Cukai rokok yang selama ini saya pikir adalah penyumbang terbesar devisa negara, ternyata salah. Cukai rokok sebagai penyumbang devisa terbesar negara adalah berita bohong yang digembor-gemborkan oleh perokok yang ingin jadi pahlawan sekaligus penyumbang angka stunting yang cukup besar bagi anak-anak di Indonesia. Bagaimana ya nasib Indonesia di tahun bonus demografi mendatang? Mengapa cukai rokok harus dinaikkan, terlebih di masa pandemi seperti ini.

cukai rokok

Cerita dari Kakek

Saya punya pengalaman buruk dengan rokok. Ada nyawa orang yang saya sayangi terenggut karena rokok. Sosok kakek di depan mata saya lebih seperti Guardian Angel. Meskipun beliau perokok, tapi tidak pernah merokok di depan cucu-cucunya. Bahkan ketika ada orang yang merokok di dekat cucunya, beliau tidak segan mengusir orang tersebut. Sebenarnya beliau paham bahwa rokok membahayakan. Jika tidak, beliau tidak akan berbuat demikian pada orang yang merokok di depan cucunya kan. 

Namun entah mengapa kakek tidak bisa berhenti merokok. Sampai suatu hari beliau mengeluh napasnya yang sesak dan pendek-pendek. Kami sekeluarga sudah menduga bahwa hal itu karena rokok. Ketika akan dibawa ke dokter, kakek bersikeras menolak. Katanya akan baik-baik saja. Namun kondisinya makin memburuk, parah, bahkan hingga kakek kehilangan kesadarannya. Akhirnya Ayah saya berinisiatif untuk memaksa kakek dibawa ke Rumah Sakit. Meski dengan paksaan, akhirnya kami berhasil membawa kakek sampai di sana.

Kakek langsung dibawa ke UGD dan dipasangkan alat bantu pernapasan serta oksigen. Keesokan harinya, hasil tes laboratorium keluar dan menyatakan kakek mengidap kanker paru-paru stadium IV. Sudah sangat parah dan dokter hanya bisa melakukan penyedotan cairan dari paru-parunya. Sekitar dua minggu kami bergantian menjaga kakek di Rumah Sakit. Hingga suatu hari, kakek tak sadarkan diri. Ya, beliau koma dan banyak sekali kabel-kabel yang terhubung ke badan kakek. Air mata tak lagi bisa dibendung. Saya merasa bahwa sebenarnya bisa menghentikan kakek untuk merokok secepat mungkin. Namun, saya lebih memilih untuk diam dan membiarkan kanker menggerogoti tubuhnya.

Teringat wajah kakek yang kesakitan kala perawat menyedot cairan dari paru-paru lewat lubang yang sengaja dipasang di bagian bawah dadanya. Hingga kakek mengembuskan nafas terakhir sore itu, usai azan Ashar. Sejak saat itu, saya menyesali kenapa tidak bisa mencegah kakek untuk berhenti merokok. Namun penyesalan tak ada gunanya kan. Jadi saat ini yang bisa saya lakukan adalah menyelamatkan paman, sepupu, dan orang lain untuk segera berhenti merokok demi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

cerita dari kakek

pict from freepik

Tentu saja tulisan ini mungkin tidak akan berpengaruh apa-apa ketika dibaca perokok dan kawanannya. Tapi paling tidak, saya berada di barisan yang menurut saya benar. Ikut menggemakan kampanye berhenti merokok. Meski hanya lewat tulisan. Termasuk menyuarakan dengan berbagai cara agar banyak orang berhenti merokok meskipun itu harus dipaksa. Bukankah kebiasaan baik memang tertanam karena paksaan terlebih dahulu? Kalau tidak dipaksa keluar dari zona nyaman, bagaimana bisa kita menaklukkan zona tak nyaman? Termasuk persoalan merokok ini.

Apalagi di tengah situasi pandemi yang membahayakan seperti saat ini. Jelas kekuatan besar selalu ada di tangan Pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Namun, bisa saja lewat tulisan-tulisan yang banyak beredar di internet akan menyadarkan seseorang untuk berhenti merokok.

