Bagaimana sih pola asuh anak yang benar? Bagaimana mengatasi tantrum pada anak? Kali ini saya punya pengalaman menarik nih soal tantrum dan pola asuh anak.
Tentang Tantrum
Tantrum adalah ledakan emosi yang diluapkan anak dengan menangis keras, berguling, melempar, ataupun perilaku lain yang menunjukkan kemarahan. Tantrum seringkali terjadi pada anak usia satu hingga empat tahun. Tantrum dapat terus berlanjut dilakukan anak hingga besar jika tidak ditangani dengan tepat.
Saya termasuk orangtua yang masih merasa kesulitan mengatasi tantrum yang dialami anak. Padahal kuncinya hanya satu. Yaitu konsisten dengan peraturan yang disepakati. Saat usia Isya memasuki satu tahun beberapa bulan lalu, seringkali ia menangis karena keinginannya tidak dituruti, atau ketika saya sebagai orangtuanya tidak mengerti apa yang diinginkannya. Saat itu pasti kita ikut bingung, sedih, bahkan bisa jadi emosi karena tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika anak marah. Kalau kita balas marah, seringkali si anak justru akan menangis lebih keras. Maka saya pun terkadang diam sebentar, menenangkan diri sendiri. Baru kemudian beranjak memeluknya, mengelus punggung atau dadanya agar lebih tenang.
Ketika si anak lebih tenang, maka dia akan mengutarakan maksudnya dengan lebih jelas (meskipun dalam kasus ini anak saya belum bisa bicara. Hanya bisa ah uh ah uh, atau menunjuk-nunjuk apa yang dia inginkan). Saat itulah saya masuk ke dalam dirinya. Menjelaskan dengan suara pelan bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukannya. Kadang dia mengerti lalu beralih ke hal lain. Kadang dia tidak mengerti dan masih tetap menangis. Kuat-kuatan aja sih, kalau kita kuat membiarkannya menangis untuk meluapkan emosinya sampai tenang, kelak dia paham bahwa ada hal yang dilarang untuk dilakukannya.
Berdasarkan pengalaman, hal ini efektif sih. Ada hal-hal yang memang harus diajarkan pada anak bahwa tidak semua keinginannya harus terwujud. Ada kalanya ia harus merasakan kecewa demi kebaikannya sendiri. Karena kalau semua dituruti, anak tidak akan belajar kan. Ada cerita dari seorang ibu yang anaknya tidak bisa diatur dan semua yang diinginkan harus terwujud jika tidak ingin barang-barang di rumahnya dilempar kemana-mana. Bahkan hingga usianya yang saat ini sudah 10 tahun.
Pola Asuh Anak
Suatu ketika, si ibu (sebut saja Y) ini datang ke rumah saya dengan membawa anaknya. Biasanya anaknya ditinggal di rumah dan dirawat oleh neneknya. Namun saat itu si nenek sedang sakit sehingga ibu Y terpaksa membawa anaknya itu ke rumah saya, ikut bekerja dengan ibunya. Saat itulah saya melihat begitu mengerikannya anak si ibu Y ini kalau marah.
Tiba di rumah, si anak langsung difasilitasi gawai milik ibunya agar bisa diam dan tidak bosan menungguinya mencuci baju dan setrika. Belum setengah jam ibunya bekerja, si anak berteriak ke ibu Y.
“Buk aku mau ayam!” ujarnya sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Kan tadi sudah sarapan telur di rumah Nak.”
“Laper lagi aku mau ayam.”
“Nanti yaa ibu belikan, sekarang belum bisa.”
“Pokoknya aku mau sekarang Buk!” ujarnya sambil mengancam akan membanting gawai milik ibunya. Saya yang mendengar hal itu ingin sekali menasihati si anak, namun saya urungkan. Saya pun mengizinkan si ibu Y untuk menggoreng ayam agar anaknya tenang. Ibu Y ini hanya bertugas mencuci baju dan setrika, jadi biasanya jam 12 siang sudah pulang.
