Fenomena Childfree Marriage didefinisikan sebagai keputusan seseorang atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Hal ini muncul dan jadi populer ketika seorang influencer yang tidak tinggal di Indonesia tapi masih seorang WNI, membagikan pemikirannya itu lewat unggahan videonya di Youtube. Pasti semua sudah tahu ya siapa itu.
Disclaimer :
Setelah tulisan ini publish tentu saya harus siap dengan segala konsekuensinya. Konsekuensi untuk dihujat atau didukung mungkin. Hehe.. Namun narasi ini saya tuliskan semata untuk diri sendiri dan juga visitor setia jeyjingga. Sebagai pengingat sekaligus juga bagian dari tugas saya sebagai manusia untuk menyampaikan kebaikan dan ajaran agama Islam.
Oleh karena itu saya sampaikan di awal bahwa saya membuka lebar-lebar pintu untuk berdiskusi, no hurt feelings ya, karena kita semua boleh kan berpendapat. Sebagaimana seorang Gita Savitri Childfree menyampaikan pendapatnya.
Ngaji Soal Childfree Menurut Islam Bersama Komunitas Perempuan
Beberapa waktu lalu, kami yang tergabung dalam komunitas perempuan Nasyiatul Aisyiyah Putri Muhammadiyah ingin sekali mengkaji fenomena childfree marriage ini ke ranah publik. Tujuannya untuk memberikan pengetahuan sekaligus edukasi bagaimana Islam memandang fenomena childfree yang punya kemungkinan menjadi tren di masa depan.
Kalau sudah menjadi tren itu artinya dia akan punya banyak pengikut alias penganut. Kalau sudah banyak penganut, maka siapa yang akan melanjutkan tugas dakwah yang diemban oleh manusia di muka bumi ini? Kalau sudah banyak penganut, bagaimana fenomena ini akan memengaruhi kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia?
Akankah eksistensi umat manusia akan berakhir seperti Dinosaurus?
Akhirnya kami sepakat untuk membuat sebuah diskusi terbuka menanggapi tentang fenomena Childfree Marriage ini via live instagram @pdnakotamalang.
Hadir bersama kami Ayunda Annisa Rosyidah, S.PdI yang sedang menyelesaikan pendidikan magisternya di Universitas Islam Negeri Malang. Beliau juga aktif sebagai Ketua Departemen Kader Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kota Malang. Karena background beliau adalah pendidikan agama, maka sore itu kami membahas tentang fenomena childfree Marriage dari sudut pandang agama Islam. Agama mayoritas di negeri ini.
Ada beberapa poin yang saya garis bawahi di sini setelah mendengarkan sekaligus berdiskusi bersama Ayunda Nisa sore itu. Beberapa poin juga ditulis dari sudut pandang saya sebagai seseorang yang masih nyantri dimana-mana, asal bukan pada ustadz karbitan.
Fenomena Childfree itu…
Fenomena Childfree Marriage = Ketakutan yang tidak Terbukti?
Fenomena Childfree bisa dikatakan sebagai asumsi atas ketakutan-ketakutan yang tidak terbukti. Ketakutan-ketakutan itu bisa berupa macam-macam. Takut tidak bisa menyejahterakan anak, takut tidak bisa menjadi orangtua yang bertanggung jawab, dan lain-lain. Padahal pasti ada solusi dari setiap ketakutan yang dirasakan.
Takut anak sengsara dan tidak sejahtera? Apakah solusinya adalah tidak mau punya anak?
Sebagai seorang yang beriman, tentu kita seringkali mendengar bahwa setiap anak akan mendatangkan rezekinya masing-masing. Sebagai seorang beriman tentu kita harus meyakini itu. Meyakini bahwa tidak ada sehelai daun yang jatuh tanpa seizin Allah. Tidak ada makhluk di bumi ini yang hidup tanpa seizin Allah. Tidak ada satu pun makhluk hidup di bumi ini yang tidak dijamin rizkinya oleh Allah.
Jadi ungkapan bahwa setiap anak punya rezekinya masing-masing bukan semata pepesan kosong yang tak ada artinya. Itulah nilai iman dalam diri kita. Jika kita mengaku beragama tentu kita tidak akan khawatir akan rezeki anak-anak nantinya. Selama kita berusaha maksimal, berikhtiar untuk menyejahterakannya, anak tidak akan mengambil rizki yang sudah menjadi “jatah” kita.
Itulah kenyataannya.
