Seringkali kita memandang ekstrovert adalah kepribadian yang punya banyak teman, hubungan sosial yang tinggi dan cenderung selalu merasa puas dengan dirinya. Sehingga kemungkinan untuk depresi bisa jadi sangat kecil. Sebenarnya, itulah yang saya pikirkan sebelum membaca pengetahuan tentang depresi dan hubungannya dengan kepribadian. Apakah asumsi tersebut salah? Pemahaman ini ternyata kurang tepat dan mendalam. Kalau selama ini kita mengasosiasikan bahwa ekstrover dan introver bukanlah orang yang pandai bersosial atau anti sosial.
Menurut Regis Machdy dalam bukunya Loving The Wounded Soul introver dan ekstrover adalah preferensi gaya dan kualitas pertemanan seseorang. Seorang ekstrover biasanya memiliki teman yang sangat banyak, menyukai percakapan basa-basi, dan senang beramah tamah. Sementara seorang intover memilih sedikit teman yang benar-benar nyambung dan satu frekuensi.
Intinya, ekstrover dan introver adalah tentang bagaimana seseorang mengatur energinya dalam pertemanan. Jadi bukan siapa yang pemalu dan yang lebih pandai bergaul ya. Tidak.
Depresi Tak Pandang Bulu
Seperti yang sudah saya tulis pada artikel sebelumnya bahwa depresi itu bisa terjadi pada siapa saja, tanpa pandang bulu! Semua bisa mengalaminya. Perbedaannya ada pada bagaimana cara kita dalam mengalami depresi itu sendiri.
Seorang ekstrover sepertinya harus terus berpura-pura bahagia dan berbohong ketika temannya bertanya, “Kamu di mana?” atau “Nanti ikut kan?”. Sementara itu seorang introver harus bertahan dari dakwahan bahwa ia depresi karena ia kurang berbicara dan bergaul. Keduanya mengalami depresi dengan cara yang berbeda dan keduanya mendapat reaksi yang berbeda pula.
Efek Depresi Bagi Seorang Ekstrover dan Introver
Masih menurut Regis Machdy bahwa seorang ekstrover dengan depresi, biasanya mereka akan menyadari bahwa menjadi social buterfly-seseorang yang sangat dinamis secara sosial, bisa menyapa semua orang, dan mudah berteman dengan siapa saja bukanlah standar kesuksesan. Apalagi ketika semakin dewasa, orang ekstrover akan memahami bahwa kita tidak bisa terus menerus menggenggam erat semua pertemanan. Lingkaran pertemanan semakin melebar tetapi tidak semua orang bisa diajak berdiskusi maupun membicarakan hal-hal personal.
Sedangkan orang introver yang sudah terbiasa memikirkan sesuatu secara mendalam dan analitis, ketika mengalami depresi ia akan belajar untuk lebih mencintai dirinya sendiri. Seringkali introver menjadi depresi karena mereka dipaksa menjadi orang yang lebih aktif bersosial, terbuka, dan lebih outgoing layaknya rekan-rekan ekstrover mereka.
Menurut Janowsky dan Morter dalam Journal of Psychiatric (2002) orang introver memang lebih rentan terhadap depresi dibandingkan orang ekstrover. Bukan karena mereka kurang memiliki banyak teman atau bergaul, tapi banyak orang menganggap mereka tidak asyik. Bahkan tidak jarang sering dianggap aneh. Sehingga rasa percaya diri mereka rendah. Itulah yang membuat mereka lebih rentan terhadap depresi.
Apabila orangtua bisa mengenali anaknya seorang introver dan tidak memaksanya untuk berperilaku selayaknya ekstrover, anak itu dapat tumbuh menjadi introver yang sangat percaya diri dan memiliki lingkaran pertemanan yang sehat.
Sebagai contoh, ketika seorang anak tidak mau bergabung dengan anak-anak lain sebaiknya orang tua tidak mengatakan, “Oh dia memang anak pemalu.” kepada orang-orang di sekitarnya. Kata-kata tersebut adalah label yang akan diyakini sang anak seumur hidupnya. Sebaliknya, orangtua dari anak introver dapat berkata,
“nggak apa-apa kalau kamu belum mau bermain, tapi setidaknya berikan senyuman dan sapa mereka ya.”
Dengan begitu anak-anak tidak akan berfokus pada kemampuan sosialnya yang dianggap kurang dan energi mereka bisa lebih dipusatkan untuk mencintai dan mengembangkan bakat mereka. Lagipula seperti yang dikatakan oleh Susan Cain dalam bukunya yang berjudul Quiet : The Power of Introver in a world that cant stop talking bahwa jika seluruh manusia di dunia ini memiliki kepribadian ekstrover, dunia ini akan terlalu bising! Susan Cain berusaha memotivasi introver agar tetap bijaksana, suka berpikir dan suka menganalisis.
Jadilah diri sendiri dan jangan lupa untuk selalu bersyukur. Karena bahagia itu kita yang tentukan (saya lupa ini lirik lagu siapa).
Extroverts sparkle, Introverts glow. Extroverts are fireworks and Introverts are a fire in the hearts. – Sophia Dembling-
Referensi :
Janowsky, D.S. (2001) Introversion and extroversion : implications for depression and suicidality.
Herzog D on Extroverted Mom, Introverted Kid. www.parenting.com
[…] Baca Selengkapnya […]
Ilmu nih buat anak nantinya, Abinya Esktrover, Ummahnya Introver. Tulisan ini juga ngasih tau aku kalau eks maupun in sebenernya bukan tentang pemalu dan pandai bergaul. Thanks Mbak Jii
Sama-sama mas broo. Alhamdulillah bermanfaat
[…] Yuk baca juga : Kepribadian : Ekstrover Juga Bisa Depresi […]
Inti dari post ini, berarti adalah “Apalagi ketika semakin dewasa, orang ekstrover akan memahami bahwa kita tidak bisa terus menerus menggenggam erat semua pertemanan. Lingkaran pertemanan semakin melebar tetapi tidak semua orang bisa diajak berdiskusi maupun membicarakan hal-hal personal.”, ya kak. Thanks banget sudah menyimpulkan. Hehehe..
Namanya depresi pasti semua orang bisa mengalaminya, baik introvert maupun ekstrovert. Saya pribadi seorang introvert. Dan emang bener, saya lebih sering depresi karena disuruh lebih aktif. Padahal saya nggak suka. Hadeh… Apalagi kalau dikira sombong. Sebel jadinya…. Saya ya saya, dia ya dia, jangan nyuruh saya kayak dia…
Eh, kok malah jadi kayak marah-marah😁
Maaf mbak, terbawa suasana tulisan nih🙏😁
Waah aku introver merasakan hal yg sama yaitu depresi waktu harus kerja sebagai marketing yang luwes. Dan sekarang anakku pun yang usianya 5 tahun, tampak introver juga. Terus aku bilang dia pemalu 😥. makasih jadi sadar aku mba itu termasuk labeling anak 😓. Buru2 peluk anak..
[…] Jihan Mawaddah : Kepribadian : Ekstrover Juga Bisa Depresi […]