Setelah makan, anaknya berulah lagi minta minum. Minumnya pun harus sprite. Iya sprite, minuman berkarbonasi itu! Saya kaget dan heran anak seusia itu sudah dibiasakan minum Sprite. Ibunya lagi-lagi kelimpungan mencari minuman yang diinginkan anaknya itu. Karena di rumah saya tidak punya minuman semacam itu, diturutilah si anak dengan membelikan minuman yang dimaksud di warung dekat rumah. Wah ngga beres ini, apa-apa diturutin. Bahkan sepagi ini sudah minum minuman yang tidak sehat, pikir saya.
Terang saja ledakan emosinya menjadi-jadi ketika kemauannya tidak dituruti. Karena itulah yang digunakannya sebagai senjata agar ibunya mau bergerak untuk memenuhi semua keinginannya. Tentu saja ada yang tidak beres dengan pola asuh anak ini.
Saya mencari banyak literatur tentang pola asuh anak ini sebelum si Isya jadi besar. Salah satu sumber kredible yang saya baca adalah artikel dari Halodoc. Eh emang ada ya? Ada! Halodoc tidak hanya memuat artikel-artikel yang sifatnua edukatif dan informatif di bidang kesehatan saja lho, tapi juga soal parenting dan psikologi. Lengkap dan bisa dipertanggungjawabkan isinya. Karena ada redaksi yang mengelola informasi dari para pakar dan dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga masyarakat awam mudah mengakses informasi tersebut.
Seperti yang dijelaskan di artikel Halodoc yang pernah saya baca tentang pola asuh anak. Ternyata ada banyak macam dan efek pada anak mengenai pola asuh ini.
Pola Asuh Permisif
Menurut ahli, pola asuh anak jenis ini memberikan kebebasan pada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya. Pola asuh ini enggak memberikan batasan yang tegas pada anak. Biasanya orangtua akan mengikuti apapun yang anak inginkan sehingga ia cenderung enggak memiliki keteraturan dan kemampuan untuk meregulasi diri. Enggak cuma itu, orangtua biasanya memberikan tuntutan yang minim kontrol pada perilaku anak. Jika anak melakukan kesalahan, orangtua dengan pola asuh ini jarang, bahkan tidak pernah memberikan hukuman.
Menurut ahli, dampak pola asuh permisif akan membawa pengaruh atas sifat-sifat anak, seperti:
- Suka memberontak.
- Prestasinya rendah.
- Suka mendominasi.
- Kurang memiliki rasa kepercayaan diri.
- Kurang bisa mengendalikan diri.
- Tidak jelas arah hidupnya.
Pola Asuh Otoriter
Dalam buku Raising Children In Digital Era, dikatakan bahwa tipe orang tua otoriter biasanya lahir dari pola asuh serupa yang diterimanya ketika kecil. Pola asuh anak jenis ini enggak memberikan ruang diskusi pada anak. Sederhananya, peraturan dibuat untuk mengontrol anak. Tidak cuma itu, orangtua yang menerapkan pola asuh ini sering kali terbilang keras dengan alasan mendidik. Mereka cenderung memberikan kontrol yang sangat kuat pada perilaku anak. Singkatnya, anak harus patuh, dan kalau melanggar maka enggak jarang konsekuensinya adalah hukuman, bahkan hukuman fisik.
Menurut ahli, efek negatif dari hukuman fisik ini bisa berakibat buruk pada fisik dan mental anak. Bagi mental, bisa membuat anak berprilaku agresif, tak percaya diri, dan pemalu. Agresivitas ini akan terbentuk dari kemarahan atau perasaan negatif yang tertumpuk. Jadi, ketika anak sering mendapatkan hukuman fisik, maka mungkin saja ia menjadi marah dengan keadaan, lalu menyalurkannya dalam bentuk agresivitas pada orang lain.
Menurut studi dari University College London, anak yang sejak kecil selalu dikontrol kehidupannya, ternyata tidak bahagia dan memiliki kesehatan mental yang rendah. Bahkan, efek jangka panjangnya mirip dengan kondisi mental orang yang pernah ditinggal meninggal oleh seorang yang dekat dengannya.
