Menyoal ulasan saya tentang Teach Like Finland beberapa hari yang lalu, kali ini ingin rasanya berbagi pengalaman seorang guru Amerika Timothy D.Walker yang punya kesempatan untuk mengajar di sebuah sekolah Finlandia. Sambil berharap Indonesia akan segera mengadopsi sistem pendidikan seperti mereka.
Klik di sini untuk membaca ulasan sebelumnya :
If You’re So Smart Why Arent You Happy?
Hal menarik yang saya soroti kali ini adalah tentang cerita Timothy bahwa di Finlandia tidak ada sekolah-sekolah swasta (Pasi Sahlberg dalam Teach Like Finland). Kita sepakat bahwa sekolah komprehensif tempat anak-anak mulai belajar ketika beranjak tujuh tahun tentu menyediakan pendidikan dan perkembangan yang seimbang, menyeluruh serta berorientasi pada anak. Seluruh sekolah berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik bagi anak didik di negara ini. Mulai dari sarana dan prasarana, native speaker untuk kelas bahasa asing, kelas olimpiade, hingga adanya level-level di kelas matematika. Tentu dengan harga yang berbeda-beda pula.
Kurikulum di sekolah Finlandia memberi porsi yang sama rata untuk semua mata pelajaran sehingga memberikan kesempatan bagi semua anak untuk mengolah berbagai aspek kepribadian dan bakat mereka. Menariknya, tidak adanya sekolah swasta di Negara ini -yang secara otomatis tidak ada persaingan antar sekolah- dapat diartikan bahwa semua sekolah harus menjadi sekolah yang baik. Tanpa menghiraukan di mana mereka berada dan siapa yang mereka layani.
Mayoritas siswa Finlandia belajar dalam kelas yang secara sosial campur tanpa melihat atau memisah-misahkan kemampuan atau status sosial ekonomi mereka. Lihat, sangat kontras dengan kelas-kelas di Indonesia yang memisahkan mereka antara kelas unggulan dan kelas biasa saja. Bahkan mereka tidak hanya terpisah di kelas-kelas, label unggulan pun disematkan pada sekolah-sekolah dan universitas. Terdapat dikotomi antara sekolah unggulan, sekolah biasa saja, dan bahkan label sekolah nakal. Tanpa menafikan bahwa persaingan memang perlu adanya. Tapi di usia dan tahapan perkembangan mereka? Perlukah itu?
Finlandia percaya bahwa semangat inklusivitas ini telah membentuk pola pikir guru dan orang tua untuk percaya bahwa setiap orang dapat belajar apa pun yang diinginkan selama ada dukungan yang layak dan cukup. Sebagai hasilnya, mereka berfokus pada kesejahteraan, kesehatan dan tentu saja yang paling penting adalah kebahagiaan siswa di sekolah, yang menjadi salah satu tujuan utama bersekolah di seluruh penjuru Finlandia. Sangat mengagumkan! Ketika orang-orang di sini berpikir untuk menyekolahkan anaknya di sekolah unggulan tak peduli anaknya bahagia atau tidak, ternyata Finlandia bahkan tak memasukkan pencapaian mereka ke dalam prioritas utama. Karena benar memang yang dikatakan bahwa jika kamu merasa pintar dan hebat, mengapa kamu tidak bahagia?
Tujuan utama sekolah-sekolah Finlandia adalah untuk memastikan bahwa kurangnya kesehatan dan kesejahteraan yang mendasar di rumah tidak menghalangi kesempatan anak didik untuk menjadi berhasil. Setiap sekolah diberi sumber daya dan personel yang cukup untuk menyelesaikan berbagai permasalahan mendasar tersebut. Layanan itu memang membutuhkan pendanaan yang lebih banyak. Namun, hal ini terbukti telah menciptakan sebuah dasar kesetaraan pendidikan yang kuat dan luas di Finlandia. Buktinya dunia dibuat tercengang dengan berhasilnya Finlandia meraih skor tertinggi di penyelenggaraan pertama PISA (Programme for International Student Assesment) di tahun 2001.
Persis dengan apa yang sudah dilakukan oleh salah satu sekolah swasta di Indonesia. Salah satu sekolah yang tidak memakai kurikulum Diknas sebagai acuan untuk menjalankan kelas-kelas mereka. Salah satu sekolah alam di wilayah Jogjakarta yang diceritakan oleh Om Toto Rahardjo dalam bukunya Sekolah Biasa Saja. Begitu juga dengan Sekolah Rimba yang didirikan oleh Butet Manurung. Sayang sekali Indonesia masih bersikukuh dengan kurikulum yang berkiblat entah kemana. Sehingga sekolah-sekolah yang tidak memakai kurikulum Diknas, harus mampu menyesuaikan dirinya dan menjalani tes kejar paket C sebagai syarat adanya ijazah.
Kini menteri baru sudah dilantik, seratus hari kerja pertamanya akan dihabiskan untuk mendengarkan para ahli, katanya. Namun lagi-lagi kurikulum akan diganti lagi menurut kabar burung yang mengudara. Ah, setelah ini pasti akan muncul gelombang protes dari para guru dan murid. Belum selesai kurikulum yang satu untuk diuji coba bahkan dievaluasi, muncul lagi kurikulum baru yang siap diujicobakan lagi pada anak manusia.
