“Sudah isi mbak?” tanya seorang tetanggaku yang sedang membeli makanan di sebuah warung dekat rumah.

“Ada Bu, isi lemak. Hehehe…” Jawabku asal sambil membayar penganan yang sudah kupesan.

“Engga, maksudnya udah hamil belum?” Ibu itu bertanya seolah pertanyaan itu harus kujawab sesuai dengan keinginannya. Lagi-lagi aku menahan kesal dalam hati.

“Doanya aja Bu.” Ucapku singkat sambil berusaha tersenyum di depannya. Tidak menjawab sudah atau belum. Meskipun jawaban ‘belum’ merupakan jawaban singkat yang mudah diucapkan daripada menjawab dengan meminta doa pada yang bertanya. Namun aku menghindari pertanyaan-pertanyaan berikutnya semisal,

Kok belum mbak? Jangan ditunda lho, ngga baik.

Wah masih pengen pacaran ya?, dan berbagai pertanyaan kreatif lainnya yang sering keluar dari lisan mereka yang kemudian hanya kujawab dengan senyuman, paling banter ya dijawab dengan, doanya ya. Begitulah.

Teringat kenangan di ruang dokter beberapa tahun yang lalu,

“Jalan terbaik untuk semua yang sudah dilalui dalam satu tahun belakangan ini adalah dengan histeroktomi. Jika tidak, akan berbahaya untuk organ vital lainnya,” kata seorang dokter obgyn suatu hari. Aku terdiam, melirik suami yang sedang berdiri mematung di sebelahku. Sejak vonis itu disampaikan dokter, saat itulah hidupku berubah.

Manusia adalah makhluk paling mulia ciptaan Allah. Manusia diberi akal pikiran dan hati nurani untuk menentukan mana yang baik dan buruk. Mana keputusan yang harus diambil, mana yang harus diacuhkan, seperti saat kita melewati kerikil ketika berjalan. Aku pikir setiap manusia melewati fase tirani of or dalam hidupnya. Tirani of or adalah suatu fenomena yang kupelajari dari sebuah kelas bisnis bersama Coach Dr El Fahmi. Beliau adalah salah satu Indonesian International Leader Coach di Indonesia. Tirani of or merupakan suatu keadaan dimana sebuah bisnis yang tengah berkembang akan dihadapkan pada situasi harus memilih. Harus memilih antara stagnan dalam satu outlet kemudian memaksimalkan produksi dengan tenaga seadanya, atau mengembangkan outlet kemudian membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Pilihan yang sulit bukan? Namun kita dipaksa untuk memilih jika tidak ingin bisnis kita berhenti atau stag disitu-situ saja.

Begitu juga dengan aku, kamu atau orang lain diluar sana yang hidup sebagai manusia. Sejak kecil kita sudah dihadapkan pada sebuah pilihan, seperti :

Kamu mau coklat atau permen? Mau beli tas atau sepatu?

Biasanya kita akan memilih mana yang kita butuhkan saat itu. Ketika sudah mendapatkannya, bisa jadi kita akan menyesal. Kenapa tadi tidak memilih sepatu ya? Sebentar lagi sepatuku juga usang. Begitulah kehidupan. Kadang apa yang menjadi pilihan bagi kita saat itu, suatu saat akan dirasa membosankan dan ingin rasanya mengubah pilihan. Sayang  sekali waktu tidak bisa kita putar kembali untuk mengganti pilihan yang sudah kita tentukan. Begitu juga denganku.

Saat itu sekitar tiga atau empat bulan setelah menikah, aku dihadapkan pada sebuah pilihan sebagai wanita. Baru beberapa bulan menikah aku mulai merasakan sakit di bagian perut dan sedikit flek seperti siklus haid pada umumnya. Awalnya aku mengacuhkan kesakitan itu, karena selama haid dari gadis hingga sekarang aku tidak pernah mengalami kram perut. Tapi berlalu berminggu-minggu, rasa sakitnya semakin mengganggu hingga akhirnya aku harus segera periksa ke dokter. Saat itu aku langsung menuju dokter kandungan langganan keluarga.

Bagai petir di siang bolong, betapa shock nya aku saat itu ketika mendengar informasi dari dokter tentang hasil USG yang sudah dilakukan. Ternyata aku mengidap myoma uteri. Persis menempel dan menempati tempat bayi. Saat itu dokter spesialis kandungan menyarankan untuk terapi hormon terlebih dahulu, menimbang usia pernikahan yang masih baru. Dengan harapan, myoma tersebut akan mengecil dan hilang dengan sendirinya sambil berikhtiar dikaruniai permata hati.