Sore kemarin, saya mendengarkan Program Radio Ruang Publik KBR dengan tema “Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi” bersama Profesor Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau dan Renny Nurhasana, Dosen dan Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.

Saya yang masih awam dengan kebijakan Pemerintah soal cukai rokok akhirnya paham bagaimana kebijakan ini bisa berjalan. Termasuk perihal apakah benar kabar yang sering digembor-gemborkan para perokok tentang pendapatan devisa negara yang terbesar adalah dari rokok? Di sini, saya mendapatkan jawaban langsung dari ahlinya.

Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini membawa dampak baik krisis kesehatan dan juga ekonomi yang bisa dirasakan hampir seluruh lapisan masyarakat. Dari sisi kesehatan, seseorang yang mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM) dan terjangkit virus korona disebut memiliki potensi fatal yang tinggi. Menurut Kementerian Kesehatan merokok merupakan salah satu faktor risiko PTM penyebab penyakit Kardiovaskular, Kanker, Paru Kronis, dan Diabetes. Selain itu rokok disebutkan juga merupakan faktor risiko penyakit menular seperti TBC dan Infeksi Saluran Pernapasan. 

Seseorang yang mengidap penyakit PTM dan terjangkit virus Corona memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi. Sementara perusahaan rokok mengklaim bahwa ada peningkatan jumlah permintaan rokok selama masa Pandemi sehingga ada kenaikan jumlah produksi. Mengerikan sebenarnya, apalagi mendengar penuturuan Profesor Hasbullah bahwa orang merokok efeknya ke paru-paru, sedangkan virus Covid juga senang hinggap di paru-paru. Sehingga perokok menjadi teman baik penyakit lain untuk merusak paru-parunya. Inilah yang harus dipahami banyak pihak.

Profesor Hasbullah juga mengatakan, “mestinya kalau industri berkomitmen dengan kesehatan masyarakat, mestinya dia hijrah mencari bisnis lain. Berbisnis yang lebih baik untuk menyehatkan rakyat.”

Bagaimanapun, Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah hal buruk terjadi. Salah satu caranya yaitu menaikkan cukai rokok (sudah naik sejak Januari 2020).

cukai rokok

pict from freepik

Cukai adalah untuk alat mengendalikan konsumsi, khususnya konsumsi bahan-bahan yang membahayakan kesehatan, lingkungan, dan orang lain. Kalau konsumsinya menurun, berarti sudah ada efek. Kalau dibandingkan dengan 10 tahun lalu, (220miliar batang di Indonesia), sekarang 330an miliar batang. Masih jauh untuk mengendalikan. Apalagi 5 tahun terakhir banyak anak remaja yang masih merokok. Karena harga masih relatif murah dan terjangkau. Maka harusnya dinaikkan agar tujuan tercapai.

Berapa idealnya harga rokok agar ada keterpaksaan untuk berhenti merokok? Profesor Hasbullah berpendapat, idealnya per bungkus Rp 70.000,-. Itu baru efektif mengendalikan konsumsi rokok. Hanya mereka yang biasa merokok yang akan terus merokok. Tapi untuk yang belum, tidak akan memulai merokok.

Hal yang sama diungkapkan oleh Dr.Reni Nurhasanah, bahwa cukai tembakau paling efektif di berbagai negara. Bahwa negara berhasil menurunkan prevalensi dengan salah satunya menaikkan harga cukai. Dari segi pendapatan negara : hasil tembakau Rp 164,95 Triliun Rupiah dari cukai rokok.

Selama Pandemi, Kemenkes merilis data bahwa merokok akan membuat 14x lebih parah seseorang yang mengalami gejala Covid-19. Kita tahu harus menekan konsumsi rokok selama pandemi. Cukai harus tetap naik selama pandemi ini. Terbukti ancaman rokok ini pada masyarakat kita. Pendapatan memang penting tapi yang lebih penting menekan prevalensinya. Ada banyak yang bisa dioptimalkan, salah satunya menaikkan tarifnya dan menaikkan layer simplifikasinya.

