Mengikhlaskan masa lalu bagi sebagian orang mungkin menjadi hal yang sulit dan bahkan mustahil untuk dilakukan. Begitupun saya. Mengikhlaskan masa lalu yang menimbulkan “trauma” di masa depan bukan perkara mudah yang bisa dilakukan seorang diri. Setidaknya begitulah yang saya pikirkan hingga menemukan sebuah teori psikologi cetusan Adler. Teman bloger yang banyak membaca perihal teori psikologi kepribadian pasti tidak asing dengan nama tersebut.

Bagaimana bisa kemudian saya berpikir bahwa mengikhlaskan masa lalu kini adalah hal yang tidak rumit? Saya tidak berkata bahwa hal itu mudah, namun sebenarnya cukup sederhana. Seperti halnya berhadapan dengan musuh yang menyulitkan hidup kita, berdamai dengan masa lalu memang perlu keberanian dan pengertian dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana bisa saya berubah pikiran perihal mengikhlaskan masa lalu?

mengikhlaskan masa lalu

Belajar Mengikhlaskan Masa Lalu dari Simpul Gordia

Simpul Gordia ini adalah kisah yang bermula dari legenda Aleksander Agung. Mengapa Aleksander Agung? Berangkat dari sinilah saya mulai memahami dan mencari-cari, benarkah trauma itu ada? Mengapa manusia seringkali tidak bisa mengikhlaskan amarah, kepahitan, serta kesakitan di masa lalu dengan alasan trauma yang dideritanya? Benarkah trauma itu ada?

Aleksander Agung, adalah Raja Mekadonia, yang hidup pada abad ke-empat sebelum Masehi. Ketika bergerak maju menuju kerajaan Persia di Lydia, dia mendengar tentang sebuah kereta perang yang dikeramatkan di dalam akropolis. Kereta perang itu ditambatkan erat-erat pada satu pilar di kuil tersebut oleh Gordia, raja terdahulu, dan ada legenda setempat yang mengatakan,

Dia yang berhasil mengurai simpul pengikat ini akan menjadi penguasa Asia

Banyak orang cakap meyakini bahwa mereka dapat melepaskan simpul yang terikat kencang ini, namun tak seorang pun berhasil melakukannya. Lalu segera setelah melihat betapa kencang simpul pengikat tersebut, Aleksander Agung menghunus pedang dan memotongnya menjadi dua dengan satu kali tebasan.

Lalu konon dia berkata,

Takdir bukanlah sesuatu yang muncul dari legenda, namun diperoleh dengan tebasan pedangnya sendiri

Dia tidak membutuhkan kekuatan dari legenda, namun diperoleh dengan tebasan pedangnya sendiri. Seperti yang kita ketahui, dia lalu menjadi penakluk besar seluruh wilayah yang kini dikenal sebagai Timur Tengah dan Asia Barat. Inilah kisah yang dikenal sebagai simpul Gordia.

Demikian pula simpul rumit dalam hubungan interpersonal kita (entah itu saudara, pasangan, orangtua, atau sahabat yang dulu pernah menyisakan luka dan kini amarahnya masih tetap ada dalam dada). Simpul itu tidak dapat diuraikan dengan metode konvensional, namun harus diputuskan dengan pendekatan yang benar-benar baru.

Sudut Pandang Baru

Kita semua, bisa mengusahakan dengan membangun hubungan interpersonal yang baik dengan cara melepaskan amarah, mengikhlaskan segala hal yang terjadi dengan tidak terus mengungkit-ungkit kesalahan orang lain yang dilakukan terhadap diri kita. Sebagaimana yang diajarkan oleh Islam bahwa mengikhlaskan sesuatu yang kita katakan sebagai takdir buruk akan mendapatkan derajat tertinggi di sisi Allah.

Dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.

Bersabar tentu saja berkaitan erat dengan mengikhlaskan. Dikatakan sabar ketika ia mampu mengikhlaskan segala hal yang terjadi pada dirinya, entah itu baik maupun buruk.

Begitu juga teori Adler menganalogikan hubungan interpersonal yang harus diperbaiki dengan mengikhlaskan segala hal buruk yang terjadi.

Misalnya, ketika membaca sebuah buku, kalau terlalu mendekatkan wajah ke buku, seseorang takkan bisa melihat apapun. Dengan cara yang sama, membentuk hubungan interpersonal yang baik memerlukan jarak pada tingkat tertentu. Di saat jaraknya menjadi terlalu dekat dan orang-orang melekat menjadi satu, berbicara pada satu sama lain pun akan menjadi mustahil. Tapi jarak itu juga tidak boleh terlalu jauh. Orang tua yang terlalu banyak menghardik anak akan menjadi sangat berjarak secara mental.

Saat itu terjadi, anak tidak lagi dapat berkonsultasi dengan orangtua, dan orangtua tidak bisa lagi memberikan bantuan dengan semestinya. Seseorang harus siap memberikan pertolongan saat dibutuhkan, tapi tidak melanggar teritori orang lain. Penting untuk mempertahankan jarak yang cukup untuk ini.

Bahkan untuk hubungan anak dan orangtua pun, jarak ini juga dibutuhkan. Kita terbiasa dengan aturan bahwa : “ketika orang berbuat baik pada kita, maka semestinya kita juga memberinya imbalan, apapun itu.

Aku sudah memberi sebanyak ini, jadi kau juga harus memberi sebanyak ini pula padaku

Begitulah ketika imbalan menjadi basis dari suatu hubungan interpersonal. Begitu pula dengan ajaran Islam bahwa setiap kebaikan hendaknya diniatkan untuk Allah, dimana kita tidak akan berharap imbalan pada manusia kan. Karena kita memang semestinya tidak boleh meminta imbalan, bahkan kepada anak sekalipun. Tidak boleh pula terikat dengan hal itu.

Oleh karena itu teori psikologi Adler inilah yang mengubah pandangan saya. Ada aspek-aspek yang menjadi antitesis dari norma-norma sosial yang umum memang. Karena teori ini mengingkari suatu hal yang disebut trauma. Jadi apakah saya tidak percaya trauma? Lets see, baca kelanjutan dari tulisan saya ini pada buku antologi yang akan terbit bersama ODOP ya, hehe..

Saya akan menuliskan bagaimana kita bisa melepaskan trauma dari kehidupan yang membelenggu. Bagaimana cara kita mengikhlaskan sesuatu yang selama ini membayangi setiap gerak langkah kita. Melepaskannya dan keluar sebagai pemenang dan individu yang bebas 🙂

Referensi : 
Berani Tidak Disukai oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga