Siapapun Bisa Depresi

Akhir-akhir ini banyak kita jumpai kabar tentang artis-artis yang melakukan bunuh diri. Khususnya di luar negeri. Belum lama kita kehilangan Chester Bennington, vokalis sebuah band terkenal sejak tahun 90-an, dulu Chester termasuk artis yang saya idolakan. Lalu kita dikejutkan lagi dengan kabar bunuh dari artis asal Korea Selatan, JongHyun. Ia adalah salah satu anggota idol grup besar di Korea Selatan yang bunuh diri dengan cara menghirup monoksida dari briket batu bara yang dipanggang di apartemennya.

Mungkin kita masih saja bertanya-tanya, bukankah selama ini mereka baik-baik saja? Apalagi dengan kesuksesan yang sudah diraih dan karirnya yang mapan. Bagaimana bisa bunuh diri menghinggapi pikiran-pikiran mereka? Bukankah perempuan lebih rentan depresi dibanding laki-laki? Tapi kenapa yang lebih banyak bunuh diri adalah laki-laki dibanding perempuan? Kita akan bahas nanti ya persoalan gender ini. Sebelumnya kita bahas terlebih dahulu bahwa depresi ini bisa menyerang siapapun. Bahkan pada usia anak-anak.

Regis Machdiy dalam bukunya Loving The Wounded Soul mengatakan bahwa kita tidak akan benar-benar tahu motif seseorang bunuh diri. Chester, Jonghyun, Avicii, Anthony, Kate Spade, dan seterusnya, kita tidak bisa membayangkan penderitaan yang mereka miliki. Kita bisa menganggap mereka representasi dari sejumlah manusia.

Faktanya menurut Badan Kesehatan Dunia, terdapat 800.000 kematian akibat bunuh diri setiap tahunnya di seluruh dunia. Artinya, ada satu kematian setiap 40 detik dengan cara bunuh diri. (World Health Organization, 2018). Tidak berhenti di situ, karena setiap orang bunuh diri, ada dua puluh orang yang juga memikirkan bunuh diri. Hal ini terkait dengan duka mendalam dan duka orang-orang yang ditinggal.

depresi dan bunuh diri

Depresi dan keinginan bunuh diri bisa dialami siapa saja. Faktanya menurut WHO, depresi akan menjadi gangguan fisik dan kematian dini hingga 2030 nanti. Satu dari empat orang akan mengalami gangguan jiwa setidaknya sekali seumur hidupnya. Bisa saja, orang-orang di sekitar kita memiliki depresi dalam diamnya. Bisa saja, orang-orang di sekitar kita memikirkan cara bunuh diri di balik senyum cerianya.

Perempuan Lebih Rentan Depresi, tapi Mengapa Pria yang Bunuh Diri?

“Masa anak laki-laki cengeng?”

Bagi laki-laki, kalimat tersebut tentu sudah sangat sering didengar. Bahkan sejak mereka kecil. Kalimat tersebut menjadi gambaran bahwa sejak kecil, banyak anak laki-laki yang dididik untuk menghindari emosi. Mereka terbiasa dididik untuk membenci emosi. Emosi dilihat sebagai sesuatu yang memalukan dan menunjukkan kelemahan. Emosi hanya boleh dilakukan oleh perempuan.

Nah, sering kan mendengar hal seperti ini? Atau bahkan mungkin secara tidak sadar kita pun pernah mengucapkannya pada keponakan, saudara, tetangga, atau bahkan anak lelaki kita. Sehingga secara tidak sengaja kalimat tersebut menjadi jebakan maskulinitas di masyarakat kita. Akibatnya, laki-laki masih terkena stigma negatif bila ingin menangis atau sekedar bicara dari hati ke hati.

Kalau sudah membaca artikel ini, yuk kita ubah! Orang ingin hidup bebas dari kepalsuan dengan mengedepankan authenticity dan vulnerability (keaslian dan kerapuhan). Karena laki-laki juga manusia biasa, hehehe..

Apakah laki-laki tidak bisa depresi?

depresi dan bunuh diri pada laki-laki

unsplash.com/@ayahya09

Secara statistik, perempuan memang lebih rentan mengalami depresi (menurut Albert, P.R dalam Why is depression more prevaent in women? -Journal of psychiatry and neuroscience, 2015). Namun, penelitian selama 50 tahun (disebutkan dalam buku Loving The Wounded Soul) membuktikan bahwa jumlah laki-laki bunuh diri lebih banyak dibandingkan perempuan. Penelitian yang melibatkan sampel dari seluruh dunia tersebut (diwakili oleh 90 negara yang tergabung dalam PBB) menemukan bahwa angka bunuh diri pada laki-laki hampir tiga kali lipat lebih tinggi daripada perempuan.

Penelitian-penelitian tersebut di atas membuktikan bahwa laki-laki biasanya memendam emosi dan enggan mengakui depresi yang ia alami. Mereka akhirnya jarang meminta pertolongan seperti sekadar bercerita ke teman dekat atau berkunjung ke profesional (psikolog dan psikiater). Akibatnya, depresi mereka semakin memburuk dan tak tertolong lagi. Jadilah laki-laki termasuk dalam kelompok rentan bunuh diri dan depresi.

