“Coba periksakan kondisimu, kau sudah mulai batuk darah.” Ucap seorang biksu pada seorang temannya.

“Dokter perusahaan bilang tidak apa-apa, akan membaik pada saatnya.” jawabnya.

Teman baik seorang biksu tadi adalah seorang pekerja di sebuah perusahaan farmasi B yang memproduksi berbagai macam obat-obatan. Supply obat-obatan ke rumah sakit, hingga klinik-klinik kecil di pinggiran kota. Namun siapa sangka, di usianya yang masih muda ia harus mengidap kanker darah akibat limbah farmasi yang dikelola perusahaannya tidak memenuhi standar.

demokrasi ekonomi

Kisah Nyata Penderitaan Buruh Perusahaan X

Sudah merasa familiar dengan cerita tersebut di atas? Ya, kisah yang diangkat dalam drama Korea Vincenzo. Kisah yang menggambarkan betapa jahatnya kapitalisme dan ketidak adilan hukum di berbagai negara. Tidak hanya di Korea, di Indonesia pun saya pikir juga sering terjadi hal-hal seperti ini. Nyawa satu orang tidak ada artinya dibandingkan dengan profit yang didapat oleh perusahaan.

Nyawa seseorang hanya sebuah angka, yang bisa mereka beli dengan ucapan belasungkawa dan pesangon untuk keluarga. Sudah, selesai. Nyawa orang bagaikan serangga yang akan selalu diabaikan bahkan dibunuh oleh seseorang ketika dirasa serangga itu cukup mengganggu.

Ah itu kan cuma cerita di film

Oh tidak begitu Fergusso~ kita akan tahu banyak fakta serupa kalau benar-benar mau duduk untuk mencari, atau mendengarkan permasalahan. Kita coba tengok masalah pabrik es merk X di Bekasi yang beberapa waktu lalu begitu santer diberitakan karena kesewang-wenangannya pada buruh.

Hingga tak heran jika ratusan pekerja PT. X di Bekasi, menggelar mogok kerja setelah merasa hak-hak mereka dilanggar perusahaan, salah satunya shift malam bagi buruh perempuan yang sedang mengandung.  Dalam pernyataan sikap resmi yang diterima Kompas.com, para pekerja yang tergabung dalam Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia PT. X, menuntut 22 hal tentang masalah aturan kerja hingga pemberangusan serikat pekerja di perusahaan pembuat es krim X itu.

 “Sejak tahun lalu telah terjadi 14 kasus keguguran dan 6 kematian bayi baru lahir, total 359 buruh perempuan yang bekerja di pabrik tersebut,” kata Sarinah, juru bicara persatuan buruh yang telah diberangus.

Para pemogok meminta perusahaan untuk tidak mempersulit pekerja untuk mendapatkan fasilitas kesehatan selain dari klinik dan dokter yang disediakan oleh perusahaan.

kasus buruh pabrik aice

“Buruh tidak dapat mengambil second opinion dari dokter atau klinik lain. Bisa dibayangkan, buruh tidak mendapatkan layanan kesehatan secara demokratis karena satu-satunya dokter yang bisa memberikan izin sakit hanya dokter perusahaan saja,” jelas Sarinah dari Kompas.com

Selain itu, persatuan buruh di kawasan tersebut juga menemukan bukti bahwa PT X telah memberikan cek mundur yang kosong dan membuat para pekerja tidak bisa menikmati uang bonus. “Pada 4 Januari 2019, serikat pekerja dan pengusaha membuat perjanjian pembayaran bonus untuk 600 orang dengan jumlah Rp1.000.000,- per orang. Saat itu, pengusaha mengaku tidak mampu untuk membayar sekarang, sehingga buruh setuju menerima pembayaran cek mundur yang bisa dicairkan setelah satu tahun. Saat hendak dicairkan pada 5 Januari 2020, cek tersebut ternyata kosong dan tidak bisa dicairkan,” kata Sarinah.