Pola asuh otoriter memang sah-sah saja diterapkan. Kata ahli, pola asuh anak jenis ini mungkin tepat diterapkan pada anak yang memiliki masalah perilau. Misalnya, berkaitan dengan aturan jam malam. Nah, di luar masalah jam malam, orangtua bisa menerapkan pola asuh yang dinilai baik untuk anak, alias mengombinasikan pola asuh.
Menurut ahli, dampak pola asuh otoriter akan membawa pengaruh atas sifat-sifat anak, seperti:
- Tidak mempunyai kekuatan memilih.
- Tidak bisa mengambil keputusan sendiri.
- Takut salah.
- Tidak mempunyai kekuatan untuk mengatakan tidak.
- Takut mengemukakan pendapat.
- Kurangnya motivasi internal.
Pola Asuh Autoritatif
Inilah pola asuh yang paling disarankan ahli untuk orangtua terapkan. Pola asuh ini memberikan batasan perilaku yang jelas dan konsisten. Selain itu, pola asuh autoritatif enggak menggunakan kekerasan dalam mengasuh anak. Di sini, orangtua akan mendorong adanya diskusi dengan anak. Contohnya, seperti menjelaskan pada Si Kecil mengapa diberikan aturan tertntu. Sederhananya, orangtua enggak membebaskan dan menerima begitu saja perilaku anak, tapi juga tidak memberikan kontrol yang berlebihan. Menariknya, anak akan diberikan kesempatan untuk mencoba dan bertanggung jawab pada pilihannya.
Nah, berikut dampak pola asuh autoritatif pada anak:
- Memiliki keterampilan sosial yang baik.
- Terampil menyelesaikan permasalahan.
- Mudah bekerjasama dengan orang lain-lain.
- Lebih peracaya diri.
- Tampak lebih kreatif.
(Sumber : halodoc.com)
Saya sendiri masih belajar untuk menerapkan pola asuh yang direkomendasikan para ahli. Mudah-mudahan kita semua bisa melakukannya dengan baik ya. Hingga anak-anak kelak tumbuh dewasa dengan sehat lahir batin dan bahagia. Apakah pola autoritatif di atas bisa juga meredam tantrum? Menurut buku Bye-Bye Tantrum karya Innu Virgiani, jangan pernah membentak anak (sesuai dengan pola otoriter), namun komunikasikan dengan anak dan cari tahu penyebabnya. Lalu alihkan perhatian anak pada hal lain. Tentu saja hal ini butuh waktu dan tenaga ekstra. Namun kalau sudah terbiasa, anak akan mengerti sendiri dan terpola pada pikirannya bahwa ada hal-hal yang dilarang untuk dilakukannya.
Yuk coba terapkan agar anak tumbuh menjadi pribadi dengan keterampilan sosial yang baik, mudah bekerjasama dengan orang lain, terampil menyelesaikan permasalahan, lebih percaya diri dan lebih kreatif. Lindungi anak-anak kita dari pola asuh yang salah demi masa depannya sendiri 🙂
Baca Juga : Kamus Perasaan Anak. Bantuan Penjelasan pada Orangtua
Iya bener, sejak umut setahun udah mulai nampak tuh si tantrum pada anak saya. Sempet denger teori yang sama dari temen yang latarnya guru.
Katanya kita jangan sampai membuat anak menjadikan tangisan atau tantrum sebagai senjatanya menginginkan sesuatu. Tapi praktiknya sangat butuh keistiqamahan. Hehe
Terimakasih Mbak Jii sudah menambahkan referensi
Bener mbak Ji.. pernah liat tetanggaku yg sukses ngatasi kedua anaknya yg sering tantrum. Butuh kesabaran ‘ekstra’ dan istiqomah ya..
Berarti kita perlu mengenali lebih dahulu ya kak, poin-poin yang kita termasuk permisif atau otoriter, kemudian mengubahnya menjadi pola yang authoritative.
Dan setuju banget sih, soal perlu istiqamah ini dalam mengatasi anak tantrum ini. Supaya mereka berkomunikasi lebih baik dan tidak menjadikan tantrum sebagai senjata ketika meminta sesuatu.