Dobro pozholavats. Selamat datang!
Ucap seorang perempuan tua pada Agustinus yang saat itu tengah ditolongnya dari kejaran pencuri di Karakol, Kirgiztan. Menyambut seorang tamu di negara-negara Asia Tengah adalah sebuah kebanggaan. Afghanistan, Pakistan, Kirgiztan bahkan di Tajikistan yang serba mahal sekalipun.
Jika umumnya santapan malam hari bagi mereka selalu berat, berminyak, dan menyenangkan, namun malam ini tidak demikian. Hadir di depan matanya taplak yang diatasnya tersaji roti yang sudah mengeras, gorengan tepuk borsok yang sudah mengerut dan hilang daya tariknya, patahan coklat, ceceran kacang tanah, wafer yang sudah melempem dan apel serta jeruk yang sudah membusuk. Campur aduk menjadi satu.
“Seperti inilah makan malamnya orang miskin,” kata si perempuan tuan rumah. “Apalagi yang bisa kami makan selain ini?”
Beginikah arti merdeka? Kirgiztan adalah negara yang pertama kali memplokamirkan kemerdekaannya setelah Uni Soviet bubar. Runtuhnya Soviet yang akhirnya membentuk negara Stan Stan lain ternyata tidak seindah harapan mereka. Tak berbeda jauh dengan kondisi saudaranya, Tajikistan. Ketika melihat Tajikistan dari seberang sungai AmuDarya Afghanistan, kita akan melihat negara maju impian orang-orang Afghanistan. Agustin menceritakan bagaimana miskin dan terbelakangnya Tajikistan di mata dunia, dan betapa ia sudah membuktikan itu dengan matanya sendiri. Transportasi susah, bahkan rumah-rumah pun banyak yang tak layak huni. Negara pecahan Uni Soviet yang paling dekat dengan Afghanistan itu adalah sebuah dimensi baru yang banyak diimpikan oleh orang-orang Afghanistan. Namun ternyata di dalamnya, bahkan pasar pun tak punya apa-apa untuk dijual selain koleksi pribadi orang-orang Tajik.
Pengetahuan baru selalu didapat saat membaca Garis Batas bab demi bab. Tentang Serendip yang berasal dari kata Serendipity dari bahasa Inggris misalnya. Ternyata Serendip yang banyak dibicarakan oleh orang Tajikistan yang dikira Indonesia, tempat turunnya Ibu Hawa ketika diusir dari surga. Namun sayang sekali, ternyata yang dimaksud Serendip adalah Srilanka. Serendipity artinya rentetan keberuntungan yang semua terjadi secara kebetulan. Kata ini digunakan pertama kali oleh penulis Inggris, Horace Walpole, yang mengisahkan dongeng tentang Tiga Pangeran dari Sarandip yang bertualang keliling dunia. Dalam setiap perjalanan, mereka menemukan sesuatu yang luar biasa, meskipun semuanya terjadi karena kebetulan semata.
Jika Tajik dan Kirgiz harus terseok-seok bangkit dari kemiskinan, berbeda dengan Uzbekistan dan Turkmenistan. Uzbekistan yang kaya minyak justru menjadi negara makmur yang “dingin”. Kita akan menemui pemandangan rumah paling mewah dan mall berlantai marmer yang sangat megah. Kontras dengan beberapa orang yang tinggal di bawah jembatan yang sudah mulai rusak. Kemudian di malam harinya akan berubah menjadi kota mencekam sarang para perampok dan pencuri. Gap yang terbentuk antara si miskin dan si kaya begitu besar, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial dimana-mana.
Beberapa orang malah membeli rumah dan apartemen di Dubai seperti membeli kacang goreng saja. Seorang teman Agustin yang bekerja di Dubai bercerita padanya tentang ini. Benarkah Uzbekistan memang negeri yang sangat makmur dan kaya hingga membeli properti mahal seperti membeli kacang goreng di perempatan lampu merah? Entahlah, bisa saja memang betul ada. Karena disana yang kaya akan tetap menjadi kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Namun jangan bermimpi untuk bepergian sendirian berjalan di kota-kotanya jika tidak ingin menjadi santapan preman atau bahkan petugas imigran yang tak bosan mencari mangsa dari tamu asing.
Begitu juga dengan Turkmenistan, harga bensin setara dengan 120rupiah. Transportasi sangat murah, bahkan tiket pesawat sekalipun. Namun jangan bermimpi untuk bisa membeli paket data dengan mudah. Harga internet disana sangat tinggi, seiring dengan dibatasinya akses dunia maya di sana. Hanya ada warnet yang mungkin sedikit terjangkau untuk layanan internet. Pembayaran internet di warnet saja nilainya sama dengan bepergian naik pesawat.
Kisah perjalanan di Asia Tengah ini meninggalkan kenangan tak terlupakan dalam hati. Hingga saya pun bermimpi untuk bisa pergi kesana, menjelajah Samarkand dan Bukhara yang menjadi tanah para ulama dan ilmuwan Muslim. Kebudayaan dengan peradaban tinggi bahkan sebelum Eropa menguasai dunia. Keinginan itu tidak hanya di negara-negara makmur pecahan Uni Soviet namun melihat keunikan Tajikistan serta Kirgiztan tentu tak kalah menariknya.
Catatan perjalanan Agustin dalam Garis Batas ini lebih membuka mata saya terhadap sebuah arti batas negara. Mengapa kita selama ini dikotak-kotakkan menurut suku, ras atau warna kulit, bahkan bahasa. Garis batas yang memisahkan antara negara satu dengan yang lain dijaga oleh tentara dengan begitu ketatnya. Melalui sebuah birokrasi yang kebanyakan korup. Dollar-dollar masuk ke kantong para oknum penjaga perbatasan. Garis batas yang hanya berupa sungai selebar dua puluh meter membuat perbedaan yang sangat berarti. Yang satu kelaparan sedangkan negeri di seberang sungai sana penuh dengan kemakmuran.
Garis Batas
Penulis : Agustinus Wibowo
Cetakan 6, November 2017.
Penerbit Gramedia, 510 halaman.
[…] Baca Selengkapnya […]