Seperti diketahui, Pasal 72 UU 13/2003 berisi tentang larangan pengusaha mempekerjakan pekerja perempuan hamil masuk pada shift malam (23.00-07.00) jika menurut keterangan dokter berbahaya. Pasal yang sama juga mewajibkan perusahaan memberi buruh perempuan yang bekerja shift malam dengan makanan bergizi. Termasuk pada buruh hamil yang masih bekerja pada shift malam, karena kandungannya dinyatakan tidak berisiko oleh dokter.

Jadi bukan hanya kisah dalam film semata, namun peristiwa itu benar-benar terjadi di sekitar kita. Penderitaan mereka nyata adanya.

Katanya Negara Demokrasi, Nyatanya.. if you know what i mean

Sejujurnya, demokrasi yang ada dalam benak dan pikiran saya adalah tentang bagaimana rakyat menyalurkan suaranya untuk ikut urun rembuk alias bermusyawarah menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin. Tak heran sih, karena selama di sekolah demokrasi selalu dicontohkan dengan perilaku seperti : bagaimana memilih ketua kelas, memilih ketua OSIS, hingga contoh demokrasi dalam keluarga (si ibu mendengarkan pendapat anak, menampungnya kemudian diputuskan layak dieksekusi atau tidak).

demokrasi indonesia

source : muhammadhabibi.net

Berbagai macam pertanyaan seperti yang disampaikan oleh festivaldemokrasiekonomi.id pernah mampir dalam benak saya :

Sudah 75 tahun kita merdeka dan 22 tahun pasca reformasi. Kenapa zamrud khatulistiwa yang kaya ini belum bisa memberi kesejahteraan bagi semua?
Kenapa setelah sekian generasi Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, serta anggota DPR dan DPRD yang kita pilih sendiri, tidak ada pengaruh signifikan pada kemakmuran rakyat banyak?

Masih banyak rakyat yang tidak punya tempat tinggal. Bahkan harus tinggal di gubuk serupa kandang. Ada rakyat yang masih makan nasi basi, bahkan makanan yang sudah dibuang di tempat sampah. Angka kriminal juga cukup tinggi. DIbuktikan dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang selalu over load dari tahun ke tahun.

Bahkan di sini, Lembaga Pemasyarakatan Wanita di kota Malang, tempat tinggal saya, punya binaan dua kali lipat jumlahnya dari kapasitas normal. Karena setiap minggu saya ada tugas penyuluhan di sana, jadi saya tahu bagaimana satu kamar/sel ditempati oleh 25 hingga 30 orang. Satu sel berukuran kira-kira sekitar 6meter x 6 meter, ditambah satu kamar mandi di dalamnya. Bayangkan, untuk 25 hingga 30 orang! Mulai dari kasus pembunuhan, pencurian, penipuan, dan mayoritas narkoba.

Kita Butuh Demokrasi Ekonomi

Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa negara ini punya gap sosial yang cukup besar antara si kaya dan si miskin. Ketimpangan sosial yang terjadi di sekitar kitalah yang menyebabkan mereka berani bertindak melanggar hukum asal bisa makan. Miris bukan?

Mengutip dari tulisan M. Sena dalam akun mediumnya bahwa kekayaan atau kesejahteraan yang tidak sama itu wajar. Tidak mungkin dan tidak baik pula jika semua orang sama persis kekayaannya. Namun, yang perlu diperhatikan adalah level kesenjangannya itu lho, semakin tidak rasional.

Mari kita perhatikan,

kesenjangan ekonomi

Tidak-kah Anda merasa ada yang salah jika di satu sisi ada orang yang makan hari ini saja belum tentu ada, sedangkan di sisi lainnya ada orang yang sanggup membeli tas dengan harga Miliaran?

Kesenjangan tingkat ekstrim ini penyebab utamanya adalah proses ekstraksi kesejahteraan satu arah (wealth extraction) yang dimulai dari zaman Enclosure Movement di Inggris.

