Berani Tidak Disukai, sebuah buku karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga secara garis besar menghadirkan fenomena dari Jepang untuk membebaskan diri, mengubah hidup, dan meraih kebahagiaan sejati.
Kalau teman bloger berharap bahwa setelah membaca buku ini akan mendapatkan pencerahan terhadap apa yang tidak orang sukai dari diri kita, lalu bersikap masa bodoh atas hal tersebut. Maka anggapan tersebut boleh jadi benar. Karena buku ini memang akan memberitahukan bahwa segala sesuatu yang tidak disukai dari diri kita, pada hakikatnya adalah urusan kita. Bukan urusan orang lain. Begitu pula penilaian kita terhadap orang lain yang tidak lain juga bukan urusan kita.
Wah, ini ngajarin ngga mau dikritik dong? Eits, tunggu dulu 🙂
Teori Psikologi dalam Buku Berani Tidak Disukai
Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga sebagai penulis menggaris bawahi bahwa Sigmund Freud, Carl Jung, dan Alfred Adler adalah tokoh-tokoh penting di dunia psikologi. Buku ini merupakan ekstraksi berbagai pemikiran serta ajaran filosofis dan psikologis Adler, yang mengambil bentuk dialog naratif antara seorang filsuf dan seorang pemuda.
Katakanlah pembaca sebagai pemudanya. Karena segala pertanyaan yang mewakili saya sebagai pembaca telah dijawab dengan sangat runtut, detail, dan jelas oleh seorang filsuf dalam Berani Tidak Disukai.
Seperti yang telah teman bloger ketahui bahwa teori psikologi Adler mendapat dukungan yang luas tidak hanya di Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga di negara kita, Indonesia. Bahkan ada beberapa lembaga pendidikan yang mengadopsi teori ini meski tidak secara penuh.
Ada pertanyaan umum yang selalu diajukan oleh manusia seperti : Bagaimana manusia bisa meraih kebahagiaan? Teori psikologi Adler ini menyajikan jawaban-jawaban sederhana yang filosofis dan tidak berbelit-belit. Membaca buku ini tentu saja saya belajar banyak apa sebenarnya yang ingin disampaikan Adler dalam teori-teori psikologinya yang kebanyakan bertentangan dengan teori psikologi lain.
Seolah Adler mengatakan pada kita bahwa dunia ini sederhana, dan kebahagiaan itu dapat diraih dalam sekejap mata oleh setiap manusia.
Adler : Trauma itu Tidak Ada!
Pertama kalinya saya mengiyakan begitu saja sebuah teori dalam buku, tanpa bertanya langsung pada ahlinya (dalam hal ini psikolog). Karena memang teori yang disampaikan menurut saya sangat masuk akal dan sesuai dengan kesederhanaan agama saya.
Dalam teori psikologi Adler, trauma secara definitif tidak diterima. Hal ini memang poin yang benar-benar baru dan revolusioner. Tentu saja, pandangan penganut gagasan Freud tentang trauma adalah hal yang menarik. Gagasan Freud tersebut ialah bahwa luka batin seseorang (trauma) menyebabkan ketidakbahagiaannya saat ini.
Nah, coba kita telusuri ketika kita memperlakukan hidup seseorang sebagai sebuah narasi yang luas, ada hubungan sebab akibat yang mudah dipahami dan kesadaran tentang perkembangan dramatis yang menciptakan kesan yang kuat dan menarik. Tapi Adler menolak alasan trauma tersebut dengan pernyataannya :
Tidak ada pengalaman yang dengan sendirinya menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kita. Kita tidak menderita syok akibat pengalaman kita (yang dinamakan trauma) namun sebaliknya. Kita mengartikannya sesuai tujuan kita. Kita tidak ditentukan oleh pengalaman kita, namun arti yang kita berikan pada pengalaman-pengalaman itu menentukan dengan sendirinya.
Karena meskipun bahkan trauma itu ada sejak kecil atau entah bagaimana lalu menjadi phobia, Adler berkata bahwa yang penting bukanlah dengan apa seseorang dilahirkan, namun bagaimana ia memanfaatkannya.
