Kenapa saya minder? Kenapa saya tidak bisa tampil percaya diri seperti seorang teman yang selalu mendapat sambutan hangat ketika ia berbicara di depan? Kenapa saya tidak setinggi dia? Kenapa saya tidak punya badan sebagus dia? Kenapa saya minder ya melihat seorang teman yang prestasinya melejit?

Perasaan seperti di atas kerap kali muncul dalam diri seseorang ketika ia mulai membandingkan dirinya dengan orang lain. Betul tidak?

Begitupun saya. Kenapa saya minder?

Sering juga merasakan seperti itu karena mulai membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Tentu minder bukanlah perasaan yang harus dipupuk dengan baik. Ia justru harus berada di tempat yang seharusnya agar jiwa kita tetap sehat. Beberapa waktu lalu saya membaca soal perasaan inferior. Bahwa bermulanya perasaan inferior ini adalah dari hubungan interpersonal.

kenapa saya minder

Perasaan Minder dan Hubungan Interpersonal

Seorang filsuf pernah berbicara bahwa segala persoalan itu bermula dari hubungan interpersonal. Gampangnya, jika tidak ingin merasa minder maka jangan pernah punya hubungan interpersonal. Terdengar tidak masuk akal memang, namun penjelasan filsuf tersebut terdengar logis juga lho.

Konsep hubungan interpersonal ini bersumber dari teori psikologi Adler.

Kalau semua hubungan interpersonal menghilang dari dunia ini, dengan kata lain kalau manusia hidup sendiri di alam semesta dan tidak ada orang lain, segala macam persoalan itu akan hilang.

Well, teman bloger boleh tidak setuju dengan pendapat filsuf tersebut. Bahwa mungkin pernyataan tersebut hanyalah teori akademis yang menyesatkan. Karena tentu saja kita tidak bisa tidak memiliki hubungan interpersonal. Bahwa eksistensi manusia, dalam esensinya yang paling mendasar, mengasumsikan keberadaan manusia lainnya. Hidup terpisah sepenuhnya dari orang lain, pada prinsipnya, mustahil.

Namun kita perlu tahu bahwa kekhawatiran yang kita rasakan itu selalu ada bayang-bayang orang lain di baliknya.

Perasaan Inferior adalah Asumsi yang Subyektif

Kenapa saya minder ketika melihat sesuatu di surat kabar tentang seseorang yang seumuran dengan saya hidupnya sedemikian sukses? Lalu saat itu pula saya dikuasai oleh perasaan inferior. Kalau orang lain yang sudah hidup dalam waktu yang sama dengan saya saja bisa begitu sukses, apa yang sudah saya lakukan selama ini dengan diri sendiri?

Atau, ketika kita melihat seorang teman yang tampak bahagia, sebelum bisa merasa ikut senang karenanya, mungkin kita dipenuhi rasa iri dan frustasi. Tentu saja wajah yang penuh jerawat, berminyak atau bopeng dimana-mana mungkin, tidak banyak membantu. Saat itu pula kita memiliki rasa inferior yang kuat saat berurusan dengan pendidikan dan pekerjaan. Belum lagi soal penghasilan dan kedudukan sosial. Saat itu pula kita dipenuhi oleh rasa rendah diri.

Dalam teori psikologi Adler, perasaan tersebut disebut sebagai perasaan inferior. Adler dalam bahasa Jerman, kata yang dimaksud adalah Minderwertigkeitsgefuhl yang artinya perasaan (gefuhl) memiliki lebih sedikit (minder) harga (Wert). Jadi, “perasaan inferior” ini berkaitan dengan ukuran nilai seseorang terhadap dirinya. Perasaan bahwa seseorang tidak berharga, atau bahwa nilai dirinya hanya sebatas itu.

Misalnya saja ketika saya merasa bahwa tinggi badan saya sangat pendek diantara teman saya yang lainnya. Namun ada seorang teman yang mengatakan, “Memangnya apa yang akan kamu lakukan kalau badanmu bertambah tinggi? Kamu tahu, kamu punya bakat untuk membuat orang rileks”. Memang, wanita berbadan tinggi lebih enak dilihat dibanding yang pendek (menurut beberapa orang) namun dengan wanita bertubuh pendek, banyak hal yang bisa kita lakukan kok. Misalnya saja selalu diberi prioritas ketika berada di tempat umum karena masih dianggap anak kecil, hehe..