Enclosure Movement adalah gerakan dari para pemilik tanah besar dan bangsawan untuk memaksa para petani kecil pergi dari tanah yang ia miliki supaya tanahnya bisa mereka manfaatkan sebagai pertanian yang masif atau pabrik.

Bagaimana cara petani yang kehilangan tanahnya itu mencari makan? Dengan menjadi pegawai di pertanian dan pabrik yang ada.

Kita bisa lihat kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Tagar #SaveSangihe menjadi ramai dan menjadi perhatian banyak public figure bahkan. Tambang emas yang akan dibangun di atas pulau kecil itu memaksa penduduk aslinya untuk segera pindah. Tanah mereka ditawar Rp 5.000 per meternya.

Dalih yang mengatakan bahwa penduduk bisa bekerja menjadi buruh di tambang emas, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh penduduk setempat. Bukan hanya persoalan tanah, tapi tambang yang sudah disetujui oleh Menteri itu tentunya akan merusak lingkungan di pulau Sangihe. Sungguh miris dan menyedihkan bagaimana suara mereka tidak didengar. Baik oleh perusahaan maupun Pemerintah.

Ternyata demokrasi dalam politik tidak cukup jika ingin berharap negeri kita merdeka sepenuhnya. Merdeka dari rasa lapar, merdeka dari rasa takut, dan dari hal-hal yang sebenarnya bisa diusahakan melalui demokrasi ekonomi. Apa itu demokrasi ekonomi?

Demokrasi Ekonomi adalah filsafat sosial ekonomi yang menganjurkan penggantian kekuasaan pembuatan keputusan dari manajer korporasi dan pemegang saham korporasi ke kelompok pemegang saham publik yang lebih besar. Termasuk di dalamnya pekerja, pelanggan, penyuplai, lingkungan sekitar dan publik luas. (Wikipedia Indonesia).

Sebenarnya demokrasi ekonomi sudah menjadi wacana bangsa ini sejak kemerdekaan. Indonesia punya Bung Hatta yang mengusulkan adanya koperasi sebagai salah satu wujud dari demokrasi ekonomi. Namun ternyata koperasi itupun tidak berjalan sebagaimana mestinya hingga saat ini. Karena menurut para ahli, Indonesia masih memakai kapitalisme sebagai sistemnya dan di satu sisi juga masih mempertahankan koperasi.

Kenapa sih Demokrasi Ekonomi Itu Penting?

Sebagaimana yang telah saya ceritakan di atas, pentingnya demokrasi ekonomi utamanya adalah untuk meniadakan ketimpangan sosial. Dimana ketimpangan sosial adalah akar dari masalah kriminal yang terjadi dalam masyarakat kita. Meskipun kita tahu bahwa akan selalu ada si kaya dan si miskin, hidup memang akan terus seperti itu. Namun setidaknya kita bisa mengimbangi gap tersebut agar tidak terlalu besar.

demokrasi ekonomi

Fakta : Redupnya Demokrasi Ekonomi di Negara Demokrasi

Seperti yang telah kita ketahui demokrasi ekonomi menghindari terjadinya sistem ekonomi liberalism, etatisme dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok atau monopoli.

Sistem ekonomi liberalism harus dihindari karena menimbulkan eksploitasi dan penghisapan terhadap sesama manusia. Sistem etatisme dimana ekonomi dikuasai oleh negara juga harus dihindari, karena etatisme dapat mematikan usaha-usaha di luar sektor negara seperti usaha swasta, koperasi, dan usaha kecil.

Bila sistem ekonomi mengarah ke sistem ekonomi kapitalis maka demokrasi ekonomi hanyalah isapan jempol belaka.

Sebagaimana yang telah kita tahu, dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, sistem politik nasional cenderung berada diantara dua kutub sistem politik, yaitu kutub ekonomi kapitalis dan kutub ekonomi terpusat. Bagaimana demokrasi ekonomi bisa berjalan diantara kedua kekuatan ini kalau begitu?

