Cerita Bumi Tahun 2683 adalah salah satu judul novel karya Aesna yang menceritakan tentang tangisan bumi di tahun 2683. Itu berarti lebih dari 6 abad dari sekarang. Meskipun fiksi, namun novel ini begitu mengena. Terlebih ketika terjadi banyak bencana alam di sekitar kita. Banjir bandang di Sumedang, longsor, banjir Kalimantan, Kota Malang, hingga gempa besar yang memporakporandakan saudara kita di Mamuju, Sulawesi Selatan.

Cerita Bumi Tahun 2683

Novel yang sudut pandangnya mengambil dari seekor burung ini menceritakan banyak kisah pilunya karena ulah manusia. Saat itu, di tahun 2683 hutan kedua terakhir di wilayah Afrika telah musnah dan lahannya dijadikan rumah bordil tingkat lima dan taman budaya seksual dengan luas hampir lima puluh hektar. Seluruh data pekerja seks komersial dari seluruh negara bertempat di rumah itu, sementara tingkat kegiatan jual beli kelamin via virtual semakin marak dan tidak terkendali.

Burung-burung tersebut masih saja berpikir positif terhadap manusia. Bahwa ini semua sudah terprogram? Hilangnya tempat tinggal mereka dan banyak hewan lain? Matinya saudara mereka karena perburuan liar maupun ditangkap spesies yang di zaman purba disebut sebagai Homo Sapiens? Burung-burung itu masih saja berpendapat bahwa mereka semua tentu bukan manusia. Mereka sekarang bukan lagi manusia. Karena yang burung-burung itu tahu, makhluk hidup tidak akan menghancurkan makhluk hidup lainnya demi kepentingan dan hasrat pribadi. 

Namun, dengan habisnya seluruh pepohonan, burung-burung yang sekarang total jumlahnya tidak lebih dari lima ratus spesies itu bermigrasi ke daerah Kalimantan. Tepat di garis lintang khatulistiwa. Mengingat negara ini adalah negara yang selalu menjunjung tinggi nilai kehijauan dan pentingnya udara segar yang sekarang sudah teramat jarang. Manusia sekarang sudah terlalu bergantung pada tabung-tabung oksigen yang setiap hari mereka bawa, menjadikan mereka tak ubahnya robot-robot yang mereka ciptakan sendiri demi keamanan negara dan kehidupan praktis. Mereka merusak kehidupan mereka sendiri, lalu menciptakan sesuatu untuk memperbaikinya dengan merusak yang lainnya. Bumi sudah tak dapat dihuni.

Hutan di Kalimantan adalah hutan terakhir.

deforestisasi Indonesia

Sampai di sini saya tercengang. Bagaimana jika Kalimantan yang merupakan hutan terakhir di dalam kisah fiksi tersebut sekarang pun sudah berubah menjadi lahan kelapa sawit dan pertambangan? Hutan terakhir yang disebutkan itu sudah mengalami deforestasi. Padahal, selama 20 tahun terakhir dari tahun 2000-an ini bumi telah banyak melaksanakan penghijauan. Berkat penghijauan yang dilakukan di daratan China dan India. Sebanyak 22,19% lahan daratannya dijadikan hutan oleh China, sedangkan India melakukan penghijauan sebanyak 23,80% dari wilayah daratannya.

Apa yang terjadi di Indonesia? Justru kebalikannya, Indonesia mengalami deforestasi yang paling banyak dibanding negara Asia lainnya.

Inilah yang kemudian membawa saya pada kisah dalam novel Cerita Bumi Tahun 2683. Novel ini sungguh merupakan satire yang harusnya menjadi pelajaran untuk manusia pada umumnya, terlebih masyarakat Indonesia khususnya. Betapa kalimat, “Hutan Kalimantan adalah paru-paru dunia” adalah benar adanya. Meski Cerita Bumi Tahun 2683 mengatakan bahwa Mars sudah terbangun oleh peradaban, kapal induk luar angkasa sudah menjadi rumah yang lebih layak, wisata bumi-bulan sudah menjadi hal biasa dan populasi ruang angkasa semakin bertambah pesat setiap tahunnya.

Makhluk lain seperti burung cenderawasih, Albatros, gajah, harimau, dan banyak makhluk lain di dalam hutan petak sudah mulai ditinggalkan. Semakin dihinakan. Burung-burung yang sedang dibicarakan dalam novel ini, yang jumlahnya tidak lebih dari lima ratus ekor itu, kini tidak lebih lebih ketakutan pada kehidupan yang serba canggih. Mereka mengeluh,

“Kami akan mati!”

“Kami akan punah!”

Mata mereka sudah jadi bengis dan sayap mereka semakin buluk karena sudah lama tidak mandi air hujan. Ketakutan yang mereka alami sebenarnya sedikit teratasi karena mitos-mitos dan pekerjaan yang selalu mereka lakukan tiap hari untuk mencari keberadaan hutan baru di alam semesta ini tidak ada habisnya.

Tanah hijau berubah menjadi coklat dan gersang dibakar apa yang semena-mena. Di atasnya, peradaban yang baru tengah dimulai.

Burbur, burung Kasumba yang terkenal sebagai ilmuwan dalam novel ini juga tengah menderita atas trauma perang yang terjadi 50 tahun lalu pada manusia. Burung lainnya, yang disebut sebagai Sang Pembawa Kabar, memimpin perjalanan dalam novel ini hingga suatu waktu, Rindang datang dan mengaku sebagai burung Albatros, yaitu burung terkuat di muka bumi sekaligus burung legendaris dalam kitab suci kamu burung, datang sebagai betina yang kuat dan menggugah semangat Burung Sang Pembawa Kabar.

Peradaban burung di tahun 2683 ini tidak selesai dibangun kembali dalam satu malam meski rumah-rumah mereka telah terbakar habis. Bumi masih menangis saat api tahu-tahu menjilat daratan. Kawanan burung bertaruh nyawa, selagi hutan terakhir di bumi habis dibakar. Di tahun 2683 bumi sudah penuh luka, kisah di dalam novel Cerita Bumi Tahun 2683 inilah bukti tangisannya.

cerita bumi tahun 2683

Judul : Cerita Bumi Tahun 2683
Cetakan Pertama, Oktober 2018
Penerbit Mojok, 96 halaman.