marah, hadeuuhh hihihi. bukan apa-apa, marah marah sama anak itu energinya luar biasa, dan suamik takut saya sakit “lagi” karena terlalu emosi. bisa turun imun tuh marah-marah mulu, heheh. memahami anak emang gak mudah, saya sih biasanya menurunkan dulu emosi dan menyiapkan diri sebelum brainstroming atau biacar sama anak. kalo gak gitu, suara gak bisa lembut dan intonasi juga gak akan enak. bicara sama ank kan harus haluuuuus banget, intonasi juga gak boleh tinggi harus lembuuuutt banget, baru masuk.
yah, semangat membersamai anak-anak kita ya kak Ji
Aaaa suka sekali baca sharingnya
Terasa hangat di hati. Senang banget kalau komunikasi ibu – anak terjalin dengan baik. Metode “pengalihan perhatian”nya juga bagus. Bukan dengan ceramah panjang lebar, tapi lebih mengajak pada fokus yang lain dan tetap berhubungan dengan keinginan awal.
Sama kaya Sakha deh mbak Jihan, dia juga bisa mengakui perasaannya dengan salah satunya Corat coret. Asal anak tenang, kita juga tenang pas bicara bisa dari hati ke hati.
Setuju mb jadi seorang ibu tidak mudah tp bisa ya dipelajari bagaimana menyelami perasaan anak. Sehingga tercipta pemahaman dan kedekatan antara ibu dan anak. Makasih mb insight nya…
ahh iya mbak
memang yang paling penting itu ibu harus bahagia
karena ibu yang bahagia akan menghasilkan anak anak yang bahagia juga
Merawat anak versi saat ini dan versi lampau sungguh berbeda. Zaman sudah berubah dan orang tua harus menyesuaikan. Parenting zaman dulundsudah agak susah disesuaikan dengan anak sekarang. Kudu beda perlakuan dan update ilmu terus
Setuju banget mba. Metode baru nih buat aku yang fantasi. Nanti di coba ah ke anak kalau ngerengek karena sesuatu
Parenting skrg sangat easy banget ngurus anak karena jaman udah canggih gak kek dulu pake kekerasan
Metode Joanna menarik ya, ada cara yang belum aku coba nih buat anakku kalau lagi merengek. Hehee,, besok bisa aku coba juga deh cara-cara ini. Semoga berhasil juga ke anakku 😀
Nomor satu itu sering aku lakuin mbak, setiap hari malah, hihi.. Sama satu lagi, sering meluk gitu deh. Btw, ini ilmu parentingnya aku contek boleh ya mbak Jii.. makaciih..
saya juga sama mbak kalau di depan orang lain sering dibilang sabar, baik, ngga pernah marah meski anak suka berantakin rumah dll..padahal, saya juga manusia biasa hehehhe
iya kadang aku jhga suka khilafnke anak2 …. tak coba belajar lebih sabar lahu ya demi anak2
Duh tulisan ini tuh nyentil banget deh kk. Jadi ibu gak mudah ya
Maa syaa Allaah terimakasih pencerahannya Mbak. Jadi reminder juga buat saya nih yang masih chellenge banget buat memahami anak-anak saya. Biasanya malah saya yang emosi duluan duhh tapi emang kita harus memposisikan diri dan berusaha memahami perasaan anak apalagi pada saat mereka lagi tantrum gitu. Butuh kesabaran juga untuk menghadapi itu
Ah, apalah aku yang suka terlalu ekspresif dengan tingkah anak di depan orang² heuheubeh
Alahmdulillah.. aku bakal sering main ke blog ini kalau punya anak nanti., Keren banget sih ilmu parentingny mbak. Bisa menginspirasi banget khususnya untuk aku yang emang jenis cepat marah. Mudah-mudahan, walau pun nggak sempurna, aku bisa sedikit sabar kayak mbak dalam ngurus anak nantinya
Soal ‘ibu peri di luar’ dan bertanduk ketika di rumah saya juga gitu kwkwkwkwkw
Memang sebaiknya anaknya diajak bicara untuk saling memahami ya, walopun saya seringnya ndak berhasil hehehehe
Seneng dan haru banget kalau baca proses belajar para ibu dan anaknya
semoga aku bisa jadi ibu juga ya someday, aamiin.
Bener banget mba aku juga belajar jadi ibu yang lebih baik dari hari ke hari. Dulu saat belum tahu caranya yg ada aku ikutan tantrum, ikutan stres. Padahal anak seperti itu karena mereka kesulitan mengungkapkan keinginannya
Samaan, sering dibilang “sabar banget ya ibuk.” mereka gatau aja di rumah kalo lagi capek gimana, wkwkwk. Jadi terinspirasi nih nulis tema yang sama hehe
Saya kadang kalo udah marah, dulu aduuuuh. Padahal usia anak masih balita. Nah kalo sekarang saya suka menyiasati sendiri. Kalo saya marah sama anak, supaya kesan marahnya dapat tapi gak menakuti anak, saya berubah aja pura-pura jadi monster yg mau makan anak. Saya gigit sayang tuh pipinya, perutnya, lehernya. Emosi tersampaikan, anak gak ketakutan, eh malah terhibur dan ujung-ujungnya dia inisiatif minta maaf duluan. Sadar kalo udah buat ibunya marah. Wkwkwk. Memahami perasaan anak itu kudu dan wajib Mba Jihan. Emosi mereka lebih penting.
Ya Allah terasa emosi emak”ku terlampiaskan ditulisannya sampeyan mbaaaakkkk…
Saya masih belajar menjadi ibu yg baik bagi anak dan mungkin versinya beda2, salah satunya berusaha gak main tangan saat ia tantrum, memang harus banyak stok kesabaran ya kalau kita sudah punya anak 🙂
Sebenarnya, ketika hati ibu tidak bahagia, maka jangankan punya kreativitas. Bisa tetap sehat dan “waras” pun sudah alhamdulillah. Jadi, perempuan yang telah menjadi ibu berhak memilih apa yang membuatnya bahagia selama anak-anak aman dan baik-baik saja. Hmm
Bener banget nih Mbak, bahwa anak kadang mengekspresikan perasaannya lewat gambar ya, sulungku seperti ini Mbak,,, kl senang dan sedih atau apa digambarkan lewat seni. Nice article Mbasay
Tips baru nih mba, jadi membiarkan anak menggambar apa yg lagi dirasakannya ya. Jadi ibu memang butuh ekstra kesabaran. Aku sendiri juga anak-anak sudah remaja tetap saja perlu membuat penyesuaian dengan anak, berupaya memahami mereka
Uhuhuhu… Aku pun kadang masih suka berakting jadi ibu peri kak saat di khalayak ramai. Namun jadi mamazila ketika di rumah. Sedih tapi kadang tanpa sengaja berulang kembali.
Beda usia beda tantangan pengasuhannya, saya sudah di tahap anak remaj dan itu rasanya….wah. Ulasan yang menarik,, setuju tak perlu menjadi ibu yang sempurna tapi berusaha terus memahami perasaan anak di posisinya itu yang utama
Semangat !
İya nih saya sebagai tetangga baru tiap hari denger tangisan anak umur 4 tahun, sehari bisa lebih dari 5x dia menangis. Sebagai tetangga saya kasihan sama anaknya kalau denger dia nangis karena diomelin mamanya
Memahami perasaan anak suatu hal yang penting bagi kedua orang tua, maka itu kita sebagai orang tua harus menjadi institusi pendidikan terbaik bagi anak.
Ali bin Abi Thalib pernah bersyair “Didiklah anak sesuai zamannya”
🤗