“Saya benar-benar merasa lega sekarang. Satu tugas lagi telah saya selesaikan. Rasanya bila sekarang saya harus pensiun pun saya sudah siap,” katanya sambil bersyukur apa yang diharapkannya telah terwujud. Ia telah mewariskan sesuatu kepada generasi penerusnya; mungkin sebuah ilmu, dedikasi, motivasi, kerja keras, keyakinan, keberanian, determinasi, dan si generasi penerus itu telah melakukannya dengan baik.” -BJ. Habibie

(Mr. Crack halaman 160)

Biografi setebal 492 halaman ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang Habibie melintas batas teritorial dan waktu. Bermula dari Parepare, lanjut ke Aachen, lalu ke Jakarta. Dari seorang ilmuwan, kemudian menjadi negarawan, dan kini minandito. Minandito adalah seorang bangsawan yang selalu turun gunung dari pertapaannya, yang selalu berada tidak jauh dari masyarakat dan rakyatnya. Begawan atau orang yang mulia, yang selalu resah melihat kesenjangan dan derita rakyat akibat salah urus atau kelambanan dalam penerapan kebijakan pemerintah. Pada buku inilah semua pengalaman, desas-desus tentang beliau, serta bagaimana kiprah beliau di tanah air disajikan berdasarkan fakta, bukan rekayasa.

Kecintaan beliau terhadap tanah air yang begitu besar ini membuat saya malu. Mulai dari usahanya memikirkan bagaimana caranya bangsa ini punya cendekiawan hingga bagaimana caranya ia menularkan ilmunya pada anak bangsa yang tidak punya biaya untuk belajar di luar negeri. Bahkan keinginannya ini tertanam kuat sejak masih mahasiswa dan tetap menyala hingga saat ini. Bahkan bayang-bayang BJ. Habibie setelah wafat pun masih menjadi sosok negarawan yang loyal dan karismatik. Bahkan pada suatu bab, seorang atasannya ketika bekerja di Jerman Barat pada sebuah perusahaan pesawat terbang mengatakan : Orang seperti Habibie ini hanya ada satu di sebuah negara, entah itu puluhan tahun muncul kembali atau bahkan ratusan tahun lagi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sebenarnya cerdas, tangkas dan sangat detail, jika ditempa dengan benar dan tepat.

Kepulangan beliau ke Indonesia untuk mewariskan ilmu-ilmu yang ia miliki sepulang dari Jerman Barat pada anak-anak bangsa sempat membuatnya terbebani moral. Perusahaan yang telah berjasa dalam pengembangan dirinya itu harus ia tinggalkan. Untungnya, perusahaan bersikap bijak pada keputusan Habibie, bahwa ilmu pengetahuan itu bukan hanya milik satu bangsa. Tapi milik seluruh umat manusia. Maka Habibie pun pulang untuk menularkan keilmuannya pada generasi selanjutnya, sehingga teknologi di Indonesia tidak akan kalah dengan negara-negara lain. Namun kebijakan Pemerintah dan perekonomian dunia saat itu memengaruhi proyeknya yang mulia ini. Kemauannya ini berbenturan dengan anggaran negara yang tidak diprioritaskan untuk investasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal tidak cukup hanya membangun infrastruktur, karena kita lebih membutuhkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas untuk pembangunan Indonesia jangka panjang.

Kelesuan ekonomi di tahun 1995 hingga berakhirnya masa Orde Baru saat itu akhirnya mengubur cita-cita Habibie. Meskipun ia pernah menjadi penguasa tertinggi di Indonesia pun, harapannya itu tidak bisa ia wujudkan. Itulah pukulan terberat diantara karirnya yang gemilang. Bukan ketika ia dipanggil Presiden dan melepas jabatan strategisnya pada sebuah perusahaan multinasional di Jerman Barat. Bukan pula saat ia terbatasi geraknya begitu sampai di Indonesia. Namun pukulan terberat baginya adalah ketika Negara tidak memberikan prioritas pada ilmu pengetahuan.

Saat Habibie bekerja di HFB (Hamburger Flugzeugbau) di Hamburg, ia ditugaskan untuk memecahkan suatu persoalan yang menyangkut kestabilan konstruksi di bagian belakang pesawat terbang F-28 yang saat itu sedang dikembangkan. Di sini ia mendapat tugas untuk mengembangkan pesawat itu mulai dari bagian bawah hingga ke ekor pesawat. Perusahaan yang tergolong industri besar di Jerman itu sekitar 3 tahun sebelumnya tidak dapat memecahkan persoalan penstabilan konstruksi di bagian ekor pesawat. Pun apa yang sudah dilakukan Belanda untuk membayar mahal suatu tim khusus untuk memecahkan masalah tersebut, hasilnya tidak memuaskan. Namun dalam waktu 6 bulan, Habibie memusatkan perhatian khusus pada masalah tersebut dan akhirnya ia dapat berhasil dengan baik.

Wilayah retak atau Crack pada pesawat ini sangat menentukan. Di sini letak rahasia penyebab jatuhnya pesawat tempur F-104 G. Setelah direkayasa ulang pasca teori tersebut, lalu dilaksanakan perbaikan, tidak ada lagi pesawat F-104 G yang jatuh.

Beberapa rumusan tersebut sekarang ditemui pada sejumlah jilid Advisory Group for Aerospace Research and Development (AGARD), buku-buku pengetahuan yang berisi prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendesain pesawat terbang standart NATO, dan lain-lain.

Membaca Mr.Crack, julukan untuk Eyang Habibie di dunia dirgantara lingkup internasional ini ikut menumbuhkan rasa cinta tanah air dalam diri saya. Bahwa membangun bangsa bukan perkara mudah dan cukup dilakukan satu masa pemerintahan saja dalam negara demokrasi. Namun pembangunan itu adalah proyek jangka panjang yang sebagian dari kita tidak meyakininya sebagai sebuah investasi mahal untuk anak cucu kita kelak. Kini sebagai anak cucu generasi penemu teori Crack pada pesawat, sudah waktunya untuk ikut membangun, tidak sekedar mengkritisi. Semua orang bisa mengkritik tapi hanya sedikit yang melakukan aksi nyata. Dimulai dari diri sendiri. Apa yang sudah kita lakukan hari ini untuk bangsa? Apa yang kita rencanakan untuk besok?

Mr.Crack Dari Parepare

Penulis : A.Makmur Makka

Penerbit Republika, Jakarta.

Cetakan IV, Oktober 2019, 493 halaman

4.5/5