Beberapa jam yang lalu sempat ikut menyuarakan tentang pelecehan seksual lewat telepon. Karena di dunia yang serba digital seperti ini, pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan lewat apa saja.

Melalui media sosial, telepon, messenger, dan lain-lain. Namun tak sedikit dari perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual lewat telepon ini berani menyuarakannya. Baik pada orangtua, teman, atau bahkan pasangannya sendiri. Atau bahkan ada juga yang menerima perlakuan yang tidak pantas, pelecehan seksual yang dilakukan oleh pacarnya sendiri.

Laki-laki yang seharusnya menjadi tempat dia berlindung dari lelaki lain. Lelaki yang seharusnya melindungi, bukannya mengintimidasi. Banyak lho kasus pelecehan yang ternyata dilakukan oleh kekasihnya sendiri, yang belum resmi secara agama maupun negara menjadi suaminya.

Kasus Pelecehan Seksual Lewat Telepon Naik Drastis Selama Pandemi

pelecehan seksual lewat telepon

Entah bagaimana korelasinya, yang jelas tidak hanya tingkat ke-stress-an orang-orang yang naik selama pandemi, tapi juga kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di dunia maya. Bahkan pelecehan seksual lewat telepon sekalipun.

Melansir dari CNN Indonesia, ternyata 80% wanita sudah pernah mengalami pelecehan seksual lewat ponsel. Jika ada 50% wanita dari penduduk Indonesia yang berjumlah ratusan juta itu, maka angka yang kita dapatkan di sini sungguh fantastis.

Data ini berdasarkan penelitian TrueCaller yang dilakukan di lima negara dengan kasus pelecehan seksual tinggi, yakni Brasil, India, Kolombia, Mesir dan Kenya. Pelecehan virtual ini tak jarang bersifat seksual.

Gangguan seksual yang dialami misalnya 1 dari 3 perempuan Mesir dan 1 dari 5 perempuan India. Mereka pernah menerima telepon atau pesan singkat yang bersifat pelecehan seksual. Mayoritas telepon maupun pesan singkat itu datang dari orang tidak dikenal. Selain itu, hanya sebagian kecil dari pelaku yang berhasil diidentifikasi.

Contoh perilaku pelecehan ini adalah meminta atau menerima gambar tak senonoh, memaksa korban untuk berdiskusi tentang seks, atau memberikan komentar tak senonoh tentang penampilan atau bagian tubuh korban. Pernah begini? Yuk, segera laporkan. Boleh juga menghubungi TrueCaller jika teman bloger mendapati kerabat atau teman yang butuh pertolongan karena pelecehan ini.

Kasus di Indonesia

Hal serupa marak terjadi juga di Indonesia. Sebuah survei yang dilakukan oleh Awas Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada tahun 2020 menemukan sekitar 67 persen perempuan Indonesia mengaku menerima pelecehan seksual secara daring selama pandemi.

Komnas Perempuan juga menemukan bahwa pada tahun 2020, laporan pelecehan seksual siber meningkat sebanyak 348 persen dari tahun sebelumnya.

Dari total 1.636 kasus terlapor, mayoritas merupakan ancaman menyebarkan media tidak senonoh 37,5 persen, pornografi balas dendam 15 persen dan penuntutan gambar atau video tidak senonoh 10,4 persen.

Pengalaman Pelecehan Seksual Lewat Ponsel

Beberapa tahun lalu saya pun juga pernah mengalaminya. Bercerita soal ini sebelumnya saya berpikir tentang aib. Saya bingung dan gamang. Harus kemana saya bercerita? Harus kemana saya melaporkan? Karena saat itu saya benar-benar tidak ingin ada orang yang tahu. Malu jelas.

Namun setelah mendapatkan banyak insight dari sebuah video yang diberikan salah seorang rekan tentang pelecehan seksual lewat telepon ini saya jadi bertekad untuk ikut menyuarakannya juga. Kemudian banyak juga perempuan yang menimpali dengan cerita soal pelecehan yang menimpa dirinya. Saya merasa jadi lebih kuat dan semakin ingin mengungkapkannya. Sebagai pelajaran juga untuk teman perempuan lain agar tidak mengalami hal yang serupa.

Empat tahun lalu kira-kira, saya baru saja hiatus dari Facebook Messenger. Lalu tiba-tiba menginstalnya kembali dan membalas beberapa pesan dari teman lama. Beberapa diantaranya ada pesan yang ternyata sudah satu tahun belum saya balas. Dari teman kecil semasa sekolah. Ketika saya buka isinya, ternyata dia menanyakan kabar saja. Saya pun membalasnya sekadarnya.

Ternyata tidak sampai satu menit, teman masa kecil itu meminta nomor handphone saya. Karena saya mengenalnya, saya pun memberikannya tanpa berpikir macam-macam.

