Bahan bakar alternatif dari tumbuhan sebagai pengganti minyak bumi dan gas sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2000-an. Sejak saat itu pula mulai dikembangkan bahan bakar alternatif yang dapat kita pakai sebagai masyarakat Indonesia untuk memenuhi permintaan bahan bakar yang kian hari kian meningkat.
Peningkatan tersebut tentu saja sejalan dengan pembangunan yang terjadi di Indonesia. Namun bila kita sadari, ternyata cadangan terhadap minyak bumi yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Oleh karena itu sejak saat itulah Pemerintah bersama dengan ilmuwan dan para ahli memikirkan energi alternatif yang dapat dikembangkan sebagai subtitusinya.
Termasuk salah satunya yakni Bahan Bakar Nabati (selanjutnya akan disebut sebagai BBN).
Bahan Bakar Nabati Sebagai Bahan Bakar Alternatif
Beberapa hari yang lalu, kami Eco Blogger Squad bersama dengan Madani Berkelanjutan dan juga Transactionenergy bertemu dalam acara blogger gathering rutin yang mendiskusikan tentang Bahan Bakar Nabati sebagai sumber pengganti bahan bakar minyak yang sudah mulai habis. Inilah salah satu urgensi mengapa kita harus segera move on ke BBN.
Dalam kesempatan kali ini Madani Berkelanjutan memberikan banyak sekali pemaparannya tentang apa itu bahan bakar nabati, siapa saja “kandidatnya” dan mungkin ngga sih kita terapkan di Indonesia untuk kandidat-kandidat tersebut?
Sebenarnya agak dilema juga sih mendengar pemaparan dari Madani Berkelanjutan. Masa iya sih kita ngga bisa pakai ketela, pohon jarak, hingga jagung yang kita miliki sebagai sumber daya alam tak terbatas di negeri kita tercinta ini?
Eits jangan pesimis dulu 🙂
Sekarang ini wujud BBN sudah jauh berbeda. Sudah banyak mengalami perubahan. Seiring berkembangnya zaman, sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah aplikasi BBN menjadi lebih modern. Saat ini kita telah mengenal dua produk komersial BBN yang cukup populer yaitu bioetanol dan biodiesel. Keduanya kemudian dikenal sebagai biofuel.
Bahan untuk biofuel ini macam-macam. Mulai dari singkong, kelapa sawit, kelapa, hingga jarak pagar. Namun mana yang lebih “memungkinkan” untuk diterapkan di Indonesia? Kita bahas yuk!
Ternyata gaes untuk pengembangan bahan bakar nabati itu sendiri tidak semudah kita menanam singkong atau jarak pagar atau jagung lalu permasalahan selesai ketika kita memanen itu semua. Ada pekerjaan rumah yang terus menanti kita dibalik itu semua.
Bersamaan dengan pengembangan biofuel, kita juga perlu memperhatikan bagaimana pelaksanaannya. Cukupkah? Merusak lingkungan tidak?
Oleh karena itu kalkulasi makroekonomi pengembangan biofuel ini akan semakin menarik jika dikaitkan dengan mekanisme pembangunan bersih atau pembangunan hijau dengan melakukan cara-cara seperti berikut :
- Menurunkan pembuangan gas rumah kaca melalui kebijakan pembangunan tanpa gas rumah kaca.
- Memperluas kapasitas alam dalam menyerap gas rumah kaca melalui perluasan kawasan hutan dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan
Pada Konferensi Dunia Biomassa untuk Energi dan Perubahan Cuaca yang kedua tahun 2003, di Roma, Italia, Volkswagen-Exxon Mobile menyebutkan bahwa berdasarkan jenis bahan bakar dan otomotif yang akan mendominasi pasar, dunia akan dihadapkan pada beberapa generasi bahan bakar transportasi, yakni :
- Generasi pertama merupakan generasi BBM mix atau campuran antara BBM terbarukan dan BBM petroleum yang saat ini telah banyak digunakan, dan diperkirakan akan bertahan hingga tahun 2050. Masa ini ditandai dengan komersialisasi biodiesel (pengganti minyak petro-diesel) dan bioetanol (pengganti minyak bensin).
- Generasi kedua adalah generasi BBM terbarukan (Advance Syntethic Fuel) seperti Flash Pyrolysis Oil (bio oil), Fischer Tropsch, Methanol dan Hyrdo-Thermal Upgrading Oil. Teknologi pembuatannya lebih sulit dan memakan biaya produksi yang tinggi. Produk ini diperkirakan baru akan ekonomis pada kisaran tahun 2050-2100.
- Generasi ketiga yakni generasi hidrogen. Hidrogen diprediksi bisa menjadi andalan ketika minyak bumi benar-benar habis.
Namun ternyata memang tak semudah itu. Singkong maupun jarak pagar dikatakan oleh pemateri kita sore itu dari Transaction bahwa pembukaan lahan untuk singkong dan jarak pagar akan menimbulkan masalah baru. Kenapa kita tidak memanfaatkan apa yang sudah ada saja? Yakni kelapa sawit yang sudah banyak banget lahannya di Indonesia ini.