Lulusan universitas akan memenuhi kota-kota. Siap bersaing satu sama lain untuk mendapatkan lapangan kerja. Desa-desa ditinggalkan. Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota semakin tak terkendali. Desa-desa semakin tertinggal. Mereka disekolahkan mulai dari berhitung satu hingga sepuluh lalu kemudian bisa menjelaskan bagaimana apel jatuh dari pohonnya.
Namun ternyata tak ada gunanya juga untuk desanya. Lalu apa sebenarnya proses sekolah itu ada? Bukankah sejatinya proses sekolah pada setiap manusia berlangsung sepanjang hidup? Tinggal bagaimana proses belajar tersebut bisa bermakna positif bagi kehidupan kita dan sekitar kita, untuk desa dan tempat asal kita. Bukan untuk menjadi budak yang memenuhi industri semata.
Akhirnya ingin sekali saya bubuhkan perkataan Om Roem Topatimasang dalam tulisannya Sekolah Itu Candu, agar kita melihat diri sendiri hari ini.
Paling sedikit dua belas tahun waktu dihabiskan untuk bersekolah. Masa yang lama dan menjemukan jika sekadar mengisinya dengan duduk, mencatat, mendengarkan guru berceramah di depan kelas, dan sesekali bermain.
Sekolah memang bisa mencetak seseorang menjadi pejabat, tetapi juga penjahat.
Masihkah pantas sekolah mengakui diri sebagai pemeran tunggal yang mencerdaskan dan memanusiakan seseorang?
Pertanyaan sederhana ini dikedepankan kepada mereka terutama yang masih sangat percaya pada keampuhan suatu lembaga yang bernama sekolah di negeri ini.
Malang, 18 November 2019
Lihat di sini untuk perbandingan pendidikan Indonesia dan negara lain :
Maka sudah sewajarnya dan seharusnya.. nusantara kembali pada pakem pendidikan yang diwariskan para luluhur…
Back to pondok pesantren.. 😁😁😁
Pesantren lengkap dan tepat. Adab dan ilmu seimbang.
Makane mbak.. isdut gowo mrene 🙊🙊🙊 pondok ne nang aku 😂😂😂
86 kakak 🙇
Keren banget tulisannya mbak.. semangat
Mbak tinggal di Malang ya ? Semoga bisa bertemu ya
Betul mbak. Siaap kabari aja mba kalo ke Malang 🙂
Keren deh, kritis.
Aku juga gemes dengan sistem pendidikan di negara kita. Kita sekolah malah jadi bodoh.
Berapa lama sih kita itu sekolah?
Sd 6 tahun
Smp 3 tahun
Sma 3 tahun
12 tahun kan? Belum lagi ditambah s1 dan s2.
Coba waktu selama itu kita pakai untuk bekerja, mendirikan sebuah usaha. Sudah kaya raya kita diusia muda. Kalau tidaj kaya, setidaknya kita punya pengalaman mumpuni selama 12 tahun.
Kapan2 mampir di pesantrenku di Nganjuk ya ..
Pasti suka deh…
Siap Mba, terimakasih sharingnya. mudah-mudahan ada kesempatan buat main kesana yaaa ^^
Sekolah untuk mencetak pejabat bahkan penjahat? Naudzubillaah
Pendidikan Indonesia masih banyak yang harus dibenahi. Semoga pak menteri bisa menjawab tantangan pendidikan Indonesia
Pengen gitu bikin sekolah yang menyenangkan, yang isinya banyak bereksperimen, yang tidak menjemukan pokoke, aq bayangin anakku SD, terus aku ikutan pusing ngajarinnya, wakwakwak
Sama mbak, aku juga bingung ke depannya gimana anak-anak kita 🙁
Komen q dah erkirim belum ya 😅
bagus sekali, kritis ide tulisannya mantap 🙂
mampir blog saya jg yah, jangan lupa follow 🙂
Terimakasih mba. done sudah jalan-jalan kesana hihi. semangat!
[…] Baca Selengkapnya […]
suka tulisannya kritis dan cerdas, itu juga sih yang meresahkan bagi saya, dan sepertinya sudah banyak juga yang merasakan hal sama. buktinya makin banyak sekolah alam dan keluarga yang memilih homeschooling.
kebijakan atau kurikulum baru? coba kita tunggu seperti apa
terimakasih Mba Ane. Iya, semakin kesini semakin banyak sekolah alam dengan berbagai metode pembelajaran. Senang sih, agaknya memang harus mandiri dan ngga bergantung lagi pada Pemerintah ya. Tapi kesulitannya nilai pendidikan seorang anak masih dinilai dari selembar ijazah yang ia dapat, jadi orangtua semakin bingung 🙁
Mudah-mudahan kebijakan yang mencerdaskan yaa Mba. Aamiin.
Sejak awal, para ahli kurikulum sudah dididik disekolah dengan sistem kompetisi. jadi tidak heran kalau buah kurikulum sekrang juga kompetisi…hehe
.
Tulisanya keren kak
masyAllah perlu peninjauan lagi dunia pendidikan ini hiks
Masyaa Allah, semoga dunia pendidikan Indonesia bisa terus berubah ke arah yang lebih baik ya, Mba Jihan. Terima kasih atas tulisannya, Mbaaa
Jika ingin melahirkan sosok pemimpin yang memiliki karakter yang kuat sudah seharusnya sistem atau kurikulum yang mengajarkan siswa untuk berkompetisi dihapuskan