“Aku minta maaf Za..” orang yang kucari duduk di belakangku. Ode baik-baik saja. Dia telah siuman sejak tadi. Luka di kepalanya telah dibebat kain. “Aku minta maaf telah mengolok-olok soal kaos kaki itu. Terimakasih sudah menolongku.” Ode menatapku lamat-lamat.


Aku tersenyum. Syukurlah. Selain dua drum yang hilang, peralatan masak yang berantakan dan barang-barang yang basah kuyup, semuanya baik-baik saja.
Sejak hari itu, kami bertempat menamai geng kami,” Si Anak Badai”.


Baca buku ini memang benar-benar mengaduk-aduk emosi. Sedih, gemas, lucu dan penasaran bagaimana akhirnya nasib penduduk kampung Manowa.
Gemes karena interaksi antara Za dan Rahma yang khas anak SD, mengingatkanku saat-saat di kelas 6 dulu. Polos, tulus dan mengalir apa adanya. Juga tokoh Pak Kapten yang mengingatkanku pada seorang guru di sekolah. Beliau memang galak, tegas, tapi jauh di dalam hatinya perasaannya lembut sekali. Bahkan beliau mau menanggung resiko apapun demi melindungi orang-orang yang disayangi.

Kisah Si Anak Badai ini memang sederhana, tapi justru dari kesederhanaan itu saya banyak sekali mengambil pelajaran darinya. Si Geng Anak Badai yang terdiri dari Za, Malim, Awang dan Ode menceritakan tentang kisah mereka sebagai anak kelas 6 SD yang hidup di sebuah kampung di atas air yang bernama Manowa. Kisah keseharian mereka yang sederhana, lucu dan khas anak kecil. Sehingga cerita mengalir begitu saja seolah saya juga sedang ikut hidup di kampung Manowa.

Suatu hari kampung mereka sedang dalam bahaya. Namun perjuangan dan kegigihan penduduk kampung, khususnya geng Anak Badai inilah yang patut kita tiru. Ketika kegagalan menyapa yang ketiga atau empat kalinya, semangat mereka tak patah. Justru semakin menggebu dan semakin cerdas cara-cara mereka menyelesaikan masalah.

Bagaimana ya nasib sekolah dan kampung mereka?
Apakah benar kebenaran akan kalah dengan uang? Masih adakah keadilan di negeri ini? Masih adakah orang-orang yang peduli dengan kampung terpencil yang ruang kelas sekolahnya saja dibilang seperti kandang kambing?

Kecerdasan Anak Badai dalam menghadapi persoalan yang singgah di hidup mereka ini juga mengingatkan bahwa justru kita banyak belajar dari anak-anak. Ketulusan hatinya, kegigihan, serta perjuangan untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Kesemuanya memberikan pelajaran bagi saya.

Apalagi pada bab ketika Malim memutuskan untuk berhenti sekolah. Saya dibuat meneteskan air mata, terharu sekaligus teringat anak-anak yang putus sekolah di sekitar saya. Lebih terharu lagi saat Malim menangis tergugu ketika ketiga sahabatnya berkata, “Seorang kawan tidak akan meninggalkan kawannya sendirian.”

Ada juga bab mengharukan lain pada “Besar Kasih Sayang Mamak.”Bayangan ibu yang bekerja dari petang hingga petang lagi kemudian memenuhi mata dan pikiran saya. Lalu tanpa bisa dibendung, Tere Liye membuat saya meneteskan air mata lagi karena teringat betapa besar pengorbanan seorang Ibu. Betapa enaknya masakan Ibu saya.

Tak lupa humor yang disuguhkan membuat suasana hati jadi ikut senang. Senyum-senyum sendirian membayangkan lucunya percakapan diantara Geng Si Anak Badai. Begitu juga interaksi mereka dengan penduduk kampung. Ketagihan jadi pengin beli seri anak Nusantara lainnya.

Buku ini tidak hanya cocok untuk remaja atau anak-anak, tapi juga kita orang dewasa yang kadang harus diingatkan lewat hal kecil agar kembali pada kebaikan.

Judul : Anak Badai

Author : Tere Liye, Co-Author : Sarippudin

Penerbit Republika, Cetakan 1 Agustus 2019, 322 halaman

4/5