Pada periode ekonomi terpimpin, sistem ekonomi nasional cenderung mengarah ke sistem ekonomi terpusat. Namun setelah berakhirnya masa demokrasi terpimpin, sistem ekonomi nasional cenderung berkiblat pada sistem ekonomi kapitalis. Undang-undang hanya sekadar landasan yang nyatanya tidak  dipergunakan.

Ada juga yang berpendapat bahwa sistem ekonomi Indonesia merupakan sistem ekonomi campuran (mixed economy) yang memiliki unsur-unsur sistem ekonomi terpusat (pengaturan oleh negara) dan ada unsur-unsur kapitalisme juga. Sebagai sistem ekonomi campuran, sistem ekonomi nasional berada di kisaran mekanisme pasar dan kontrol oleh negara sebagai stabilisator, dinamisator, dan regulator.

Namun dalam sejarah perekonomian nasional, semangat demokrasi ekonomi ini sering dilanggar oleh menjurusnya sistem ekonomi nasional ke arah ekonomi kapitalistik. Kita bisa merasakan pada masa order baru, praktek monopoli atau setidak-tidaknya praktek oligopoli sudah mewarnai wajah perekonomian nasional, bahkan kekuatan ekonomi secara nasional berada pada beberapa konglomerat. Bahkan sampai saat ini pun begitu bukan?

Kalau teman-teman pernah mendengar 9 naga yang menguasai perekonomian Indonesia saat ini, maka itulah praktik menyimpang yang bisa kita rasakan dari sistem ekonomi kita. Sementara itu ada kelompok masyarakat yang benar-benar bermimpi untuk tidak khawatir setiap harinya karena makanan. Sementara itu di kelompok masyarakat lainnya ada seorang nenek yang nekat mencuri singkong dan dibui karena benar-benar tidak punya apa-apa untuk dimakan. Dan peristiwa-peristiwa semacam ini sangat banyak.

Kita bisa lho meminimalkan itu semua.

Walaupun secara makro, pemerintah telah berhasil menurunkan tingkat ketidakmerataan. Namun beberapa studi yang dilakukan pada tingkat mikro, justru  memperlihatkan adanya ketidakmerataan dan kemiskinan baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Ketidakmerataan dan kemiskinan menyebar secara sporadis di daerah–daerah tertentu dan kadang-kadang terkosentrasi di tempat tertentu yang membentuk kantong-kantong kemiskinan.

Studi yang dilakukan Penny dan Singarimbun (1973) dan Penny (1990) di Miri Sriharjo sebuah desa di Jawa Tengah menunjukan bahwa proporsi rumah tangga miskin begitu besar yang mencapai 56 persen dari total rumah tangga. Dengan membandingkan dua realitas dalam perspektif yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa, secara makro diakui terjadinya penurunan tingkat ketidakmerataan dan kemiskinan.

Namun secara mikro, di tempat-tempat tertentu, ketidakmerataan dan kemiskinan semakin meningkat. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 dan kenaikan harga BBM, beberapa bulan yang lalu, ikut menambah jumlah kantong-kantong kemiskinan di Indonesia.

Kilas Balik Perjalanan Koperasi di Indonesia

Dalam sebuah diskusi dalam forum, Edy Prabowo memaparkan tentang kilas balik sejarah perjalanan koperasi. Pada tahun 1998, MPR mengeluarkan TAP MPR No. 16 tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. TAP ini lahir sebagai perwujudan dan pengakuan bahwa selama 30 tahun sebelumnya Indonesia menjalankan ekonomi tidak sesuai amanat konstitusi, yakni pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Secara eksplisit, TAP MPR No. 16/1998 menyatakan bahwa UKM dan Koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional harus memperoleh kesempatan utama,  dukungan, perlindungan dan perkembangan sebagai perwujudan keberpihakan ekonomi rakyat tanpa mengabaikan badan usaha milik negara.

Menurut Edy Prabowo, berdasarkan TAP MPR ini maka seharusnya badan usaha milik negara tidak memiliki hak untuk berusaha atau mengelola sumber daya alam jika tidak bermitra dengan UKM atau koperasi. TAP MPR ini seharusnya menjadi konsiderans utama dalam perumusan RUU Perkoperasian. Akan tetapi, amandemen keempat UUD 1945 menjadi lonceng kematian koperasi.