Karena jika layer simplifikasi ini tidak dinaikkan, produsen akan berpindah ke tempat yang lebih murah. Jadi merknya akan membuat yang baru, tutup. Lalu membuat baru lagi, dan seterusnya. Sedangkan di Indonesia ini masih punya 10 layer. Inilah yang harus segera dipangkas. Namun kita patut bersyukur karena Kemenkeu masih punya road map untuk menurunkan layer itu.

Target Pendapatan Cukai Rokok

target pendapatan cukai rokok

pict from freepik

Pada saat yang lain mengalami kontraksi dari pajak-pajak yang dikumpulkan dari masyarakat, ternyata cukai dari rokok ini masih bisa dinaikkan. Hal ini menggambarkan antara baik dan tidak, karena menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat berminat pada rokok walaupun harga naik.

Maka, jalan yang bisa digunakan yaitu mengoptimalkan tarif cukai sampai 57% untuk semua merk rokok. Masa pandemi ini merupakan saat yang tepat untuk seseorang harus berhenti merokok. Profesor Hasbullah mengatakan :

Saya masih banyak menemui pemulung, pengamen masih saja merokok. Kondisi perekonomian sudah memprihatinkan tapi masih merokok. Saatnya berhenti. Janganlah mengeluh dengan kondisi seperti ini, karena ini ujian dari Tuhan. Dan saat ini sudah saatnya berhenti dari merokok. Jangan pikirkan industri rokok dan bagaimana negara bisa mendapatkan banyak pendapatan dari cukai rokok. Negara masih punya banyak pintu pendapatan selain dari cukai rokok, kok.

Perlu diketahui bahwa cukai rokok itu bukan kontribusi dari industri rokok, tapi merupakan denda dari Pemerintah untuk perokok. Mereka inilah yang terpaksa harus didenda oleh negara karena dia sudah merusak dirinya, lingkungannya dan orang-orang di sekitarnya. Jangan salah mengerti.

Ditambah data dari Kemenkes yang menyatakan bahwa anak dari keluarga yang kurang mampu lalu orangtuanya perokok, anak-anaknya cenderung stunting. Akhirnya puluhan tahun mendatang, cenderung jadi beban negara. Kita tahu soal bantuan sosial untuk keluarga yang terimbas pandemi dari Pemerintah. Namun bansos yang diberikan secara tunai agar dibelanjakan untuk kebutuhan pokok ini, kebanyakan malah disalahgunakan sebagian untuk membeli rokok.

Menurut Dr. Reni, data yang sampai di Pemerintah menyatakan bahwa PKH (Program Keluarga Harapan) justru mengalami kenaikan konsumsi rokok  sebesar 3,5 batang per-kapita per-minggu lebih tinggi. Secara keseluruhan penerima bansos akhirnya cenderung lebih tinggi konsumsi rokoknya. Mengapa? Negara kita masih patriarki, kebanyakan yang memegang uang adalah laki-laki dan yang perempuan mendapatkannya sesudah dipotong untuk membeli rokok. Suami lebih mementingkan rokok daripada pendidikan (quote dari penelitian). Ini adalah curhatnya ibu-ibu bahwa sebenarnya mereka protes tapi tidak berdaya di keluarganya.

Mereka tidak menyadari bahwa 20 tahun lagi kita baru merasakan akibatnya. Maka langkah nyata agar Bansos digunakan sebagaimana mestinya yaitu salah satunya, Pemerintah harus melakukan review sistem penyaluran dan bantuan sosial serta mendenormalisasi konsumsi rokok. Denormalisasi Rokok di Indonesia seperti : merokok adalah barang normal. Sangat berbeda dengan di luar negeri. Khususnya negara maju seperti Jepang dan Eropa Barat. Anak-anak tidak tahu iklan rokok, bagaimana merokok dan enaknya merokok itu sendiri. Tentu saja hal ini tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah, tapi oleh semua pihak.

Pemerintah sebenarnya punya hak untuk menawarkan solusi untuk berhenti merokok kepada rumah tangga penerima bantuan Bansos. Salah satunya edukasi lewat family development system. Penerima Bansos ini punya meeting bulanan. Maka disinilah Pemerintah bisa lebih menggencarkan untuk memberikan aturan. Seperti, “pembelian untuk rokok itu tidak boleh”. Kalau ada yang melanggar, ada punishment. Namun mirisnya, masih menurut survey yang diungkap oleh Dr. Reni bahwa pendamping PKH (Program Keluarga Harapan) itu juga banyak yang masih merokok.

