Berarti kritik membangun yang membuat bangsa ini maju justru dianggap penghinaan? Lalu, kapan majunya negara ini, kalau kritik yang diajukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dibungkam dan dianggap menghina? Pantas saja. Alangkah sulitnya mencari figur yang jadi contoh untuk generasi milenial, generasi Y, dan generasi Z. Men Coblong jadi ingat kata-kata anak lelakinya, “Kekuasaan itu membuat temanku merasa menjadi Tuhan, tidak boleh dikritik, maunya menang sendiri. Keputusannya adalah kebenaran mutlak. Kritik kita dianggap menghina marwahnya sebagai ketua kelas.” –Bab Hina, hlm 131.

men coblong

Membaca halaman awal buku ini saya mengira akan dibawa oleh Men Coblong menuju satu cerita dengan tempo yang sangat cepat. Karena satu judul dari bab yang terpisah hanya terdiri atas tiga atau empat halaman saja. Maksimal lima halaman. Ternyata tulisan fiksi dengan tokoh utama Men Coblong ini seperti sebuah karya jurnalis sastrawi. Oka Rusmini lewat tokoh utama menghadirkan banyak data, fakta dan realita yang tengah terjadi di masyarakat lewat sebuah cerita. Data yang dihadirkan juga terangkum dengan rapi dan lengkap. Ketika diceritakan dalam bentuk fiksi tidak terasa seperti membaca sebuah berita yang nyata adanya terjadi di sekitar kita.

Sebuah ide baru untuk menyampaikan kritik pada Pemerintah, instansi, bahkan juga kritik sosial pada masyarakat. Mulai dari kenaikan harga BBM yang diumumkan tengah malam, hingga perkara pohon kamboja yang dikaitkan dengan simbol agama. Oh, sejak kapan pohon kamboja punya agama? Men Coblong menggerutu karena beberapa tetangganya menginginkan pohon itu ditebang saja. Kata mereka, pohon itu identik dengan salah satu agama. Lucu sekali.

Men Coblong menyuguhkan keresahannya sebagai Ibu sekaligus pekerja dalam cerita yang mengalir dan dekat dengan keseharian pembaca. Tentang ibu-ibu yang mengeluh karena kurikulum akan diganti lagi, tentang motor yang diparkir sembarangan di trotoar, hingga pandangannya tentang kasus bunuh diri seorang ibu muda. Men Coblong begitu teguh untuk mencatat dan menggugat setiap peristiwa yang dirasa tidak sesuai dengan hati nuraninya. Tulisannya juga obyektif, tidak berpihak pada siapapun. Karena siapa pula Men Coblong? Bukankah ia hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga sekaligus pekerja?

Sebagai sastrawan, Oka Rusmini lincah bermain kata-kata dan diksi untuk menggugat tanpa harus mencederai perasaan, begitu kata Anton Muhajir, editor BaleBenggong tempat Oka Rusmini mengamalkan ilmunya hingga saat ini. Beberapa orang, termasuk saya mungkin akan bosan ketika membaca berita di koran. Alternatif untuk menampilkan tulisan segar seperti ini sangat menginspirasi saya ketika nanti harus berhadapan dengan tugas reportase yang membosankan. Tulisan Oka Rusmini yang berjudul Men Coblong inilah yang menurut saya bisa jadi rujukan bagi content writer di luar sana yang sedang membutuhkan referensi untuk tulisannya.

Cerita dan bahasanya penuh kiasan tanpa harus menyembunyikan pesan utama yang ingin disampaikan oleh Men Coblong. Ia hadir menawarkan sudut pandang ibu-ibu dan perempuan yang lebih feminin. Apalagi di tengah banjir informasi seperti ini, Men Coblong menyajikan cerita untuk menjadi refleksi. Sebuah opini, ide, kritik dan kegetirannya dalam satire. Meskipun di beberapa bab memang terasa membosankan, namun semua itu hilang ketika tahu bahwa tujuan Oka Rusmini menerbitkan karyanya yang satu ini adalah agar banyak orang menjadi tahu sakit apa yang sedang diderita negeri ini. Negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Apakah kita berdiri sebagai penggerak perubahan? Ataukah sebagai apatis asal hidup kita senang?

Men Coblong, by Oka Rusmini

Penerbit Grasindo, 218 halaman

Cetakan Pertama, Mei 2019.

Baca juga Bincang Akhlak bersama JEK