Kalau kita hanya memanfaatkan pedesaan untuk pencarian lahan, seperti lahan pekarangan, jalan-jalan desa, bantaran sungai, lahan kritis dan lahan gundul, sepertinya tak cukup. Ada berapa banyak sih desa di Indonesia yang masih punya lahan yang siap untuk dijadikan penanaman bahan baku dari bahan bakar nabati?
Bahkan sejauh ini usaha-usaha pengembangan energi pedesaan masih banyak yang dilakukan melalui pendekatan top down dan terpusat. Berdasarkan data pada Buku Bahan Bakar Nabati oleh Eka Tjipta Foundation, cara-cara seperti itu kurang bisa mencapai sasaran.
Hal itu setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Yaitu pertama dari awal proses pelaksanaannya masyarakat kurang diikutsertakan. Sehingga masyarakat merasa tidak ikut memiliki.
Kedua, walaupun proyek tersebut bermanfaat bagi masyarakat, mereka cenderung mengharapkan pengembangan energi pedesaan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah.
Lalu yang ketiga, mengingat proyek tidak dikelola dengan baik maka umur teknis proyek tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu pengembangan energi dengan pembukaan lahan di desa memang tetap harus melibatkan peran serta semua masyarakat dari awal sampai akhir.
Keterlibatan masyarakat tersebut sekurang-kurangnya mencerminkan dua unsur, yakni keterlibatan fisik dan mental serta rasa ikut bertanggungjawab.
Alternatif Lain dari Minyak Jelantah Untuk Bahan Bakar Alternatif
Karena sulitnya hal tersebut, untuk saat ini salah satu solusi yang bisa diusulkan dan sampai sejauh ini dapat berjalan dengan baik yakni dengan pengumpulan minyak jelantah.
Apakah minyak jelantah bisa menjadi bahan untuk BBN? Lets see!
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat Indonesia termasuk salah satu negara pengguna minyak sawit terbanyak di dunia yakni 16,2 juta kiloliter per tahun, sehingga mampu menghasilkan potensi minyak jelantah 3 juta kiloliter untuk memenuhi 32 persen kebutuhan biodiesel nasional.
Ricky juga menambahkan bahwa penggunaan biodiesel dari minyak jelantah akan menekan jumlah emisi karbon. Selain itu, pemanfaatan minyak jelantah juga mampu menghemat biaya hingga 35 persen ketimbang biodiesel dari minyak nabati yang dihasilkan dari buah kelapa sawit.
Berdasarkan analisa Kementerian ESDM, biodisel berpotensi mengurangi 91,7 persen emisi karbon dibandingkan solar, sehingga bahan bakar jenis ini dinilai lebih ramah ketimbang energi fosil. Jika memanfaatkan jelantah, kita tak perlu mengganti hutan dengan perkebunan kelapa sawit, yang justru berpotensi meningkatkan emisi karbon.
Maka saat ini jelantah yang biasanya kita buang, yuk mulai sekarang dikumpulkan. Sudah banyak lho yang memanfaatkan minyak jelantah ini.
Pemanfaatan Minyak Jelantah di Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel untuk mengurangi risiko dampak buruk lingkungan dari minyak jelantah yang kerap dibuang begitu saja ke saluran pembuangan atau didaur ulang kembali untuk menjadi minyak goreng kemasan curah.
Pada tahun 2019 konsumsi minyak goreng Indonesia menghasilkan 13 juta ton minyak jelantah Indonesia. Angka ini cukup besar lantaran Uni Eropa menghasilkan 22,7 juta ton di Uni Eropa, Amerika menghasilkan 16 juta ton dan dan India 23 juta ton.
Kita bayangkan saja, jika nanti ada regulasi yang mewajibkan pengumpulan minyak jelantah dan kemudian digunakan sebagai bahan baku biodiesel, risiko daur ulang minyak jelantah untuk digunakan kembali sebagai minyak goreng akan berkurang. Hal ini kemudian akan mengurangi potensi timbulnya penyakit neurodegeneratif seperti stroke, alzheimer, parkinson dan huntington; hipertensi; penyakit kardiovaskular; penyakit jantung; kerusakan sistem gastrointestinal; serta kerusakan fungsi ginjal dan hati akibat dari penggunaan minyak jelantah secara berulang kali untuk menggoreng makanan.
Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat mengatasi resiko peningkatan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) di perairan terlebih lagi minyak jelantah tergolong sebagai limbah kategori bahan beracun dan berbahaya (B3).
Kak Ricky juga menjelaskan bahwa penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat membantu pemerintah mengatasi fluktuasi Harga Indeks Produksi (HIP) Biodiesel dari CPO dan solar yang tergantung pada harga di pasar internasional. Sebagai catatan, trend HIP Biodiesel dari CPO umumnya lebih tinggi dari HIP solar.
Sehingga selalu ada potensi beban subsidi yang tinggi untuk menghadirkan bahan bakar biodiesel. Sementara, minyak jelantah merupakan komoditas yang nilainya tidak tergantung pada harga di pasar internasional. Pemerintah dapat menetapkan harga tetap (fixed price) sebagai kompensasi bagi sektor penyumbang minyak jelantah untuk bahan baku biodiesel. Jika minyak jelantah ditetapkan sebagai bahan baku biodiesel, pemerintah memiliki pasokan bahan baku biodiesel yang harganya stabil dan tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga komoditas di pasar internasional.
Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel perlu dimulai dari kebijakan pemerintah, khususnya pemerintah daerah.
Seperti yang disimpulkan juga oleh Kak Ricky bahwa pemanfaatan minyak jelantah untuk bahan baku biodiesel dapat menjadi contoh konkret ekonomi daur ulang (circular economy) yang efisien dan multi manfaat. Sektor rumah tangga serta sektor usaha hotel, restoran dan kafe dapat dilibatkan sebagai pemasok minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel.
Adanya sistem tersebut diharapkan masalah timbulan limbah minyak jelantah yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan dapat teratasi, kebutuhan pasokan biodiesel dapat terpenuhi dan dapat berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sektor rumah tangga serta sektor hotel restoran dan kafe.
Jadi win-win solution bukan?
Bagaimana dengan teman-teman? Sudahkah memanfaatkan minyak jelantah untuk dikumpulkan? Yuk mulai sekarang, edukasi keluarga, saudara, dan orang-orang terdekat kita untuk ikut menyelamatkan lingkungan dengan langkah terkecil. Dimulai dari diri sendiri tentunya. Demi masa depan planet yang lebih baik. 🙂
Semoga artikel tentang bahan bakar alternatif ini bermanfaat ya!
Referensi :
Transaction Asia
Blogger Gathering Eco Blogger Squad
Wah selama ini kalo ngumpulin jelantah palingan cuma jadi sabun doank kak. Ternyata bisa juga dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati ya kak. Semoga penemuan terbaru ini bisa menjadikan bumi lebih adem karena pengurangan emisi gas rumah kaca ya kak.
Baru tahu juga nih minyak jelantah dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati. Daripada menjadi limbah ya sebaiknya memang dikumpulkan dan dimanfaatkan sebagai bahan baku biodesel.
Baca ini aku langsung nanyain asistenku, kemana itu minyak jelantah berakhir selama ini 😄. Sebenernya keluargaku udah agak lama mengurangi masakan minyak. Masih, tapi sesekali aja. Jadi rasanya minyak jelantah yang dihasilkan dalam sebulan mungkin masih sedikit. Tapi setidaknya karena aku udah tahu bisa dikumpulkan oleh siapa, jadi semangat juga ngumpulin ya, daripada kebuang percuma :). At least pengenlah bisa ikut berkontribusi untuk mendaur ulang limbah yang merusak lingkungan 🙂
Ternyata bisa juga ya minyak jelantah dijadikan bahan bakar alternatif. Usahaku untuk mengumpulkan sedikit sisa penggorengan alias minyak jelantah gak sia dia nih.. kemaren abis jual 5 lt.n kalo gak salah. Sedikit membantu sih ya
bisa jadi alternatif kalo gas abis ya kak, bisa pake minyak jelatah pake tiyu gitu
Bicara mengenai minyak goreng, saya lagi pening nih gegara harga minyak goreng melambung tinggi ya mbak. Dan trnyata konsumsi minyak goreng di Indonesia tinggi juga.
Lagi heboh nih kemaren ada berita pesawat terbang avturnya dari minyak kelapa sawit. Hehehe. Apapun itu, jika orientasinya adalah pelestarian lingkungan harus kita dukung. Hanya saja isu biofuel di Indonesia selalu terikat dengan permasalahan tata ruang lahan, soalnya orientasi orang biofuel itu adalah minyak sawit. Padahal banyak banget sumber minyak nabati di Indonesia yang bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif.
Minyak jelantah bisa dijadikan biodiesel ya, perlu terus dikembangkan ini. Dampak positif bagi lingkungan dan kesehatan bagus banget ini ya jika minyak jelantah dijadikan bahan bakar biodiesel, mengurangi limbah yang merusak lingkungandan emisi karbon, biayanya pun bisa lebih hemat ya. Eh, plus bisa mutusin aksi para pendaur ulang minyak goreng juga nih, kalau kita menyalurkan minyak jelantahnya ke tempat pembuat biodiesel ini.
Siip banget, yuk kita kumpulin, semoga proses pengembangannya juga dimudahkan ya aamiin
aku tuh pernah denger katanya minyak jelantah emang bisa dikumpulin dan dijadikan uang, ya? duh aku tuh belum mengumpulkan nih. padahal sayang banget yaa dibuang gitu aja. baca ini jadi lebih paham. makasih yaa mba sharingnya.
Saya juga pengen bisa kumpulkan minyak jelantah karena sayang aja kalau dibuang apalagi setelah tahu bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih berguna. Cuma emang belum bisa kelola sendiri dan di tempat saya belum ada yang kelola atau menampung minyak jelantah
bisa jadi alternatif kalo gas abis ya kak, saya yakin banyak yang akan beralih ke seperti ini
Yah, mungkin lah sudah lama mengenai minyak jelantah yg sudah diolah menjadi biodisel