Toxic Relationship kembali muncul ke permukaan setelah viralnya video Lathi hingga ke seluruh dunia. Fenomena ini memang banyak sekali terjadi di sekitar kita, atau bahkan terjadi pada diri kita sendiri tanpa disadari.

Sebagian orang hidup bersama dengan orang-orang dan lingkungan yang meracuni dan mereka sadar akan hal itu. Sebagian lagi, bahkan tidak menyadarinya dan menganggap sebagai hal yang biasa saja. Padahal, kesehatan mentalnya terganggu akan hal tersebut. Lingkungan yang penuh dengan amarah, kata-kata kasar, ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, dan ucapan yang merendahkan serta kering dari apresiasi, cinta dan kehangatan adalah atmosfer yang memicu tumbuhnya depresi pada seseorang. Jadi, jangan anggap remeh hal ini ya.

Potensi Toxic Relationship

toxic relationship

Potensi paling besar yang menyediakan lingkungan seperti yang sudah disebutkan di atas adalah orang-orang terdekat kita. Orang tua, teman sekolah, guru, dan seterusnya. Mereka ini di satu sisi bisa menjadi sosok yang mengajarkan kita cinta dan persahabatan. Namun di sisi lain, mereka juga berpotensi mengajarkan kebencian dan ketakutan pada kita. Orang-orang inilah yang kita sebut sebagai toxic (racun) bagi kesehatan mental kita.

Fenomena suara dalam rekaman kepala kita mendukung pernyataan di atas. Dorothy Rowe seorang psikiater dan penulis buku Depression and The Way Out of Your Prison menjelaskan bahwa orang-orang yang pikirannya depresif seringkali memiliki penjara dalam pikirannya masing-masing. Penjara ini berupa kalimat-kalimat yang dimauskkan oleh orangtua kepada anak-anaknya.

Seperti kalimat yang seringkali terekam dan diputar ulang di kepala kita, “Jangan sentuh itu..”, “Jangan lakukan itu..”

Banyak faktor mengapa orangtua bisa menjadi demikian. Saya sendiri mencoba menelaah permasalahan ketika menjadi orangtua. Mengapa seringkali saya masih belum bisa mengontrol emosi ketika anak melakukan kesalahan di mata orang dewasa? Mengapa seringkali saya tidak bisa berkomunikasi dengan baik?

Menurut Regis Machdy, seorang ahli kesehatan mental dan dosen di sebuah Universitas Surabaya mengatakan bahwa tidak sedikit orangtua yang sebenarnya belum siap menjadi figur ayah atau ibu. Bahkan belum mampu menyelesaikan emosinya sendiri ketika anak telah lahir. Masih ada beberapa orang yang memutuskan menikah atau memiliki anak karena berpandangan bahwa usianya “sudah cukup” tetapi mengabaikan kesiapan dirinya sendiri.

Anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak sehat (penuh amarah, kata-kata kasar, penolakan, hingga ketidakpedulian orangtua pada keinginan anak sebagai individu yang dapat berpikir secara mandiri) ini seringkali menjadi anak yang bermasalah. (Wolynn Mark, It didnt start with you, 2017). Sayangnya, beberapa orangtua malah melabeli anaknya sebagai anak durhaka, tidak bisa diatur dan banyak mau. Tanpa meninjau kembali akar permasalahan yang menyebabkan perilaku tersebut.

Beberapa generasi muda saat ini memutuskan untuk menunda kehamilan hingga mereka merasa pulih dari luka batin yang diwariskan oleh orangtuanya. Toxic relationship seperti inilah yang seringkali terjadi dan tidak kita sadari. Hingga banyak orang yang khawatir akan mewariskan mental illness mereka kepada anak atau menjadi orangtua yang sama buruknya (atau bahkan lebih buruk lagi).

