“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf : 109)

Salah satu ayat dalam kitab suci yang saya yakini kebenaran mutlaknya juga membicarakan tentang sebuah perjalanan. Membicarakan tentang tadabbur alam. Setelah melalui semua perjalanan itu selama bertahun-tahun, tidakkah manusia berpikir? Tidakkah kita berpikir?

Perjalanan bagi saya adalah sebuah pelajaran. Kemanapun itu. Langkah kaki yang tak seberapa ketika meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu, ke pasar, silaturahim bersama teman, bekerja, semua adalah pelajaran melalui sebuah perjalanan.

Ming dalam Titik Nol mengatakan bahwa perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat, kepada titik nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.
Perjalanan, oh, perjalanan… siapa yang benar-benar tahu ke mana kaki ini akan melangkah?

Untuk itulah dalam perjalanan hidup ini kita butuh petunjuk. Butuh manual book, agar kita tahu bahwa jalan yang sedang kita tapaki ini tidak salah, tidak juga sia-sia.
Sejauh apapun kaki melangkah, hingga ujung dunia, hingga akhir hidup kita memang ditakdirkan sebagai seorang musafir di muka bumi ini. Seorang pejalan yang terus menggapai tujuan, kampung akhirat.
Maka tidak perlu khawatir akan sebuah perjalanan yang seakan tak berujung. Bersabar saja sebentar, selalu ada akhir di setiap perjalanan. Selalu ada titik bilik, titik nol. Tempat kita kembali dan berpulang.

Awalnya baca Titik Nol ini karena tertarik dengan negeri Afghan yang diceritakan begitu sempurna oleh Hossaeini di Kite Runner. Saking penasarannya sampai menggali informasi tidak hanya dari Google, tapi juga intens menanyakan pandangan seorang teman yang tinggal di sudut Pakistan, negara yang dekat dengan Afghanistan. Termasuk juga negara yang menampung begitu banyak pengungsi Afghan saat itu.
Yah, cerita bersejarah yang ditulis dan diungkap seseorang memang tergantung pada sudut pandang. Ada dimana dia saat itu? Ada pada pihak Pemerintah kah? Atau ada pada pihak Taliban? Semua punya sudut pandang masing-masing yang akhirnya membuat saya semakin penasaran, mana yang benar? Siapa yang bisa menyampaikan akar masalah yang terjadi disana secara netral?

Saya terus berusaha mencari hingga seorang teman menyarankan untuk membaca perjalanan seorang traveler Indonesia yang sudah singgah di berbagai negara konflik, termasuk Afghanistan.
Membaca seluruhnya memang belum menjawab pertanyaan yang masih sibuk berkeliaran di kepala saya. Namun saya mendapatkan hal lain ketika membaca Titik Nol. Hal lain yang juga tidak kalah banyak manfaatnya dengan apa yang saya cari.
Terlepas dari konflik yang terjadi hingga sekarang, negeri dengan akhiran ‘Stan’ memang penuh misteri dan sejarah yang menarik untuk dikupas tuntas. Negeri para ahlul Quran, negeri para ulama, negeri yang makmur dan diberkahi. Untuk itulah saya sangat tertarik dengan buku ini, kisah dan perjalanan yang ditulis juga sangat menarik. Andai tak ada jeda untuk mengistirahatkan mata untuk ibadah, mandi, makan, bekerja, mengurus rumah, sudah pasti saya akan melahap habis buku ini sehari saja. Berkutat dengannya sepanjang hari di atas pembaringan yang nyaman, sambil membayangkan bagaimana kalau saya ikut dalam perjalanan panjang ini.

titik nol cover

Agustinus menceritakan perjalanannya dengan detail dan seolah membawa pembaca ikut ke dalam setiap situasi yang ia hadapi di setiap persinggahan. Kecopetan, kejar-kejaran dengan tentara perbatasan, membohongi polisi, sakit parah di negeri orang, hingga bagaimana bertahan hidup di negara konflik yang bisa saja setiap saat mati karena terkena ledakan bom atau ranjau.