Selama beberapa bulan aku mengalami perdarahan meskipun sudah melakukan terapi hormon lewat pil yang diberikan oleh dokter. Hingga aku harus melakukan transfusi 3 bulan sekali, karena kadar haemoglobin yang sangat rendah dan sangat membahayakan jantung dan organ vital lain. Selama hampir satu tahun aku bedrest, tidak melakukan aktivitas apa pun, bahkan terpaksa aku harus cuti kuliah (saat itu aku sedang melanjutkan kuliah juga). Bahkan untuk sekedar ke kamar mandi pun aku memakai kursi roda dengan dibantu ayah, ibu, adik atau suami. Saat itulah masa-masa krisis dalam hidupku. Titik paling rendah yang aku alami selama hidup. Krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis percaya diri, ah betapa lemahnya aku saat itu hingga ingin rasanya menyerah pada keadaan. Beruntungnya aku memiliki keluarga dan suami yang selalu mendukung dan memotivasi untuk sembuh. Berbagai ikhtiar kami lakukan dalam kurun waktu satu tahun tersebut. Mulai dari transfusi darah tiap dua bulan sekali, mengkonsumsi obat herbal, jamu, terapi fisik maupun obat-obatan, dan lainnya. Intinya tahun itu semua gaji suamiku habis hanya untuk pengobatan.

Pada akhirnya di pertengahan tahun 2014 takdir Allah berkata lain. Saat itu aku benar-benar dalam kondisi lemah, kadar hb hanya 3 koma sekian, ditambah kram perut yang tidak berkesudahan. Akhirnya ayah yang selalu tidak tega melihatku kesakitan mendorongku dan suami untuk segera melakukan saran dokter, yaitu histeroktomi. Merelakan segala yang aku punya dan berserah diri pada Allah, mencoba mencintai takdir. Aku pun sudah lama sebenarnya tidak tahan dengan kondisi tubuh sendiri. Hanya saja aku masih menyimpan harapan, begitu juga dengan suami. Tapi keajaiban tidak kunjung datang. Agaknya memang inilah jalan kami. Dengan kondisi hb yang membahayakan dan dokter tidak lagi merekomendasikan transfusi- karena sudah berkali-kali melakukan transfusi dalam setahun- maka dokter pun menyarankan untuk operasi histeroktomi agar fungsi vital tubuh juga tidak terganggu. Dengan kondisi pasrah, aku dan suami akhirnya menyetujui.

Bagaimana seorang wanita merasa dirinya utuh ketika rahimnya diangkat? Umur pernikahan belum genap dua tahun dan harus menerima fakta bahwa aku tidak akan pernah bisa punya anak secara medis adalah hal yang sangat menyedihkan. Marah iya, sakit iya, tapi inilah pilihan hidup. Aku tidak lagi melarang suami untuk berpoligami, bahkan aku menawarkan padanya untuk menceraikanku. Melihat suami adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarganya, bagaimana aku tega membatasi suami untuk tidak punya istri lagi sedangkan aku tidak akan bisa memberikan keturunan untuk keluarganya?

Begitulah pilihan. Kadang aku menyesal, andai aku bisa bertahan lebih lama. Tapi justru kalimat andai itu sendiri yang tak kunjung menyembuhkan luka. Akhirnya tahun demi tahun aku bisa melewati kehidupan dengan lebih produktif, meskipun aku sudah bukan lagi wanita seutuhnya yang bisa melahirkan anak dari rahimnya sendiri. Banyak pertanyaan disana sini, kenapa tidak kunjung punya anak? Kok belum program hamil? yang selalu aku jawab dengan senyuman dan, “doanya yaa..”

Beberapa bulan setelah operasi pengangkatan rahim, aku aktif dalam sebuah organisasi perempuan. Aku mulai menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, membantu dakwah sosial bersama teman-teman, mengkoordinir sebuah komunitas membaca, menjalankan sebuah Posyandu Remaja Keliling yang melayani pelayanan kesehatan, konsultasi gizi, konsultasi psikologi dan hal-hal edukatif lain yang bisa  dibagi dengan adik-adik remaja di lingkungan sekitar. Aku benar-benar ingin mengabdikan diri, waktu, tenaga, materi dan pikiran sesuai janji dengan diri sendiri untuk mereka yang membutuhkan. Nyawa ini nyawa saringan, bisa jadi nyawa ini harus kembali pada yang memiliki saat ini juga. Maka mau sampai kapan hidup hanya untuk diratapi? Inilah pilihan hidup. Mungkin kelak ketika tua, hidup akan sepi, tidak ada yang menemani. Tapi inilah pilihan hidup, hikmahnya saat ini aku punya banyak waktu mencari bekal kebaikan sebanyak-banyaknya sebagai teman ketika aku nanti mati. Aku sudah melewati fase tirani of or  terberat dalam hidup, sekaranglah saatnya menggapai kemenangan kecil atas pilihanku sendiri.

Ditulis untuk memenuhi tantangan ODOP Pekan 7.