Waktu mungkin telah mengubah dirinya yang baik hati dan sopan saat sekolah menjadi seseorang yang semakin tidak saya kenal. Beberapa kali dia menelepon namun tidak saya angkat. Karena saya menghormati suami saya. Dia lelaki dan saya perempuan. Saya pun memasukkannya ke dalam grup alumni sekolah. Berharap kami cukup berkomunikasi lewat grup itu saja. Jadi tidak ada yang bersifat rahasia maupun pribadi. Harapannya begitu.

Namun suatu malam dia menelepon, tetap tidak saya angkat.

Keesokan harinya saya mengirim pesan padanya, ada hal penting apa yang akan dia sampaikan sehingga harus menelepon seorang perempuan di malam hari? Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba dia meminta saya untuk mengirim foto selfie. Saya pun menolaknya. Dibalas olehnya dengan kata-kata kasar dan melecehkan.

Saya kaget dan tidak menyangka teman sekolah saya seperti itu. Mungkinkah HPnya dibajak? Bisa jadi kan itu bukan dia. Keesokan harinya ketika dia menelepon kembali, saya beranikan diri untuk mengangkat telepon itu. Apakah itu benar dirinya atau bukan.

Ternyata benar, itu teman saya. Beberapa pertanyaan yang sempat saya ajukan menandakan bahwa itu benar dirinya, teman masa kecil yang entah bagaimana sudah berubah menjadi pria yang menakutkan. Ketika saya akan menutup telepon, dia mengatakan sesuatu yang tidak sepantasnya untuk dikatakan pada seorang teman wanita yang sudah memiliki suami.

Bahkan dia juga mengirimkan gambarnya yang telanjang dada. Astaghfirullah, seketika itu pula saya memblokirnya. Semua sosial medianya pun saya blokir. Namun kesalahan saya adalah tidak segera menceritakan ini ke teman-teman perempuan saya yang lain, juga ke suami. Saya berpikir bahwa ini adalah aib diri yang tidak boleh diketahui oleh siapapun.

Untuk para perempuan di luar sana, berhati-hati yaa. Bahkan orang yang pernah kita kenal sekalipun bisa melakukan hal yang melecehkan harga diri kita. Sebagai wanita, sebagai istri, juga sebagai ibu. Meskipun pelecehan yang dilakukan melalui telepon dan tidak menyentuh kita, namun pasti meninggalkan trauma dalam diri. Saya jadi takut ketika ada nomor asing menelepon. Hati jadi gusar dan jantung memompa darahnya begitu deras ke seluruh pembuluh darah.

Padahal telepon-telepon yang masuk tersebut belum tentu dari orang jahat. Bisa jadi dari driver OJOL, dari kantor, atau dari relasi yang ingin berbisnis dengan saya. Hingga sampai saat ini pun saya jadi tidak nyaman berkomunikasi lewat telepon, dengan siapapun itu. Entah laki-laki atau perempuan.

Beberapa pesan yang masuk lewat instagram, Facebook, dan Twitter pun ada yang tiba-tiba saja mengirim gambar menjijikkan. Tak jarang juga pesan yang melecehkan. Kalau menemukan hal yang begitu, autoblokir deh. Meskipun mereka akan terus ada dan terus mengirimkan pesan. Seperti mati satu tumbuh seribu. Harapannya sih ada regulasi dan hukum yang bisa membuat para pelaku pelecehan seksual terutama lewat telepon ini menjadi jera.

Tidak cukup hanya satu atau dua tahun atau bahkan hitungan bulan. Mau itu kelainan atau bukan, yang namanya pelecehan seksual tentu tak bisa dimaafkan. Apapun bentuknya.

the world need your voicr

Hal yang Harus Dilakukan Ketika Menerima Pelecehan Seksual Lewat Telepon

Beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai korban sebagai berikut :

  • Unduh aplikasi identifikasi penelepon juga pemblokiran spam yang bisa kita lakukan lewat operator seluler atau customer center provider.
  • Jika panggilan masih tetap masuk, segera tutup telepon dan laporkan
  • Blokir melalui aplikasi untuk memastikan mereka tidak dapat menghubungi lagi
  • Mintalah bantuan pada pihak yang berwenang di tempat kita jika merasa terancam dan tidak aman
  • Jika penelepon terus mengganggu, mari kuatkan hati dan bicarakan ini dengan orang terdekat kita, orang di sekitar kita
  • Kalau kita mampu untuk menegur si pelaku, yuk tegur mereka dan jelaskan bahwa hal tersebut tidak pantas untuk dilakukan
  • Beruntung jika suami, ayah atau saudara lelaki kita tidak meremehkan masalah yang kita alami dan selalu hadir ketika kita membutuhkan bantuan.

Semakin banyak dibicarakan, semakin mudah pula membawa perubahan dan solusi untuk melawan isu sosial ini -Lindsey