“Bismillaah ya, insyaAllah anak bisa dicari. Nyawamu lebih penting dari segalanya.” Ayah menasihati sambil memegang tanganku. Menguatkan. Aku mengangguk. Tanda menyetujui segala tindakan yang sebentar lagi akan dilakukan oleh dokter.

Suamiku tersenyum, menggosok lenganku perlahan. Takut jarum-jarum itu akan menyakitiku karena sentuhannya. Aku meringis, mencoba tersenyum sekuat tenaga meskipun hati teriris. Tak lama perawat membantuku masuk ke dalam ruang operasi. Aku tak percaya disini lah aku akan kehilangan segalanya sebagai wanita.

Rabbana Habla Jihan wa Fauzi milladunka dzurriyatan thayyibatan innakassami’ud du’aa.
Rabbana Habla Jihan wa Fauzi milladunka dzurriyatan thayyibatan innakassami’ud du’aa.
Rabbana Habla Jihan wa Fauzi milladunka dzurriyatan thayyibatan innakassami’ud du’aa.

Doa Ayah yang diaamiini Ibu selalu menggema dalam hatiku. Doa yang selalu mereka panjatkan di sepertiga malam saat yang lain terlelap. Begitu pun aku. Hati teriris mendengar doa yang tulus dari Ayah. Suaranya bergetar, pundaknya naik turun ketika menengadahkan tangannya. Ibu menjawab Aamiin di belakangnya, dengan sesekali menyeka hidungnya.

Dua tahun setelah histeroktomi jiwaku terasa kering dan kerdil. Rapuh namun kupaksa untuk terus berdiri tak peduli ada angin kencang menghantam.
Aku selalu mengingat air mata Ayah, kecemasan dan doa-doa yang selalu ia langitkan untukku. Lalu saat itulah aku kembali tenang. Dia adalah seorang aktivis sekaligus ayah yang sangat bertanggung jawab. Ayah selalu menjadi tempat mengaduh ketika jiwa sedang kosong lalu dengan sukses Ayah akan menuntunku kembali ke jalan Allah.
Aku belajar memetik hikmah, mengambil banyak pelajaran tentang hidup dan takdir lewat perjalanan hidupnya yang tidak mudah. Amalan-amalan Ayah yang istikamah selalu menjadi teladan bagiku. Begitu juga hubungan dengan sesama manusia. Ayah adalah sosok tokoh masyarakat yang katanya tidak pernah mengundang kontroversi. Pendingin di saat ummat dilanda panasnya permasalahan dunia.

Perjuangannya untuk umat dan keluarganya seolah tak pernah habis untuk diceritakan. Untuk itulah aku ingin memberi kado terindah untuknya nanti. Sebuah Biografi tentang dirinya. Suatu ketika saat buku antologi pertamaku terbit, Ayah berpesan :
“Kapan ya bisa dibikinin buku sama Jihan.”
“Nanti Jihan bikinin antologi ya, tenang aja.” Jawabku enteng kala itu. Namun setelah dua tahun berlalu ternyata rencana itu hanya ada dalam kepala. Semoga aku bisa merealisasikannya lewat ODOP. Sebuah Biografi, persembahan terbaik dariku untuk Ayah.

Biografi atau novel, keduanya ingin kutulis. Namun untuk kali ini, Biografi tampaknya harus kudahulukan sebagai janji yang harus ditunaikan. Janji pada Ayah.

Ayah, orang pertama yang bangun dini hari, lalu bermunajat bersimpuh bersujud kepada Allah. Doa-doa beliau selalu menggema hingga kamarku. Doa keselamatan untuk istrinya, anak-anaknya , cucunya serta jamaahnya.
Lirih lisannya membaca Quran.
Usai Subuh masih disempatkan untuk membuat catatan. Apalagi hari Jumat, menyiapkan materi khutbah adalah kebiasaan.


Ayah, entah mengapa waktu terasa begitu cepat. Sepertinya baru kemarin kau antar aku pergi ke sekolah. Masih dengan badan yang gagah dan rambut yang hitam.


Ayah, mengapa sudah terlewat enam puluh tahun saja usiamu hingga rambut dan jenggotmu memutih. Tidak bisakah kita kembali ke masa lalu? Saat vespamu melaju pelan mengantarku hingga pintu gerbang sekolah. Kudekap erat tubuhmu karena kau bilang jika tak berpegangan, aku akan jatuh.

Ayah, kau tak mengizinkan seorang pun menyakitiku. Maka aku pun ingin begitu. Tak ada seorang pun yang boleh menyakitimu. Sampai-sampai lantai licin yang membuatmu hampir terpeleset kemarin ingin sekali segera kuganti dengan yang baru.

Ayah, semoga usiamu penuh keberkahan. Nikmatilah masa-masa ini dengan berhenti sejenak dari segala persoalan umat yang selalu datang.
Aku pun kehabisan kata untuk menuliskan segala hal tentangmu hari ini. Kami menyayangimu Ayah. Sehat-sehat selalu ya ❤️
Mudah-mudahan Biografi yang kujanjikan segera bisa kau baca. Sebagai teman di masa tua.