Apa yang terpikir di kepalamu ketika mendengar nama Afghanistan?
Minyak? Perang? Islam? Turis?

Ah, bahkan sekarang pun ingin sekali aku mendengar berita tentang tanah orang Afghan tersebut. Sudah lama sejak perang meletus di negeri Muslim yang terkenal dengan tanah yang diberkahi, namun hingga kini kabarnya telah tenggelam oleh negeri-negeri tetangganya yang juga porak poranda.
Palestina, Irak, Suriah, juga Yaman.
Saking seringnya kita mendengar berita tentang kondisi rakyat disana sehingga benar apa yang dikatakan oleh Agustin dalam bukunya kali ini, Selimut Debu, hanya ada lima kata ketika pemboman, perampokan, kekerasan bahkan perkosaan yang keluar dari mulut kita saat semua media beramai-ramai menjadi yang pertama menginformasikan. Lima kata yang terucap itu pada akhirnya seperti,
“Dimana?”
“Kapan?”
“Berapa korbannya?”
“Siapa pelakunya?”
“Oohh..”

Lalu peristiwa yang mencabik hati itu akhirnya terlupakan. Menguap. Terbang bersama khaak yang selalu menyelimuti tanah Afghan. Seolah tertiup angin musim dingin yang kering.

Suatu ketika saya pernah menanyakan pada seorang teman yang berkebangsaan Pakistan.
“Apakah orang Afghanistan disana banyak?”
“Banyak, dan mereka semua bertabiat buruk. Unruled people”.
Yah, rumor itu ternyata benar adanya.
Kebanyakan orang Pakistan tidak menyukai orang Afghan yang dianggap tidak berbudaya, barbar, pembohong, dan segala predikat buruk yang katanya telah mengakar dalam dada mereka.

Begitu juga dengan negeri tetangga Iran yang memperlakukan orang Afghan seperti manusia level kelas bawah, terhina dan tak punya kehormatan.
Ada lebih dari dua juta gelombang pengungsi Afghanistan yang memenuhi Peshawar, Pakistan, juga Iran ketika Uni Soviet menduduki tanah air Afghani tersebut. Disusul pecahnya perang saudara, Taliban dan Mujahidin yang semakin menghancurkan tanah yang katanya diberkati itu. Mereka tidak mau kembali ke tanah Afghanistan yang sudah porak poranda karena kekuasaan terus merongrong kehidupan mereka.
Sisa ranjau dimana-mana, kehilangan tempat tinggal, pekerjaan bahkan keluarga. Kemana lagi mereka akan pergi?
Namun ternyata gelombang pengungsi itu juga membawa keburukan bagi Pakistan dan Iran, selaku negara tetangga yang berbaik hati menyelamatkan saudaranya sesama Muslim dari penjajah.

Mereka membawa serta opium yang merusak generasi muda, membawa serta bibit terorisme dari Taliban yang bahkan sejak kecil mampu membuat senjata apinya sendiri. Lama kelamaan Pakistan dirongrong ketentramannya oleh Afghani ini, meskipun tidak semua semua hal disebabkan oleh pengungsi ilegal tersebut.
Serba salah.

Meskipun ada banyak sekali gelombang bantuan sosial baik dari PBB maupun lembaga sosial dari negara lain untuk membantu pemulihan di Afghanistan, tetap saja keadaan setelah perang tidak akan sama lagi seperti dulu.
Lembaga dan organisasi yang datang sibuk dengan pekerjaan administratif yang tidak menyentuh substansinya.
Tidak ada perbaikan yang benar-benar memperbaiki kualitas hidup rakyat paling bawah pasca perang. Pengemis masih saja bertebaran dimana-mana, kekeringan, kemiskinan semakin merajalela. Karena banyaknya anak-anak kecil dan wanita yang ditinggalkan kepala keluarganya sebab terkena bom atau ditangkap Taliban maupun lawannya, Mujahidin.

Bom bunuh diri, ranjau, pembunuhan sudah seperti makanan sehari-hari yang tak bisa lepas dari negeri berselimut debu ini, seperti yang telah diceritakan dengan sangat detail oleh Agustinus selama ada disana.
Bahkan orang Afghanistan sendiri berkata,
“Disini semua mahal. Yang murah cuma satu : nyawa manusia”.
Meski begitu tetap saja mereka optimis, hidup harus terus berlanjut, bertahan.
“Orang Afghan adalah bangsa yang pantang menyerah. Kami sanggup menderita, bertahan hidup dalam tantangan alam sekeras apapun.” kata Najibullah, pengungsi yang tinggal di Iran dalam kondisi mengenaskan. Rumahnya terbuat dari batu bata tanpa dilapisi apapun, rumahnya tidak memiliki perabotan sama sekali, hanya karpet dan meja. Itu pun sudah usang dan apak.
Kondisi Najibullah tentu saja jauh lebih baik daripada pengungsi-pengungsi lain yang tinggal di tenda-tenda pengungsian. Tanpa penghangat di musim dingin, makanan enak, atau bahkan tidur berkualitas.

Menjadi pengungsi bukan berarti bermental pengemis. Terlepas dari penghinaan yang sering mereka terima di Iran, para pengungsi Afghan tetaplah bangsa Afghan yang penuh kebanggaan. Terlepas jua dari kemurahan hati Pakistan, orang Afghan tetap menganggap sebagian tanah Pashtunistan yang dikuasai Pakistan adalah milik mereka. Mereka pun tak segan menuding Pakistan dan Iran bertanggung jawab terhadap kemelut Afghanistan. Terlepas dari itu semua, ada perasaan superioritas di tengah inferioritas bangsa yang kampung halamannya diobrak abrik kekuatan asing.

Membaca Selimut Debu semakin membuka pengetahuan saya tentang negara yang ternyata sangat indah ini. Tentang bagaimana mereka sangat memuliakan mehman (tamu asing). Mehman tidak akan dibiarkan kelaparan. Mehman harus dijaga baik raga, harta dan jiwanya, bahkan melebihi dirinya sendiri. Tentang bagaimana mereka bertahan hidup di tengah kemelut yang entah kapan akan berakhir.
Afghanistan yang penuh debu itulah yang mereka agungkan sebagai watan, kampung halaman. Walaupun gersang dan tandus, kepulan debu itu yang menjadi curahan cinta mereka, dan akan mengubur jasad mereka. Seperti halnya negeri kepulauan kita, tanah dan air yang kita jadikan sebagai tumpah darah, khaak Afghanistan akan selalu memanggil semua Afghan pada akarnya.

Cerita Agustinus dalam Selimut Debu menghadirkan begitu banyak pengetahuan tentang Sufisme, pergolakan sekte di negara-negara Islam, sampai hal terkecil bagaimana saya harus bersyukur tinggal dan hidup di Indonesia yang damai.

Semoga segala konflik beserta dampaknya yang terjadi di negara-negara itu bisa segera teratasi dengan baik. Tidak perlu menjadi Islam untuk bisa peduli para mereka, para korban perang. Kita cukup menjadi manusia.

Author : Agustinus Wibowo

Penerbit : Gramedia, cetakan kelima Oktober 2017, 461 halaman.

4/5

Lihat review lain disini :

Mata di Tanah Melus

Everybody Lies, Book Review