Kata orang di luar sana, kami ini malas. Oleh karena itulah kami menjadi miskin dan kulit kami penuh koreng.

Kata orang di luar sana, kami sudah terbiasa tidak memakai alas kaki sejak kecil. Oleh karena itulah kemanapun kami pergi selalu tanpa alas kaki walaupun matahari menyengat hingga suhu bisa mencapai 60 derajat celcius.

Kata orang di luar sana, negeri kami dikutuk. Oleh karena itulah Tuhan tak mau menurunkan hujan untuk kami.

Kata orang di luar sana, sungai kami yang lebarnya hampir satu kilometer dan mengalami kekeringan bertahun-tahun itu karena ulah kami yang tak mampu menjaga curah hujan.

Kami tidak malas, sungguh! Nyatanya, kami harus meninggalkan kamp pengungsian dengan berjalan kaki bersama ibu dan ayah (pengungsian berjarak 80-160 kilometer dari tempat tinggal kami) karena mendengar ada hujan turun disana. Namun apadaya, tanaman kami kembali tersapu badai pasir. Tanpa hujan, kami tak bisa bercocok tanam.

Nyatanya, banyak teman kami meninggal karena campak dan kekurangan gizi. Karena di tempat pengungsian, kami hanya mendapatkan jatah satu sendok makan campuran air, tepung dan sedikit gula untuk mengisi perut kami. Pagi dan malam masing-masing cukup satu sendok. Jika makanan yang dimasak adalah hal mewah bagi kami, bagaimana dengan alas kaki?

Tidak ada kayu bakar, listrik, gas apalagi oven. Makanan yang dimasak rasanya terlalu mewah buat kami. Tak ada air jernih mengalir untuk kami minum. Maka cukup air lumpur untuk membasahi kerongkongan kami.

Kami berharap dunia akan menjadi lebih baik, tanpa perang, tanpa desertifikasi. Agar kami bisa kembali pulang ke rumah kami dan bercocok tanam lagi.

Nigeria, 1985.

Sumber data : Catatan Perjalanan Kemanusiaan Tetsuko Kuroyanagi.