Jadi, saat itu saya dibuat sadar bahwa memiliki tubuh pendek adalah hal yang menguntungkan, baik bagi saya maupun mereka yang ada di sekeliling. Di sinilah kemudian terjadi transformasi nilai dan saya tidak lagi mencemaskan soal tinggi badan.

Jadi persoalannya adalah bagaimana kita memaknai tinggi badan, nilai apa yang kita berikan untuknya.

Adler berpendapat bahwa semua perasaan tentang tinggi badan itu hanya perasaan minder yang bersifat subyektif, yang timbul semata-mata karena kita membandingkan diri dengan orang lain. Yang artinya, timbul dalam hubungan interpersonal kita. Sebab kalau tidak ada orang lain yang bisa kita bandingkan dengan diri sendiri, maka kita tidak akan pernah berpikir bahwa dengan tinggi badan itu saya disebut pendek.

Hal ini berlaku pada banyak persoalan yang selama ini kita rasakan hingga memunculkan perasaan minder. Kenapa saya minder? Pahamilah bahwa apa yang kita rasakan sekarang bukanlah perasaan inferior yang bersifat obyektif, tapi perasaan inferior yang bersifat subyektif. Meskipun dengan masalah tinggi badan, semua itu dapat disimpulkan pada subyektifitasnya. Dengan kata lain,

Perasaan inferior yang kita alami adalah penafsiran subyektif ketimbang fakta yang obyektif

Adler juga berpendapat bahwa kita tidak bisa mengubah fakta obyektif memang, tapi penafsiran subyektif bisa diubah sesering yang kita inginkan, dan kita ini menghuni alam subjektifitas.

Minder dan Minderwertigkeitsgefuhl

merasa minder

Perasaan inferior adalah istilah yang berkaitan dengan ukuran nilai seseorang atas dirinya sendiri. Kalau begitu nilai seperti apa itu?

Adler mencontohkan sebagai berikut :

Intan contohnya, yang diperdagangkan dengan nilai yang tinggi. Atau kurs mata uang. Kita menetapkan nilai-nilai tertentu untuk hal ini, dan menyatakan bahwa satu karat adalah sebanyak ini, bahwa harganya adalah sejumlah itu. Tapi kalau sudut pandangmu diubah, sebutir intan itu tak lebih dari secuil kecil batu.

Dengan kata lain, nilai adalah sesuatu yang didasarkan pada satu konteks sosial. Nilai yang diberikan pada selembar uang kertas bukanlah nilai yang disandangkan secara obyektif, sekalipun itu mungkin pendekatan yang masuk akal. Kalau orang mempertimbangkan biaya aktualnya sebagai materi cetak, nilainya sama sekali tidak mendekati sepuluh ribu rupiah.

Seandainya saya adalah satu-satunya orang di dunia ini, dan tidak ada yang lain, saya akan menggunting kecil-kecil uang kertas itu seperti yang saya lakukan ketika masih berusia lima tahun. Mungkin juga saya akan menggunakannya untuk mengusap ingus. Mengikuti logika yang sama persis, seharusnya kita tidak punya alasan untuk mencemaskan tinggi badan, berat badan, bentuk wajah, dan lain-lain. Kita tidak punya alasan untuk merasa minder.

Namun perasaan inferioritas tentu tidak menjadi masalah kok. Tidak ada yang buruk dari perasaan itu sendiri selama kita bisa mengendalikannya. Kita perlu mengaturnya sedemikian rupa dan menjadikannya harapan agar bisa menjadi manusia yang lebih baik. Balita belajar berdiri seimbang dengan kedua kaki, ia memiliki hasrat universal untuk mempelajari bahasa dan untuk meningkatkan diri. Begitupun dengan kita. Tidak ada kemajuan sains di sepanjang sejarah manusia kalau tidak ada orang yang merasa minder. Kalau tidak ada orang yang merasa inferior lalu berupaya untuk meraih superioritas.

Adler mengatakan bahwa upaya meraih superioritas dan perasaan inferior atau kenapa saya minder? bukanlah penyakit. Namun itu semua memacu kerja keras dan pertumbuhan yang normal dan sehat, jika digunakan dengan cara yang baik. Jadi kenapa saya minder? Itu semua ada dalam pikiran dan hubungan interpersonal kita sendiri, tinggal bagaimana kita menggunakannya dengan baik atau tidak.