Utang dan ikatan persaudaraan memang hal yang sensitif, tapi harus dikomunikasikan. Agak geli juga sih ketika ada yang ngepost tulisan soal ikatan sedarah yang lebih kental daripada darah itu sendiri dikalahkan dengan utang. Ibaratnya, jangan sampai memutus silaturahim dengan saudara apapun kondisinya. Benar sih, mutlak dan haq memang. Tapi si saudara yang mengaku saudara itu juga harus bisa memposisikan dirinya agar tidak “membahayakan” saudaranya yang lain akibat perbuatannya sendiri dong, iya ngga? 

Jangan Mau Jadi Lilin

lilin dan utang

pict from freepik

Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dibesarkan di lingkungan keluarga yang terbiasa dengan hidup susah sejak kecil. Sebelum jadi seperti sekarang, ayah dan ibu saya telah melalui banyak hal. Mulai dari diamanahi tiga orang anak dari saudaranya yang meninggal, padahal kondisi keluarga kami saat itu juga terpuruk, hingga ditipu oleh saudara sendiri. Jadi untuk masalah kemanusiaan, kami sudah hapal apa yang harus dilakukan. Termasuk soal memberikan utang pada saudara sendiri.

Teringat pesan ayah saya waktu itu : Jadilah pelita dalam obor, paling tidak apinya bertahan lama hingga bahan bakarnya habis atau ditiup angin. Jangan jadi lilin, yang menerangi sekitarnya tapi dirinya sendiri terbakar.

Yap, benar juga. Ini nyata terjadi pada salah seorang saudara ayah saya. Ia sengaja memberikan pinjaman pada saudaranya tanpa sepengetahuan istrinya. Alhasil ketika istrinya membutuhkan, tak ada yang bisa ia berikan dari simpanannya itu. Itikad baik meminjamkan uang, tidak disambut baik dengan pengembalian utang yang semestinya. Bahkan cenderung pinjam terus menerus tanpa itikad baik untuk mengembalikan. Bagaimana bisa tahu tak ada itikad baik untuk mengembalikan? Ya tidak ada keinginan untuk mengangsur pinjaman itu sama sekali. Namun untuk biaya les anaknya yang bisa ditunda, atau uang jajan anaknya untuk beli chatime tetap ada. Hutang adalah nomor sekian karena ia berhutang pada saudaranya. Bukan pada bank atau leasing yang membahayakan asetnya.

Akhirnya bagaimana? Pasangan tersebut bercerai karena utang yang tidak dibayar. Karena kelonggaran yang diberikan suami untuk saudaranya namun tidak melihat kondisi perekonomian keluarganya sendiri. Bahkan mereka pun masih numpang di rumah mertuanya, sedang berusaha membangun puing demi puing untuk hunian di masa tua. Kalau uangnya terus menerus digerogoti dan tidak dikembalikan, bagaimana bisa ia menabung dan mewujudkan impian masa depan rumah tangganya? Adilkah keringat yang didapatkan oleh saudaranya itu tidak dikembalikan sebagaimana haknya?

Maka bangunlah keluarga sendiri terlebih dahulu, baru membantu yang lain. Meskipun ada pertolongan Allah, namun cobalah realistis. Jangan jadi lilin. Bangunlah kemampuan finansial diri sendiri terlebih dahulu, jika sudah kuat, maka boleh membantu yang lain. Jangan sampai keduanya sama-sama terperosok ke dalam utang-piutang dan pada akhirnya baik yang menolong dan ditolong mengalami kerugian.

Jadi tak disadarinya bahwa asetnya berupa hubungan baik dengan saudaranya itu tidak dianggapnya sama sekali.

Ari Ginanjar Agustian, dalam bukunya ESQ (hal 91-92)

Pada saat berjanji (baca berutang),  kita seperti menarik energi suara hati orang lain secara besar-besaran, yaitu sebuah harapan. Kalau tidak dikembalikan, maka keseimbangan orang lain akan terganggu

Utang yang (dengan sengaja) tidak dikembalikan, atau dikembalikan tetapi tidak tepat waktu (tanpa pemberitahuan sebelumnya), atau baru dikembalikan setelah ditagih berkali-kali, akan menjatuhkan martabat pengutang itu sendiri.

Sungguh, jangan menodai ikatan persaudaraan karena utang, hubungan persaudaraan tidak bisa dibeli atau diganti dengan apapun. Pastikan sebelum utang ke saudara, berjanji pada diri untuk memegang teguh janji  melunasi sesuai kesepakatan di awal berutang. Berutang adalah berjanji, bagi orang yang ingkar janji, akibat yang ditanggung adalah seumur hidup. Pasti tidak nyaman, tidak bisa mudik lebaran, menghindar bertemu dan enggan datang ke acara keluarga besar hanya karena utang. Jadi sebenarnya siapa yang membahayakan putusnya tali persaudaraan itu sendiri?

