Jangan tunggu kaya untuk bersedekah, karena kamu miskinnya lama

(Bincang Akhlak, halaman 145)

Bincang Akhlak adalah buku perdana Takdir Alisyahbana Ridwan atau yang biasa dipanggil dengan JEK oleh warga. Entah itu warga mana saja. Bisa jadi dari warga kampung, kampus tempat dulu ia mengenyam pendidikannya sebagai calon guru, warga twitter, instagram atau mungkin sampai LinkedIn. Buku Bincang Akhlak ini langsung laris manis seperti kacang goreng seribuan, padahal harga bukunya lumayan mahal. Namanya juga bucin, budak micin, harga berapapun dibeli untuk mengisi pundi-pundi rupiah milik Jek, termasuk saya.

 

Baru pertama kali menulis buku, debutnya ini jadi viral dan best seller di rak toko buku yang sudah sering kita sebut namanya. Saya yakin, setelah buku pertama selesai, Jek akan langsung merilis bukunya yang ketiga. Buku ketiga yang konon katanya sudah dipesan oleh para bucin-nya sejak buku pertamanya belum lahir. Karena sepertinya ia lahir sebagai pendongeng, pencerita, sekaligus penulis. Meskipun ia adalah lulusan jurusan pendidikan. Berkat kepopuleran nasihat-nasihatnya sebagai seorang yang bangga dipanggil ustadz (konon katanya sudah alim sejak masih dalam rahim ibunya), Jek akhirnya berani menuliskan pengalaman hidupnya dalam buku ini.

 

Meskipun ia berdalih bahwa kisah dalam buku pertamanya ini adalah kisah orang lain. Namun saya percaya, itu hanyalah defense mechanism dari dirinya saja. Sehingga kalau ada yang bilang bahwa kisah dalam buku ini adalah fiksi belaka, maka yang fiksi mungkin tentang kebaikan-kebaikannya selama ini. Astaghfirullah. Maaf Jek.

 

Sejak membuka halaman pertama buku ini saya menyesal telah membelinya, dan menghabiskan waktu duduk berjam-jam untuk menamatkannya dalam waktu satu hari. Tujuh puluh persen isi buku tidak ada faedahnya, tapi alhamdulillah komedi yang ia sajikan mampu membangkitkan jiwa kerecehan saya hingga tulang belulang. Sungguh saya sangat salut dengan Jek, meskipun menyesal sedikit. Namun tetap saja salut. Yah begitulah perasaan saya setelah membaca buku ini, muter-muter kayak bianglala alun-alun.

 

Akhirnya saya pun mau tidak mau, sedikit demi sedikit terpengaruh dengan gaya menulisnya. Tulisan yang indah namun seperti pepesan kosong alias ngga ada faedahnya. Herannya, saya mau saja menulis review lengkapnya di blog. Mudah-mudahan Jek berkenan mengirimkan beberapa merchandise bukunya untuk saya. Karena saya menulis ulasan ini benar-benar ikhlas, mengharapkan imbalan yang besar dari Jek.

 

Bagi teman-teman yang sulit untuk tersenyum akhir-akhir ini, wajib baca buku ini sebelum kotak humor dalam otak mengering dan jadi hilang karena mengecil seiring dengan berlalunya waktu. Kalau tujuh puluh persen tidak ada faedahnya, maka tiga puluh persennya sesungguhnya ada faedahnya meskipun hanya sedikit. Bagian akhir ketika Jek akhirnya bertaubat dari segala kenakalan-kenakalannya akhirnya membuat saya lega bahwa masih ada secercah harapan bahwa buku ini akhirnya ada manfaatnya juga.

 

Jek berpesan melalui tulisannya yang sangat cerdas bahwa siapapun bisa menjadi lebih baik. Sekelam apapun masa lalu seorang, bukan berarti ia tidak berhak menjadi muslim atau muslimah yang baik. Karena Allah adalah Rahman Rahiim. Karena Allah selalu suka dengan hamba-hambaNya yang mau bertaubat dengan sungguh-sungguh.

 

Terimakasih Jek, buku ini sangat menghibur. Namun kalau boleh saya memberi saran untuk calon pembaca sekalian, jangan membaca buku ini di hari Senin dan Kamis, karena puasa teman-teman sekalian akan batal, insyaAllah.

 

Bincang Akhlak oleh Takdir Alisyahbana Ridwan

Cetakan 1, Mediakita, 2019 bisa didapatkan melalui http://mediakita.com

234 halaman

4.5/5

Baca Juga Keambyaran buku Mark Manson yang kedua : Segala-galanya Ambyar, Review