Seperti yang dikatakan oleh Agustin kalau turis itu berbeda dengan musafir. Turis membawa dirinya ke tempat eksotis, tak terjamah dengan segala fasilitas yang mampu ia bayar. Hotel dengan kasur empuk, air hangat, transportasi yang nyaman dan cepat serta penjagaan yang aman. Berbeda dengan musafir yang harus menghemat setiap sen uang yang ia keluarkan. Menaiki transportasi yang paling murah meskipun itu artinya ia harus menumpang truk hewan ternak untuk sampai pada tujuan. Memakan junkfood, makanan pinggir jalan India hingga diare, dan juga terpaksa harus menginap di sebuah losmen dengan kasur tipis bau dan selimut apek.

Bagaimana seorang musafir harus bertahan di puncak pegunungan dengan sepatu bolong, terkena penyakit parah yang mengharuskan dirinya menetap di satu negara asing tanpa keluarga selama beberapa bulan tanpa obat tanpa dokter. Saya sendiri bergumam, mampukah saya seperti ini? Mampukah saya pergi dari rumah dengan berjalan terus ke arah barat, mencapai apa yang disebut oleh semua orang sebagai impian, keliling dunia. Meninggalkan keluarga, zona nyaman, pendidikan serta waktu yang mungkin terlihat terbuang percuma.

Untuk apa semua perjalanan ini? Dimana ujungnya?

Bagaimana kita memulai perjalanan dan bagaimana pula mengakhirinya. Semua diungkap dengan penuh perasaan oleh penulis.

Bagaimana jika suatu saat ketika kita sudah hampir tiba di ujung perjalanan, tujuan dari semua hal yang telah kita lakukan dan korbankan, ada sesuatu yang harus kita selesaikan di tanah air? Ada sesuatu yang menarik kita untuk kembali pulang? Akankah kita akan mengorbankan separuh mimpi yang sudah berada dalam genggaman?

Nampaknya inilah ujian dari Tuhan, bahwa tidak selamanya perjalanan ini akan berjalan mulus. Tidak selamanya perjalanan ini hanya menghadapi batu kecil atau bahkan kerikil. Ada kalanya badai pasir atau derasnya arus sungai di Tibet yang mampu menghantam dan menghanyutkan kita adalah fakta nyata yang harus kita hadapi. Mundur pulang selangkah untuk kemenangan selanjutnya atau melanjutkan perjalanan meski maut sudah dekat, asal mimpi teraih meski nyawa harus hilang?

 

Tidak ada yang pernah bisa menjamin bagaimana akhir dari perjalanan kita. Bisakah kita sampai tujuan dengan selamat meskipun sudah melangkah mundur untuk menghimpun kekuatan? Tidak akan ada yang bisa menjamin itu. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha dengan sekuat tenaga, berpikir dengan matang, mengambil keputusan terbaik untuk masa depan yang kita yakini akan bahagia selama-lamanya. Karena perjuangan dalam perjalanan itulah yang memberikan pelajarannya untuk kita, bukan puncak dari sebuah perjalanan yang berhasil kita gapai. Entahlah.

Titik nol benar-benar membuat saya ingin berkeliling dunia. Dengarkan cerita dan temukan hal baru sebagai pelajaran.
Meskipun kata Lam Lie nilai perjalanan tidak terletak pada seberapa jauh, tetapi lebih pada seberapa dalam kita bisa terhubung dengan orang-orang yang menghadapi kenyataan di tanah kehidupan.
Untuk saat ini, mungkin saya hanya harus puas dengan memakan semua bacaan untuk terhubung dengan mereka, yang belum pernah saya temui. Berharap suatu hari nanti, akan terhubung dengan mereka di tanah yang mereka cintai.
Yes, I hope someday, will connect with them in their land.

Author : Agustinus Wibowo
Cetakan ke-7 Februari 2017
Penerbit Gramedia, 556 hlm.
⭐4/5

Baca Juga Mengenal Bissu dan Toboto lewat Tiba Sebelum Berangkat