Kan saya jadi geli ketika ada orang yang menuding saudaranya tidak mengingat ikatan persaudaraan namun dirinya sendiri tidak mengingat bagaimana ia telah merusak kepercayaan saudaranya.

Sampai sejauh ini pun, saya tujuh bersaudara tidak pernah sama sekali saling berhutang. Andai pun saya harus berhutang pada adik sebesar sepuluh ribu rupiah pun saya akan mengembalikannya secepat mungkin. Karena kami sejak kecil tidak dibiasakan untuk berhutang. Kalau mampu silakan beli, kalau tidak maka tahan, harus nabung dulu! Karena tidak semua keinginan kita di dunia ini bisa terwujud, ada kalanya kita harus belajar kecewa dan merasakan bagaimana rasanya.

Apa yang harus dilakukan ketika saudara meminjam uang?

utang dan ikatan persaudaraan

pict from freepik

Tentu saja hal ini tidak menjadi masalah ketika saudara kita hanya berhutang satu atau dua kali. Lalu ada itikad baik untuk mengembalikannya tepat waktu. Atau ia memang punya track record yang bagus dalam hal berutang. Namun menjadi suatu dilema, mengingat uang yang dimiliki tentu merupakan hasil jerih payah dalam bekerja. Selain untuk memenuhi kebutuhan, ada banyak ‘impian’ yang ingin diwujudkan dengan uang tersebut. Jika memberi pinjaman, artinya siap menerima risiko kehilangan jika tidak dikembalikan. Apalagi tidak hanya sekali atau dua kali. Sebaliknya apabila tidak memberi pinjaman, predikat pelit akan tersemat pada diri dalam lingkup keluarga.

Kalau saya dibilang pelit sih masa bodoh ya. Karena saya orangnya memang siap menerima risiko itu. Biarlah orang memiliki penilaiannya sendiri, karena sia-sia menjelaskan pada orang-orang yang memang tidak peduli dengan masalah kita.

Jadi harus bagaimana? Saya pernah membicarakan hal ini dengan sahabat saya yang notabene punya pengalaman yang sama. Kami berdiskusi dan saling memberi masukan. Bahwa ada baiknya jika kita :

Memberi sebagai hadiah

Memberi hadiah mampu mempererat hubungan persaudaraan, tentu saja. Hadiah merepresentasikan kepedulian, perhatian, pengertian, dan juga rasa sayang. Ketika seseorang meminta pinjaman uang, artinya ia sedang membutuhkannya. Secara psikologis bisa jadi ia mengalami tekanan finansial yang membuatnya stres bahkan frustrasi. Bisa jadi pula mereka yang sedang membutuhkan uang harus mengumpulkan seluruh keberanian untuk mengutarakan maksudnya tersebut dan mempersiapkan mental jika menghadapi penolakan.

Untuk hal ini bisa diterapkan sesuai kemampuan. Tidak harus meminjamkan nominal besar seperti permintaan saudara kita, namun kita beri sebagai hadiah dengan nominal yang menurut kita bisa mengikhlaskan itu. Jadi kita tidak perlu dibawanya pada janji-janji semu karena utang tak kunjung dikembalikan. Memberinya sebagai hadiah adalah salah satu solusi yang mestinya bisa menyadarkannya untuk berhenti berutang.

Memberi pinjaman dengan agunan

utang dan agunan

Agunan tak hanya berlaku untuk pinjaman pada lembaga perbankan saja, tetapi juga lingkup keluarga. Kita bisa memberikan pinjaman uang dengan agunan kepada saudara yang sedang membutuhkan, apabila nilai pinjamannya tergolong besar sehingga menguras sebagian besar simpanan yang kita miliki. Fungsi dari agunan ini sebagai jaminan keamanan atas perjanjian utang-piutang yang terjadi. Inilah yang dilakukan oleh Ibu dan ayah saya ketika ada saudara yang berutang. Jadi permasalahan utang dan ikatan persaudaraan lebih aman.