Yakni dengan dinyatakan bahwa UUD 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal, yang artinya mengenyampingkan penjelasan. Padahal koperasi termaktub jelas dalam penjelasan. Lonceng kematian yang lain hadir melalui Undang-Undang Kementerian yang meletakkan Kementerian Perkoperasian sebagai Kementerian Kelas III yang keberadaannya bergantung pada presiden dengan anggaran kurang dari 1 triliun.

Nining Soesilo memaparkan data dari Kementrian Perkoperasian dan UKM pada 2017 menyatakan ada sekitar 32.000 koperasi yang dibubarkan. Pembubaran itu disebabkan karena koperasi tidak memiliki bargaining position maupun karena koperasi itu abal-abal atau sangat jauh dari praktik koperasi yang sesuai dengan Undang-Undang. Sedangkan political will Pemerintah saat ini adalah menginginkan agar jumlah koperasi itu sedikit asal benar dan bisa diandalkan.

Namun ketidakseriusan serta pengesampingan Pemerintah pada koperasi seolah memberi jawaban bahwa semangat Pemerintah dalam penyusunan RUU Perkoperasian ini seperti mengulang kesalahan yang sama saat pembatalan UU sebelumnya. Seolah tidak mau belajar dari pengalaman sebelumnya. Padahal yang diinginkan rakyat saat ini adalah esensi dari RUU itu sendiri. Bahwa perkoperasian adalah nafas hidup atau matinya demokrasi ekonomi kita.

Advokat Penguji UU Perkoperasian dalam forum ylbhi.or.id juga mengatakan bahwa RUU Perkoperasian Bukan Soal Koperasi Saja, Tetapi Momentum Penghidupan Demokrasi Ekonomi negeri ini.

Menurut Isnur, advokat penguji UU Perkoperasian, mengatakan bahwa banyak yang tidak menyadari bahwa demokrasi bukan sebatas soal hak pilih saja. Demokrasi juga harus meresap dalam sistem perekonomian kita. Demokrasi ekonomi tidak pernah dibahas dalam pidato ketatanegaraan maupun kampanye politik. Diskusi mengenai RUU Perkoperasian ini harus menjadi momentum kita untuk menjadikan istilah demokrasi ekonomi mainstream dalam keseharian kita. Sebab demokrasi ekonomi adalah nafas perekonomian kita yang dijamin jelas dalam UUD 1945 Pasal 33, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan…”

Jika ditelusuri secara historis, dalam bukunya Hatta, landasan filosofis apa yang dimaksud dengan asas kekeluargaan dalam pasal tersebut? Ya wujudnya adalah koperasi. Maka, jika kita hendak setia dengan konstitusi, koperasi adalah bahasa utama dalam Menko Perekonomian dan Perekonomian Indonesia. Maka, seharunsya RUU Perkoperasian ini tidak hanya dibahas oleh 3 kementrian saja.

Melainkan setidaknya melibatkan Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian SDM, Kementrian Pertanian dan segala Kementerian yang berdimensi ekonomi.

Civil Organization: Berbagai Negara Sudah Merasakan Kemajuan Ekonomi dengan Koperasi, Bagaimana dengan Indonesia?

wajah baru agrarische wet

cover buku yang membahas tentang kolonialisme gaya baru. Ilustrasi ini menggambarkan adanya agrarisch wet gaya baru. Dimana kapitalisme tetap berkuasa

Dalam buku sejarah kita pernah membaca ya bahwa pada zaman kolonial, Pemerintah Belanda menerbitkan ‘lonceng ekonomi’ melalui Agrarisch Wet yang  melahirkan kemiskinan bagi rakyat pribumi. Reaksi atas kemiskinan tersebut adalah masyarakat hendak membangun kelembagaan yakni koperasi. Namun, Pemerintah Belanda menentang keras upaya tersebut.