Childfree Marriage = Manifestasi Masa Kecil yang Tidak Membahagiakan?
Fenomena Childfree adalah manifestasi dari masa kecil yang mungkin tidak bahagia dan trauma akan masa kecil yang menyusahkan orangtuanya. Ini bukan hanya pendapat saya maupun Ayunda Nisa saja. Namun seorang ulama di kota Malang juga mengatakan demikian.
Bisa jadi orang yang bersikeras ingin tidak memiliki anak dan menyebarkan pemikirannya itu bisa jadi adalah anak yang dulunya menyusahkan orangtuanya, trauma akan masa kecilnya, dan masih banyak lagi alasan yang membenarkan pendapat kami soal ini.
Childfree Marriage = Hak Setiap Orang. My body = My choice
Sekilas pernyataan ini benar, tapi berbahaya juga menurut saya. Kalau kata Ayunda Nisa dalam sesi diskusi kami, my body my choice cenderung egois. Apalagi setelah kita menikah.
Dalam pernikahan tentu ada hal-hal yang harus disepakati bersama tanpa paksaan. Ada hal-hal yang harus kita pertimbangkan karena kita tidak lagi sendirian. Kita punya pasangan sah yang juga menjadi bagian dari diri kita sendiri. Kalau kita hanya memperhatikan hak kita sebagai perempuan, sudahkah kita memperhatikan hak laki-laki? Sudah kita menunaikan tanggung jawab kita sebagai pasangan?
Ditambah, kita tidak boleh lupa bahwa hak atas badan kita tentu bukan milik diri kita sepenuhnya. Siapa yang menciptakan? Mengapa kita sibuk sekali membicarakan hak tubuh sementara kita tidak memperhatikan bagaimana Allah meletakkan fitrah perempuan untuk kebaikan diri sendiri? Ngomongin soal hak, apakah kita sudah memberikan hak Allah sebagai Tuhan kita?
Punya Anak Dapat Membatasi Aktualisasi Diri Seorang Perempuan
Tidak punya anak adalah pilihan untuk perempuan agar bisa mengaktualisasikan dirinya. Apakah teman-teman sepakat dengan pernyataan ini?
Secara pribadi saya tidak setuju. Karena memiliki anak tidak akan menghambat aktualisasi diri kita. Saya contohnya. Justru saya lebih produktif ketika anak saya lahir ke dunia ini. Saya merasa waktu adalah emas. Setiap waktu yang saya habiskan untuk mengembangkan diri serta mengaktualisasikan diri saya ketika anak tidur justru menjadi habit yang menyenangkan bagi saya.
Masih banyak lhoo contoh ibu yang punya anak dengan segudang prestasi. Boleh banget diadu dengan prestasi mereka yang tidak ingin punya anak. Jadi saya pikir, anak bukan alasan.
Mungkin saya harus mengorbankan sedikit waktu tidur. Tapi itulah yang namanya hidup. Untuk berproses menjadi baik tentu butuh rintangan. Seekor kupu-kupu tidak akan pernah bisa terbang dan punya sayap yang cantik tanpa pengorbanan. Begitu juga dengan kita.
Childfree Mengendalikan Populasi Manusia di Bumi dan Mengurangi Jumlah Anak-anak Terlantar
Fenomena Childfree dianggap sebagai salah satu bentuk penyelamatan bumi yang sudah penuh sesak ini. Penyelamatan dari polusi, kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia, dan hal-hal semacamnya. Ditambah adanya banyak anak terlantar di dunia ini. Alasan beberapa perempuan yang menganut childfree ingin mengurangi polusi itu sendiri.
Alih-alih ingin membantu anak-anak terlantar, padahal ini kewajiban kolektif. Jika teman-teman mengenal Muhammadiyah, persyarikatan ini sudah menjalankan kewajiban kolektifnya sebagai umat manusia bahkan sejak sebelum kemerdekaan, sejak persyarikatan ini didirikan.
Muhammadiyah memikirkan dan mengaktualisasikannya lewat semangat Al-Maun. Dibuktikan dengan banyaknya panti asuhan yang dibangun untuk menampung anak-anak yatim piatu yang perlu ‘diurus’ dan diberi kasih sayang. Semuanya tidak akan dibiarkan jadi anak-anak terlantar dan tak terurus.
Keputusan untuk memiliki anak juga tidak akan menghalangi kita untuk mengadopsi anak-anak yatim piatu itu bukan? Saya selalu ingat dengan prinsip bahwa setiap anak memiliki rizki yang sudah digariskan oleh Allah.
Tidak mengapa saya dibilang kolot, kuno atau punya pemikiran konservatif. Namun memilih untuk punya anak, mendukung mereka yang mau punya adalah bagian dari hati nurani saya yang ingin menjalankan sunnah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah, kekasih Allah yang dicintai ummat, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Fenomena Childfree dan Keputusan Seorang Perempuan
Memang benar ketika seseorang memutuskan untuk tidak punya anak tentu itu adalah haknya. Hak yang dijamin oleh negara dan bukan suatu tindakan kejahatan atau perbuatan yang bisa dikenai hukum positif dalam suatu negara. Namun, mengutip apa yang dikatakan oleh Mas Aab El Karimi beberapa waktu lalu di akun media sosialnya soal pendapat tentang Chidfree saya sangat menyetujui dan ingin membagikannya di sini :
Kalau ranahnya soal pilihan pribadi ya ngga masalah sih. Namanya juga rencana dan keinginan dia. Namun kalau orang itu memilih Childfree lalu dia merasa pilihannya keren, superior, lalu ngotot disebarkan kemana-mana di kultur yang berbeda. Ya ini bikin rusuh namanya. Apalagi kalau gagasan childfreenya dijadikan jalan menyebarkan feminisme, gender, lalu mendeskripsikan terlalu over bahwa wanita di Indonesia itu terjajah karena punya anak. Yang paling direpotkan dan terpercaya adalah seorang Ibu. Atau konsep istri dalam Islam itu bermasalah, terlalu patriarki. Ini ngajak perang namanya.
Karena kalau model seperti ini akan berhadapan dengan keyakinan Muslim yang merindukan anak shalih berjariyah pahala, yang akan meneruskan kebaikan orangtua, bisa menjaga dan memberi kehangatan di hari tua, yang mau ikut tuntunan Rasulullah dalam membina keluarga, mendidik anak, sampai membagi waris. Ini bagi kami seorang Muslim pahala semua.
Ya Childfree itu pilihan, tapi bagi kami tidak sesuai sunnah.
Ya, itu pilihan dan saya juga menghormati pilihan mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak. Namun sebagai seorang Muslim yang menginginkan kebaikan untuk saudaranya, saya ingin mengingatkan bahwa tidak perlu takut jika anak dianggap sebagai “beban” yang suatu hari kita takutkan karena kondisi orangtuanya. Yakin bahwa masing-masing orang sudah terjamin rizkinya oleh Allah, sebagai seorang Muslim kita harus mengimani itu.
Jadi anak lahir sudah membawa rizkinya sendiri. Andai dia lahir dan orangtuanya meninggal pun, dia tetap punya rizki. Kita hanya berusaha, kita hanya berupaya. Allah yang memberikan untuknya rizki itu.
Narasi memiliki anak berarti tidak bahagia adalah pemikiran yang sempit. Menurut Islam, kita tidak boleh memiliki pemikiran seperti itu. Coba teman-teman googling, bagaimana Islam menganjurkan kita untuk memiliki keturunan, mendidiknya dengan baik dan menjadikannya generasi yang beradab dan bermanfaat. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah, kita pun perlu menjadikannya pedoman atau tuntunan dalam hidup kita.
Lain hal jika Anda non muslim, maka abaikan pesan ini. Atau lain hal jika alasannya syar’i, misalnya saja karena sakit yang tidak memungkinkan kita untuk memiliki anak.
Sebagai penutup, dalam kajian kami sore itu Ayunda Nisa juga menceritakan tentang Kisah Ibrahim ‘alaihissalam yang pernah dituturkan oleh Ustadz Budi Azhari :
Perjuangan Nabi Ibrahim untuk memiliki anak bukan semata mata untuk kebahagiaan diri sendiri dan pasangan, tapi kita bisa merasakan bagaimana keinginan mereka untuk memiliki anak itu dari doa-doa mereka. Ibarat pohon agar tidak punah, mereka butuh berkembang biak. Apel yang manis supaya tetap eksis harus ada bibitnya. Nabi ingin memiliki keturunan karena ada tugas dakwah yang diemban. Begitu juga dengan manusia.
Semoga artikel ini bermanfaat yaa <3
Salam damai dari saya, blogger kolot konservatif yang tetap ingin mengikuti Sunnah Rasulullah.
Follow sunnah and im proud to be muslim❤️
Terbaik… Good review wis