The God of Small Things adalah pemenang Man Booker Prize One of Times 5 Best Book New York Times Bestseller. Setidaknya itulah yang membuat saya rela bersama-sama tenggelam dengan kisah dalam buku ini. Apalagi saya melihat yang diusung dalam novel ini adalah isu-isu tentang chauvinisme dan kemanusiaan. Maka tidak ada alasan untuk tidak membacanya.
Lanskap Tersembunyi dalam The God of Small Things
The God of Small Things menceritakan tentang kehidupan Rahel dan Esthappen di sebuah desa di negara bagian Kerala. Yaitu sebuah kawasan yang secara sosio-kultural maupun secara politis dipandang sangat menarik oleh banyak orang. Dimanakah Kerala? Kerala berada di barat daya India yang dikelilingi oleh rawa-rawa sungai. Semuanya tergambarkan persis dalam novel ini. Orang-orang Kerala memakai bahasa Mayalayam.
Secara tersirat sejarah mengatakan bahwa Kerala memiliki begitu banyak keragaman budaya dengan interaksi yang diperumit oleh kolonialisme Portugis dan Inggris. Agama Budha, Hindu, Islam dan Kristen berkembang di sana. Menurut Melani Budianta, seorang pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, di kalangan penduduk Kristen Ortodoks Syiria berada di peringkat atas dan dianut oleh 20% penduduk Kerala.
Daerah ini menjadi istimewa karena memiliki tingkat ‘melek aksara’ yang tertinggi di India. Pada saat yang sama, Komunisme juga berkembang subur di sana. Setahun setelah pembentukannya pada tahun 1956, Kerala menjadi wilayah pertama yang dikuasai oleh partai komunis yang menang pemilu secara telak di daerah itu.
Seperti halnya ketika membaca Perempuan di Titik Nol, The God of Small Things secara kental meceritakan latar sosial budaya Kerala sekaligus menggugat isu kemanusiaan yang tajam. Seolah menunjukkan bahwa komunisme maupun agama yang mengajarkan kesetaraan manusia ternyata sama sekali tidak mengubah sistem pembedaan manusia yang sangat diskriminatif dan patriarkis. Tahu sendiri kan bagaimana India sudah berabad-abad mensakralkan itu?
Seperti halnya pula Perempuan di Titik Nol yang menuntut tentang keadilan, kemanusiaan, dan tak menganggap najis kelompok lainnya. The God of Small Things ditulis oleh Arundhati untuk menggugat suatu kenyataan sosial budaya yang mendasar sekaligus sensitif. Bukan hanya di India, tapi juga di seluruh dunia. Pemisahan manusia didasarkan pada kasta, ras, etnis, kelas, agama, dan alasan lainnya. Di situlah lahir bentuk-bentuk kekerasan yang dianggap lazim. Dianggap sesuatu hal yang biasa, meskipun harus merelakan tubuhnya babak belur dianiaya. Memang begitulah biasanya.
Bahkan kesalahan karena seorang perempuan punya mimpi, punya kehendak, dan sepatu kulit mahal adalah hal yang patut dihukum, dihancurkan, dirobek kecil-kecil hingga tak bisa diperbaiki lagi.
Manusia adalah makhluk yang didikte oleh kebiasaan, dan yang menakjubkan, manusia bisa terbiasa pada apapun. Bahkan pada penyiksaan yang dilakukan oleh suaminya sendiri – The God of Small Things
Gugatan Sosial Arundhati Roy
The Gof of Small Things dengan gamblang menggambarkan lanskap dan kondisi sosial yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat modern. Namun, saya pikir sekarang banyak orang tahu soal kasta di India ya? Bagaimana memperlakukan kasta rendah dan tinggi. Arundhati juga menceritakan kisah cinta yang tak biasa antara Ammu seorang putri pemilik pabrik, juga janda muda yang jelita, dengan Velutha.
Velutha adalah seorang pemuda jangkung yang lembut hatinya. Sayangnya ia berasal dari kasta terendah dari yang paling rendah. Sejak awal diceritakan tentang keduanya bahwa mereka dihukum secara tragis atas kenekatan mereka. Yang perempuan diusir dari keluarganya dan mati dalam kemiskinan. Sedangkan yang laki-laki diluluhlantakkan wajah dan tubuhnya di bawah sepatu lars polisi.
Sebenarnya yang menggilas kedua kekasih itu adakah kekuatan-kekuatan yang mengatasnamakan tradisi. Juga nama baik dan kstabilan negara, katanya. Novel yang dibuat dari sudut pandang Yang MahaKecil, yang tertindas, yang terendah diantara yang paling rendah dan tidak akan ada yang menolong mereka bahkan takdir baik sekalipun. Seolah mereka memang terlahir untuk menderita dan terbuang.
Kisahnya kompleks, disampaikan dengan cemerlang dari perspektif Rahel dan Estha, kedua anak Ammu. Arundhati mengambil latar Karela pada tahun 1969. Dimana saat itu, menurut Kak Melani Budhiarta, Kerala sedang dalam ketegangan antarkelas. Menyusul pengaruh kelompok radikal yang disebut Naxalit di dalam kelompok komunis, novel ini mengungkap begitu banyak persoalan sosial. Bukan hanya sistem kasta yang dipertanyakan, namun hampir setiap jenis kemunafikan digugat.
Dikisahkan Kamerald Pillai, pimpinan komunis, diam-diam bekerja sama dengan sang kapitalis. Dia bahkan bersekutu dengan polisi untuk menyingkitkan Velutha karena keanggotaan kasta yang haram disentuh ini menyentuh partainya. Tidak hanya itu, Arundhati juga menggugat perilaku gengsi Pappachi, seorang ilmuwan terhormat dan santun di depan umum. Namun ia adalah seorang suami yang bengis, egois, penyiksa berhati dingin istri dan anaknya.
Lalu Chacko, intelektual lulusan Oxford yang mengaku Marxis, memberdayakan buruh perempuan namun di waktu yang sama meniduri mereka satu persatu. Tak hanya itu, banyak suara perempuan yang digemakan oleh Arundhati dalam novel ini. Bahkan hal paling berbahaya yang “katanya” mengganggu kestabilan negara juga tak luput dari sorotan dalam novel ini. Makin penasaran kan? Baca saja novelnya, yuk!
The God of Small Things oleh Arundhati Roy
Penerjemah : Reni Indardini
Penerbit : Noura Books, Mizan, Jakarta, 2018. 508 halaman
Baca Juga Women at Point Zero
[…] Baca Juga The God of Small Things by Arundhati Roy […]
tulisannya mengalir, jadi pengen membaca novelnya. Tapi aku bukan pembaca novel yang baik 🙁