Mengapa Pemerintah Menaikkan Harga Rokok Secara Bertahap?

Tidak langsung Rp 70.000,- seperti yang disebutkan Prof Hasbullah? Pada Ruang Bincang Publik, Prof Hasbullah mengatakan, “tentu maunya kami begitu, tapi Pemerintah punya banyak pertimbangan. Kalau langsung dinaikkan, industri dan petani akan salah paham. Dikira rokok itu seperti barang lain. Kalau harga naik, orang tidak akan merokok lagi. Petani tembakau gusar dan akhirnya dinaikkan secara bertahap atas kebijakan politik Pemerintah.”

Sebetulnya pajak-pajak dari orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar itu belum maksimal. Kalau di Negara Eropa Barat pajak untuk negara sudah sampai 50% dari orang-orang kaya dan perusahaan besar. Sedangkan Indonesia masih 30% maksimal. Kalau ini dinaikkan, bisa kok memungut dana dari orang kaya untuk dibantukan pada orang yang tidak kaya. Sehingga cukai rokok bukanlah alasan. Jika ada yang mengatakan bahwa devisa terbesar dari rokok? Itu bohong. Data di BPS kita bisa melihat berapa devisa yang terbanyak, jawabannya bukan dari rokok.

Hal senada juga dituturkan oleh Dr. Reni Nurhasanah atas jawaban dari pertanyaan : Jika harga rokok dinaikkan, apakah masalah baru tidak akan timbul? Melihat karena pecandu rokok ini kebanyakan dari anak muda.

Teman saya, baru pertama kali menginjakkan kaki di Melbourne (tahun 2009), saat itu juga dia berhenti merokok. Kenapa? Karena harga rokok di sana mahal. Ini adalah masalah komitmen. Ketika kebijakan itu sudah diterapkan, maka yang lain akan ngikut. Jangan pernah takut, income Pemerintah akan tetap ada kok. Ekstensivikasi cukai yang memberikan kerugian lingkungan itu bisa dikaji. Karena di Indonesia baru sedikit, termasuk rokok dan alkohol.

Thailand sudah merasakan efek dari pengendalian konsumsi rokok sejak lama, dan sekarang prevalensinya sudah menurun. Harga rokok di sana sudah tinggi. Bahkan di Australia harga rokok sudah ratusan ribu. Sehingga orang akan berpikir seribu kali untuk merokok. Akan ada semakin banyak yang menjadi korban, kalau Pemerintah tidak turun tangan.

Bagaimana dengan kalangan menengah ke atas yang ikut merokok? Dr. Reni menyebutkan bahwa akan sangat susah untuk memberhentikan bagi yang sudah kecanduan, apalagi punya uang sendiri. Tapi PR kita bersama ini bagaimana memperbaiki anak-anaknya agar tidak sampai mencoba merokok, bahkan sampai kecanduan nikotin.

stop merokok

pict from freepik

Kampanye yang Sudah Dilakukan

Pemerintah sudah banyak mengingatkan bahaya rokok lewat banyak media, termasuk KBR yang seringkali mengedukasi masyarakat lewat bahayanya. Namun sayangnya tidak semua masyarakat di saat yang bersamaan ikut menyimak atau mendengarkan. Perjuangan di negeri ini kalau tidak ada duitnya memang tidak bisa lebih didengar jika dibandingkan dengan yang berduit. Namun bukan berarti tidak mungkin.

Beberapa daerah seperti Jakarta, Bogor, Depok juga sudah melarang iklan rokok di luar gedung. Pemerintah juga bekerja sama dengan Kominfo melarang iklan rokok di internet. Tinggal bagaimana kita sebagai masyarakat yang peduli akan kesehatan anak-anak kita kelak ikut turun tangan untuk mengkampanyekan #PutusinAja. Sudah saatnya berhenti merokok. 

“Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.

Baca Juga Sumber Daya Air dan Gigi Ikan Hiu