Peneliti yang mewawancarai orang dengan depresi sering kali menunjukkan subjek laki-laki tidak mampu menceritakan suasana hati mereka. Kata-kata yang mereka gunakan biasanya untuk mengekspresikan rasa nyeri di badan seperti :

“dada saya nyeri”

“tulang punggung bawah saya selalu nyeri”

Kadang juga lebih agresif seperti : “rasanya ingin memukul orang itu.”

“loncat dari gedung sepertinya menyenangkan.”

Sedangkan perempuan lebih mudah unuk mengekspresikan perasaan seperti

“saya malu”

“saya merasa bersalah”

“saya sedih dan kecewa”

Sementara laki-laki membutuhkan sesi konseling berkali-kali agar bisa membahasakan perasaan mereka yang sebenarnya. Padahal, pengekspresian perasaan yang tepat dapat mempermudah lawan bicara atau psikoterapi membantu kita.

Laki-laki yang mengalami depresi lebih mudah untuk mengalihkan dirinya ke penggunaan rokok, alkohol dan obat-obatan. Sebagai dampaknya, tubuh dan pikiran mereka juga terpengaruh oleh zat-zat yang terkandung di dalamnya. Jika dibiarkan, pengalihan ini bisa menjadi adiksi yang akhirnya akan memengaruhi depresi mereka. Hal-hal seperti inilah yang membuat depresi pada laki-laki tidak terdeteksi hingga tak tertolong.

Perempuan dan Depresi

perempuan depresi dan bunuh diri

Secara global, perempuan memang lebih rentan terhadap berbagai turbulensi emosi karena memiliki fluktuasi hormon lebih tinggi dibanding laki-laki. Disebutkan oleh Regis Machdy dalam Loving The Wounded Soul bahwa perempuan juga sering memikirkan sesuatu berulang-ulang.

Pada keseluruhan waktu perempuan, sejak pubertas hingga lansia diiringi dengan perubahan hormon di tubuhnya. Perubahan hormon ini membuat mereka lebih rentan terhadap hal-hal yang bersifat emosional. Apalagi ketika mengalami PMS (premenstrual syndrome) yang kerap kali dialami perempuan dengan gangguan di beberapa bagian tubuh seperti keram perut, sakit tulang belakang, sakit kepala hingga pencernaan.

Begitu juga saat perempuan hamil dan melahirkan. Sebuah studi metaanalisis atas 59 penelitian menemukan bahwa depresi pasca kehamilan atau post partum depression dialami oleh 13% perempuan di seluruh dunia. Terakhir, pada masa tua kehidupannya, perempuan juga bisa mengalami perubahan hormonal saat dan sesudah menopause. Menopause membuat mereka mengalami gangguan tidur, ganguan kognitif, dan depresi. Oleh karena itu perubahan hormonal dari waktu ke waktu inilah yang membuat perempuan lebih mudah terkena depresi dibandingkan laki-laki.

Tuntutan untuk Sempurna

Yang lebih menarik lagi, perempuan juga menerima banyak sekali tuntutan dalam hidupnya. Terlihat menarik, pintar, dan mampu merawat diri, bisa memasak, kulit yang bersinar, serta selalu langsing adalah hal-hal yang mengkategorikan perempuan menjadi sempurna.

Media dan industri kapitalis turut berperan dalam kondisi ini. Apalagi banyak produk kecantikan di iklan dan toko membuat perempuan terbuai dengan citra ideal seperti kurus, tinggi, langsing, kulit putih, bebas jerawat, dan tidak bernoda sedikit pun. Kadang membuat perempuan merasa kurang dan tidak pernah cukup. Rasa rendah diri seperti ini, jika dibiarkan, dapat  menjadi perasaan tidak berharga dan merasa lebih rendah daripada orang lain yang akan membawanya pada berbagai gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, anoreksia hingga bulimia.

Jadi, yuk lebih jujur pada diri sendiri. Ungkapkan emosi negatif yang ingin kita utarakan. Jangan biarkan depresi terlebih bunuh diri menguasai jiwa kita. Apalagi kita selalu punya harapan, pegangan dan sandaran, yaitu Allah Tuhan yang Maha Menggenggam jiwa kita. Cintai diri sendiri, jangan merasa tidak pernah cukup hanya karena tubuh kita tidak sempurna. Karena pada hakikatnya, manusia memang tidak ada yang sempurna kok. Kalau kata Bunda Asma Nadia, bahagia itu dekat. Ada pada tiap hati yang bersyukur.

Referensi :

Regis Machdy, Loving The Wounded Soul

Albert, P.R dalam Why is depression more prevaent in women? -Journal of psychiatry and neuroscience, 2015

World Health Organization, 2018. Suicide.Diakses dari https://www.who.int/news-room.

World Health Organization, 2012. Depression : A Global Crisis.

Baca juga : Hubungan Kausal Antara Perasaan dan Tubuh