Bukan karena tidak percaya atau tidak manusiawi, namun ini adalah bagian dari pendidikan ayah dan ibu saya untuk orang yang berutang. Dalam perjanjian utang-piutang memberi pinjaman dengan agunan ini, kita bisa membuat kesepakatan dengan saudara yang meminjam uang tentang mekanisme pembayarannya. Baik nominal cicilan maupun jangka waktu pinjaman. Tak hanya itu, kemungkinan terburuk apabila saudara yang meminjam tidak bisa mengembalikan pinjamannya juga harus disepakati di awal perjanjian agar tidak menjadi celah perselisihan di kemudian hari. Misalnya dengan menjual aset yang diagunkan atau pengalihan hak milik atas agunan tersebut.

Dengan adanya agunan, ini adalah win-win solution menurut saya. Keduanya lebih nyaman dan peminjam tidak merasa khawatir untuk memberikan pinjaman kepada saudara. Sementara bagi pihak yang meminjam juga lebih mudah memperoleh pinjaman tanpa terbentur birokrasi yang berbelit, persyaratan yang rumit, dan bunga yang tinggi, namun tetap punya tanggung jawab untuk membayarkannya.

Urusan utang-piutang diantara saudara menjadi masalah yang sensitif. Di satu sisi, apabila saudara yang meminjam tidak beritikad baik mengembalikan, dapat mengancam keharmonisan hubungan persaudaraan. Namun di sisi lain, kita pun memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi sehingga tentunya berharap pinjaman uang bisa segera dikembalikan. Bersedia memberi pinjaman uang atau tidak, tentunya menjadi hak dan keputusan kita Bagaimana harus bersikap? Tentu saja mengambil sikap sesuai dengan kondisi finansial dan situasi yang sedang dihadapi.

Sampaikan padanya bahwa kita juga memiliki kebutuhan finansial. Ia harus belajar mencukupi kebutuhannya sendiri, bukan dengan meminta dari orang lain, termasuk dari keluarga. Ia harus mengupayakannya sendiri sesuai dengan kebutuhan hidup, bukan gaya hidup. Jika kita membiasakan memenuhi permintaannya dan membiarkan dirinya tidak membayar, maka ia akan menjalani hidup sesuai dengan kebiasaan yang kita tanamkan. Jangan biasakan memberi pinjaman. Berikan kesempatan pada saudara kita untuk belajar memberdayakan diri. Karena kelak ketika kita tiada, tidak ada lagi yang memberi pinjaman.

Pendidikan meskipun itu terdengar keras dan pahit bahkan terkesan kejam, sejatinya adalah kebaikan untuk dirinya sendiri. Membiasakan bertanggung jawab dan memilah serta memilih prioritas untuk menepati janji dengan membayar utang adalah amanah yang sulit dicari dari pendidikan manapun. Kehidupan lah yang mengajarkan kita tentang hal itu.

Jangan berutang karena tidak bisa membayar uang les anak (karena anak masih bisa sekolah dan belajar dengan ibunya di rumah). Jangan berutang karena tidak bisa membelikan sepatu baru untuk anaknya bahkan ketika sepatu lama masih bisa dipakai. Jangan berutang karena ingin bisa rekreasi (ayah saya menunda rekreasinya selama 30 puluh tahun karena tidak punya uang). Intinya, jangan bermudah-mudah dalam berutang! Pikirkan terlebih dahulu apakah bisa mengembalikan dalam jangka waktu sesuai dengan yang dijanjikan? Kalau tidak bisa, putar otak! Usaha lebih keras! Jangan foya-foya. Nabung!

jangan utang dan ikatan persaudaraan

pict from freepik

Saya menunda makan burger punya McD sejak kecil karena ibu tidak pernah punya dana prioritas untuk membelikan anaknya makanan fastfood yang mahal di zamannya. Sampai-sampai saat itu saya berdoa agar kelak masuk surga dan bisa request burger sepuasnya. Ketika saya sudah punya penghasilan sendiri? Makan burger sepuasnya dengan hasil keringat sendiri. Sampai meleduk pun bisa! Mau makan apapun bebas menikmati. Tanpa dikejar hutang, dan otomatis tanpa beban. Saya bersyukur punya orangtua yang mendidik saya sedemikian sederhana hingga saya bisa menjadi pribadi yang lebih menghargai kerja keras orang lain. Jadi tidak ada masalah dengan utang dan ikatan persaudaraan dengan kakak-kakak dan adik-adik saya. Alhamdulillah. Mudah-mudahan akan terus seperti ini.

Curhatannya jadi panjang, mudah-mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan kita senantiasa dijauhkan dari utang-piutang. Aamiin. Terlebih jangan sampai utang dan ikatan persaudaraan menjadikan hati menjadi kotor dan saling berprasangka.

Baca Juga : Ribavora dan Nikmat Sarapan Pagi Ini

Artikel ini diikut sertakan minggu tema komunitas Indonesian Content Creator