Alam semesta punya hukumnya sendiri, bahasanya sendiri, Tisa. Mereka berupa angka-angka yang terhampar dimana-mana. Menunggu kita temukan, notasikan, hubungkan dan kita terapkan. Termasuk urusan-urusan di depan mata kita. Urusan P dan NP ini. Urusan pencarianmu. Urusan reinkarnasi. Urusan siklus semesta dalam kitabmu. Urusan yin dan yang. Urusan kapan diam, kapan bergerak. Untuk mencari itu semua, kita tak bisa diam saja. Seabsolut apapun konstanta dalam hukum alam, ia bisa keliru. Sepintar-pintarnya manusia mereka hanya sanggup menciptakan ilmu pengetahuan untuk memprediksi fenomena yang memang bisa diprediksi. Fenomena yang simetris. Namun, begitu semua berantakan, semua acak, siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Dunia kita makin terjejal entropi. Kita semakin lumpuh. Semua konstanta yang tercipta jadi sia-sia. Prediksi makin tak sangkil. Kita sudah sangat salah. Salah sekali.
(Prima)

Novel ini tidak hanya berbahaya bagi amygdala kita. Bagian otak yang berfungsi untuk mengekspresikan emosi baik positif maupun negatif. Amygdala yang memegang kendali penuh ketika saya mencoba menuntaskan bab demi bab yang ditandai dengan kode heksagram I-Ching dari satu hingga enam puluh empat.

Novel fiksi bergenre science fiction yang sebelumnya pernah saya baca biasanya akan mudah dipahami setelah kita sampai pada bagian akhir cerita. Namun pada Buku Panduan Matematika Terapan ini bahkan neokorteks dalam otak saya yang bertugas untuk menangkap stimulus dengan nalar yang tepat ini tampaknya sudah terganggu terlebih dahulu bahkan sebelum mencapai akhir cerita.

Saya membayangkan kertas-kertas penuh pesan berisikan angka dan teori Matematika berlarian menuju memori terdalam. Logaritma masa SMA, probabilitas masa SMP, hingga pada hukum kekekalan energi milik Einstein. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa didapatkan di sana. Siapa tahu ada yang bisa saya mengerti atas keabsurdan cerita Mantisa dan Prima.

Membaca buku ini juga seperti dejavu. Pernah membaca novel berteman serupa yang berjudul Phi. Kemiripan pada kefanaan kita sebagai makhluk, pikiran manusia yang terbatas, juga pada teori-teori tentang dimensi waktu.
Hanya saja Phi memang lebih mendominasi pada pengejaran sebuah cinta. Sedangkan novel ini menurut saya hendak menyampaikan bahwa sekuat apapun manusia berusaha, hingga ia bisa menghentikan waktu sekalipun, takdir yang dibuat oleh Tuhan untuknya tetaplah sama. Hanya saja cara kita sampai pada sebuah tujuan hidup itulah yang berbeda-beda. Proses yang membaikkan atau justru merusak.
Namun tentu saja keputusan akhir tetap berada pada kekuasaanNya. Baik maupun buruk.

Lompatan-lompatan waktu yang dibuat oleh Triskaidekaman awalnya dapat dimengerti. Namun begitu Mantisa menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Prima? Saya dibuat bingung olehnya. Membuka kembali pengetahuan-pengetahuan lama tentang resiprokal dan peluang.

Triskaidekaman juga membawa isu sosial tentang seorang anak dengan masing-masing ke istimewaannya meskipun banyak orang menyebutnya dengan keterbatasan. Seorang tuna rungu yang dibully teman, yatim piatu yang dipandang sebelah mata, dan juga ketidak adilan seorang pimpinan dalam memanusiakan manusia.

Ngilu ketika membayangkan anak-anak disabilitas di luar sana diperlakukan seenaknya, dibully atau bahkan hingga dipukuli. Sebenarnya mereka punya kekuatan. Kekuatan untuk melawan, hanya saja kadang mereka lebih manusiawi dibanding kita yang seringkali disebut sebagai manusia yang paripurna.

Satu kalimat yang indah dari Tarsa untuk Mantisa untuk kita semua :

Pengetahuan adalah kekuatan. Menimbun pengetahuan adalah membangun kekuatan yang sangat besar. (Tarsa dalam Buku Panduan Matematika Terapan, hal. 106)

( Bersambung)

Buku Panduan Matematika Terapan

Author : Triskaidekaman

Penerbit Gramedia Pustaka, 348 halaman

4/5

Sambungan bisa dibaca di :ย Mantisa dan Asal-Usul Semesta (End)