Sebab, Pemerintah Belanda sadar apabila rakyat pribumi membangun koperasi, maka mereka membangun kemandirian ekonomi, dan apabila mereka  membangun kemandirian ekonomi maka pribumi akan memiliki kemauan dan kemampuan untuk melawan pemerintah kolonial kala itu.

demokrasi ekonomi

source : www.jinsitan.com/agrarischwet

Adanya RUU Koperasi memang pasal-pasalnya sudah mengutip soal demokratisasi ekonomi. Namun, batang tubuhnya justru merusak semua roh demokrasi ekonomi itu sendiri. Bahkan Skema DEKOPIN yang dibangun dalam RUU Perkoperasian seakan membangun sebuah lembaga yang bersifat memeras rakyat. Hal ini pun juga bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam.

Adanya penyebutan bahwa koperasi bisa mendapatkan CSR dan bantuan dari BUMN justru menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan koperasi sebagai subordinat. Padahal koperasi kita berdasarkan otonomi, keswadayaan, serta kemandirian. Bukannya bergantung pada APBN, CSR bahkan bantuan BUMN.

Kalau kita tahu perusahaan bernama Sunkist di Amerika, perusahaan maju tersebut dijalankan dengan sistem koperasi. Kegiatan ekonominya telah tersebar di 141 negara. Mereka selalu mendistribusikan profit pada petani jeruk. Lalu di Singapore, kegiatan koperasi diberi intensif tax free. Di Indonesia malah kebalikannya, bukannya diberi tax free tapi malah disuruh membayar iuran pada DEKOPIN. Kan lucu.

Menurut Dr. Tarmizi Abbas, dosen FE Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, NAD dan MS dan Win Konadi Manan, MS.Si dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, 41 negara bagiannya diteringai oleh perusahaan listrik yang menggunakan sistem koperasi. Rumah Sakit terbesar di Amerika Serikat juga menggunakan sistem koperasi.

Bahkan, 74% keuangan Jerman dikuasai oleh koperasi. Sisanya dikuasai oleh swasta dan BUMN. Dengan kemajuan ekonomi seperti itu, wajar saja jika United Nation pada tahun 2016, menyebutkan koperasi adalah entegible herritage atau situs warisan dunia tak benda.

Pada intinya, RUU Perkoperasian yang masih bermasalah ini adalah pintu masuk yang baik untuk kita menyadari nafas sistem ekonomi yang diamanatkan oleh konstitusi. Bahkan, menjadi pengingat pula untuk dunia pendidikan yang pembelajaran mengenai koperasi kian redup. Diskusi ini juga menjadi momentum yang membuat kita sadar masih banyak PR untuk perbaikan sistem ekonomi, pendidikan, bahkan mekanisme bisnis dan pembangunan ekonomi di negara kita.

Bagaimanapun, akan sulit mengalahkan kapitalisme di negeri ini, terlebih di dunia ini. Namun bukan berarti tidak mungkin demokrasi ekonomi suatu saat akan menjadi napas panjang Indonesia dan mengangkat perekonomian negara kita. Harus optimis dong, kalau tidak dimulai dari kita, siapa lagi?

Sebagai bloger, saya pun merasa punya kewajiban untuk memberikan edukasi perihal demokrasi ekonomi. Meskipun jauh dari perkataan para ahli, namun setidaknya saya sudah menyampaikan dan memberikan gambaran pada teman-teman semua tentang prinsip demokrasi ekonomi dan bagaimana kita akan mencapainya demi kesejahteraan bersama.

Semoga bermanfaat ya 🙂

Referensi :

Keterkaitan antara Demokrasi Politik, Demokrasi Ekonomi dan Sistem Ekonomi Kerakyatan oleh Tarmizi Abbas dan Win Konadi Manan.

https://festivaldemokrasiekonomi.id/

ylbhi.or.id

Ikuti juga Komunitas Pertanian Sariagri untuk mendukung pertanian di Indonesia.