Berdasarkan ucapan Adler tersebut Ichiro dalam bukunya Berani Tidak Disukai berpikir bahwa sebenarnya manusia-lah yang memilih untuk tidak berubah. Apakah ia tetap mau berada dalam lingkaran traumanya, atau mau lepas dari zona “nyaman” yang ia ciptakan sendiri.
Oke, sampai sini bolehlah orang berpikir bahwa teori ini sangat tidak manusiawi. Tapi coba kita pikir dan rasakan dari dalam hati, sebenarnya, siapa yang menciptakan perasaan takut, kalut, gelisah akibat dari trauma itu kalau bukan pikiran kita sendiri? Netijen boleh tidak sependapat lalu menutup laman ini dan mengumpat bahwa semua ini omong kosong.
Kompleks Inferioritas Hanyalah ALASAN
Sebagaimana trauma, Adler menganggap inferioritas hanyalah sebuah alasan yang dibuat oleh pikiran masing-masing. Perihal inferioritas pernah saya bahas sebelumnya di blog ini. Konsepnya seperti ini : manusia lahir ke dunia sebagai makhluk yang tak berdaya. Lalu manusia memiliki hasrat universal untuk bisa lepas dari keadaannya yang tak berdaya tersebut. Adler menyebutnya “upaya untuk meraih superioritas.”
Semua orang ada dalam “kondisi ingin meningkatkan diri”, yakni supaya untuk meraih superioritas. Kita memiliki aneka tujuan, namun ketika tidak bisa meraih tujuan itu kita akan memendam perasaan minder. Ada orang yang menggunakan perasaan-perasaan itu sebagai landasan pacu agar menjadi lebih baik lagi. Namun ada juga orang yang langsung menyerah bahkan sebelum berusaha, dan mengatakan hal-hal seperti, “Aku toh tidak cukup baik,” atau, “Sekalipun mencoba aku tidak akan berhasil.”
Tidak ada yang salah dari perasaan inferior itu sendiri. Seperti yang Adler katakan, perasaan inferior bisa menjadi pemicu bagi kerja keras dan pertumbuhan seseorang. Misalnya saja kalau seseorang memiliki perasaan inferior berkenaan dengan pendidikannya, lalu memutuskan,
Aku tidak punya pendidikan tinggi, jadi aku hanya perlu berusaha leih keras dari yang lain
Itulah arah yang diharapkan. Kompleks inferioritas di sisi lain, merujuk pada kondisi yang mulai menjadikan perasaan inferiornya sebagai alasan. Jadi, seseorang berpikir,
Aku tidak punya pendidikan tinggi, jadi aku tidak bisa sukses, atau aku tidak tampan, jadi aku tidak bisa menikah
Bandingkan saja bagaimana kedua pernyataan di atas dapat membedakan mana orang yang berbahagia mana yang tidak.
Perasaan kedua disebut kompleks inferioritas, dan perasaan pertama adalah perasaan inferioritas. Yang dimaksud sebagai alasan saja adalah kompleks inferioritas itu sendiri.
Jadi, apakah pernyataan kedua adalah orang pernyataan orang yang tidak mau sukses?
Sebenarnya perasaan kedua lebih menggambarkan pada orang yang takut melangkah ke depan, juga bahwa orang tersebut tidak mau mengambil langkah yang realistis.
Berani Tidak Disukai, Karena Kita Hidup Tidak Untuk Menyenangkan Orang Lain
Pada Buku Berani Tidak Disukai kita akan belajar tentang keberanian. Berani untuk tidak diakui oleh orang lain. Meskipun diakui oleh orang lain jelas sesuatu yang menggembirakan. Apa sebabnya orang mencari pengakuan orang lain? Dalam banyak kasus, ini dikarenakan pengaruh dari pendidikan dengan metode reward and punishment.
Sampai sini, mungkin teman bloger akan sangat tidak setuju dengan buku ini. Namun, bila membacanya dengan lebih tenang dan dengan kepala terbuka serta menggunakan bird eye view kita akan mendapatkan sudut pandang lain soal metode pendidikan ini.