Kita bisa juga melihat jumlah anak yang dibuang oleh orangtuanya sendiri di Departemen Sosial. Bagaimana mereka menjalani hari-hari karena ulah orangtua yang tidak bertanggungjawab.

Toxic Relationship dalam Keluarga

Ada orangtua yang memperlakukan anak mereka dengan kekerasan baik secara verbal maupun fisik. Ada pula orangtua yang sebenarnya sangat mengasihi anak-anaknya namun tidak tahu cara mengeskpresikannya. Mereka memiliki masalah emosi yang tidak pernah diselesaikan sejak mereka masih remaja. Akibatnya, tanpa disadari mereka melampiaskan kekhawatiran dan kecemasan mereka akan kehidupan secara berlebihan kepada anak-anaknya.

Akibat dari konsepsi yang menancap kuat di kepala kita, anak-anak yang tersiksa dalam keluarga malah marah pada dirinya sendiri karena ngotot menahan emosi kepada orangtuanya. Konsep yang salah tentang diri sendiri terus tertanam hingga mereka dewasa. Segala ekspresi marah yang dialihkan ke dalam diri sendiri menjadi sangat destruktif alias merusak jiwa mereka. Oleh sebab itu, setiap anak wajib menyadari bahwa ras amarah dalam batin yang mereka miliki sangatlah wajar dan bukan sebuah kesalahan.

Banyak anak yang kecewa atas perlakuan orantuanya, tetapi mengatakan bahwa orangtua mereka adalah yang terbaik di dunia. Mereka menipu diri sendiri dan mencoba menutupi perasaannya. Hingga akhirnya, ketika orangtua mereka meninggal, yang tersisa pada mereka hanyalah kekosongan belaka, ketiadaan arah, dan rasa kecewa yang tak pernah dirasakan.

Teman, Atasan, Kekasih, Hingga Guru

Tidak hanya orangtua, kita pun juga bertemu dengan banyak orang dalam kehidupan sehari-hari dalam perannya masing-masing. Teman, atasan kerja, kekasih hingga guru atau dosen kita. Kadang, kita lebih banyak mendapatkan kumpulan perkataan yang menambah rekaman negatif dalam kepala kita. Kadang kita menelan kalimat-kalimat negatif dari mereka secara bulat-bulat tanpa berpikir jernih dan menelaah kebenarannya. Tak jarang kita menjadi sakit hati akibat perkataan dan perbuatan orang-orang terdekat kita, namun segan untuk menyampaikannya. Kadang kita juga berharap ada kata maaf yang terucap dari orang-orang ini, namun sayangnya kata maaf tersebut tidak pernah ada.

Siapkah meninggalkan mereka?

Menyalahkan orang-orang yang “meracuni” jiwa kita ini bukanlah solusi. Tidak akan menyelesaikan masalah, tentu saja. Namun, menarik diri sesaat dari kehidupan mereka dapat membantu kita memahami asal muasal pikiran negatif kita. Seseorang mengalami depresi juga bukan hanya karena lingkungan yang buruk, namun juga ada faktor biologis serta faktor-faktor lain yang lebih luas lagi. Kita harus melihat lebih luas lagi bahwa ada pula orang-orang yang tinggal di lingkungan yang buruk namun ia tidak mengalami gangguan mental atau semacamnya.

Maka yang perlu kita lakukan adalah memutus rantai penyebaran toxic relationship itu sendiri dengan menjadi orang yang membangun komunikasi sehat dengan siapapun. Baik orangtua, teman, saudara, atasan, hingga dosen atau guru. Memberikan suasana kondusif untuk anak-anak kita sehingga tidak ada lagi anak-anak yang perlu menyembuhkan diri dari masa lalu. Kita juga perlu menjaga perilaku dan tutur kata agar tidak ada orang yang harus menyembuhkan dirinya karena kita. Kadang, tanpa disadari, bisa jadi kitalah yang merupakan toxic person. 

 

Baca juga : Membersihkan Sampah Pikiran