Bahwa jika seseorang mengambil tindakan yang tepat, ia akan menerima pujian. Jika seseorang mengambil tindakan yang tidak tepat, ia akan menerima hukuman. Adler sangat kritis terhadap hal ini. Karena menurutnya, reward and punishment akan mengarah pada gaya hidup yang keliru.
Ketika orang-orang berpikir, kalau tidak ada yang memujiku, aku tidak akan mengambil tindakan yang tepat. Dan kalau tidak ada yang menghukumku, aku juga akan terlibat dalam tindakan yang tidak tepat. Oleh karena itu kita sudah memiliki tujuan ingin dipuji ketika melakukan hal baik. Dan kalau tidak dipuji siapapun, kadang kita merasa geram, atau memutuskan bahwa kita tak akan pernah melakukan hal semacam itu lagi.
Keinginan diterima oleh orang lain yang dekat dengan kita adalah salah satu hal yang dilakukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Padahal kita hidup bukan untuk itu. Ketika kita berharap begitu kuat untuk diakui, maka kehidupan akan mengarah pada hidup yang dijalani dengan mengikuti ekspektasi orang lain, yang menginginkan kita menjadi “orang seperti ini”.
Dengan kata lain, kita membuang diri sendiri dan menjalani kehidupan orang lain. Lalu bagaimanakah seharusnya?
Lakukan penerimaan diri. Inilah diriku, yang tak tergantikan dan apa adanya.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang disampaikan oleh penulis dalam Buku Berani Tidak Disukai ini. Jika ada suatu perjumpaan ketika saya tidak sengaja membeli sebuah buku dari deretan buku-buku yang tak tersentuh, lalu saya beli dengan harga murah karena diskon, namun pada akhirnya mengubah sepenuhnya pandangan batin seseorang itu keesokan harinya. Maka buku inilah jawabannya.
Berani Tidak Disukai membiarkan saya berpikir begitu mendalam tentang segala hal. Menjungkirbalikkan kearifan yang selama ini saya terima meski dengan hati yang belum lega. Suatu revolusi Copernicus yang menyangkal eksistensi trauma dan mengubah pandangan Carl Jung yang terkenal itu menjadi pandangan Adler yang banyak musuhnya.
Berani Tidak Disukai mengambil inspirasi dari wawasan-wawasan filosofis untuk memproklamasikan bahwa “semua persoalan adalah tentang hubungan interpersonal”, “manusia bisa berubah dan menjadi bahagia sejak saat ini dan seterusnya” dan “masalahnya bukan kemampuan, tapi keberanian” benar-benar mengubah pandangan saya yang agak bingung tentang dunia ini.
Berani Tidak Disukai, oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga
First Published in Japan as KIRAWARERU YUKI
Penerbit GPU, Cetakan keenam, September 2020, 323 halaman
4.5/5
Menurut mba ji, tidak ada trauma tuh kaya orang-orang hijrah yg benar2 memulai hidup dengan pemikiran baru. Samakah atau gimana?
Saya seolah tertampar ketika membaca kalimat ini “Karena Kita Hidup Tidak Untuk Menyenangkan Orang Lain”.
Selama bertahun-tahun, saya kadang stress memikirkan pandangan orang lain terhadap saya. Terutama mereka para pembenci.
Padahal, saya merasa sudah melakukan yang terbaik. Baik dalam pergaulan di lingkup tempat kerja maupun tempat lain.
Terimakasih telah menyadarkan saya mbak..
Salam sobat bloger..
Saya juga baru habis membaca buku ini, ada banyak hal baru yang saya dapatkan dan betul -betul membuka wawasan saya. Satu hal yang menarik dari buku ini adalah hampir mirip seperti versi filsafat STOA, jika bapak ingin membandingkannya, saya sarankan membaca buku filosofi teras karya henry manampiring. Misalnya dikotomi mengatakan ada hal yang bisa diubah dan ada hal yang tidak bisa diubah, sehingga kita cukup fokus pada hal yang bisa kita ubah.
Saya juga berharap anda bisa memberikan saran kira2 buku apalagi yang sejenis yang bisa dijadikan referensi. Saya percaya bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Terima kasih atas ringkasannya yang super