“Apakah kalau aku mengorbankan sayapku, Burbur dapat hidup kembali?”
Pembawa Kabar menggeleng tegas, “Dalam syarat reinkarnasi, burung yang telah dihidupkan kembali akan kehilangan seluruh daya magis sayapnya dan hanya menjadi burung yang bisa terbang dan bercicit.”
Rindang mendesah, lalu pergi ke langit dengan membawa mayat Burbur. Pembawa Kabar mengikutinya dengan kepakan sayap lemas. Ia berkali-kali mengingatkan kepada dirinya sendiri kalau kehilangan sahabat adalah hal yang tidak mengapa, tapi, berkali-kali ia mencoba melupakan, berkali-kali juga ia tak mampu.
Mereka berdua akan mencoba kembali membangun apa yang masih sanggup dibangun dan mempertahankan apa yang masih bisa dipertahankan. Bersama dengan kawanan burung-burung lain yang masih tersisa. Mungkin jumlahnya hanya tinggal satuan, mereka berdua akan terus menerus menjaga mimpi pendahulu mereka, dimana bangsa burung dengan bebas bernyanyi pagi dan sore hari.
Lalu diantara pagi dan sore hari, mereka akan bebas beterbangan di langit biru.
Pada tahun 2683, hutan terakhir di Kalimantan habis dibabat. Dan hal ini sudah mencapai batas kesabaranku.
(dari buku Cerita Bumi Tahun 2683 oleh Aesna)
Penggalan cerita di atas memang hanya cerita fiksi satir yang mengingatkan kita akan kondisi hutan di Indonesia. Jika saat ini adalah tahun 2024, maka enam ratus tahun lagi bukan tidak mungkin semua spesies burung yang menjadi kebanggaan Indonesia punah tak bersisa. Tentu saja bukan hanya burung, tapi juga semua spesies penghuni hutan.
Melanjutkan Harapan Burung Burbur #Membirukan Indonesia
Indonesia mengalami deforestasi yang paling banyak dibanding negara Asia lainnya akhir-akhir ini. Nyatanya deforestasi dan hilangnya banyak spesies burung bukanlah dongeng belaka. Bahkan tidak hanya burung, tapi juga satwa langka lain juga terancam punah.
Makhluk lain seperti burung cenderawasih, Albatros, gajah, harimau, dan banyak lagi spesies lain di dalam hutan petak sudah mulai ditinggalkan. Semakin dihinakan. Burung-burung yang sedang dibicarakan itu, jumlahnya tidak lebih dari lima ratus ekor. Kini tidak lebih ketakutan pada kehidupan yang serba canggih. Mereka mengeluh,
“Kami akan mati!”
“Kami akan punah!”
Mata mereka sudah jadi bengis dan sayap mereka semakin buluk karena sudah lama tidak mandi air hujan. Tanah hijau berubah menjadi coklat dan gersang dibakar apa saja yang semena-mena. Lalu di atasnya, peradaban yang baru tengah dimulai.
Namun melihat bagaimana Yulia Ratnasari dengan gagasan Karbon Biru-nya yang gemilang, saya percaya bahwa kita masih punya kesempatan untuk menyelamatkan bumi. Perkara menyelamatkan bumi tentu kita tidak menginginkan hanya sekadar selebrasi, tapi juga perkara keselamatan makhluk hidup lainnya.
Sebagaimana yang digaungkan oleh Karbon Biru;
Join our movement by adopting a mangrove tree today on our silvofishery. Together we are #BirukanBumi.
Yulia Ratnasari, Inisiator Pasukan Biru
Yulia Ratnasari, seorang perempuan yang lahir dan besar di Surabaya ini adalah inisiator di balik Karbon Biru yang mengesankan dan mendapatkan perhatian dunia di bidang circular economy. Tidak berlebihan, sungguh ketika menyapa Kak Yulia Ratnasari melalui kanal karbonbiru.org, tiba-tiba saya tersenyum lebar. Ada harapan untuk Indonesia, juga untuk dunia.
Awalnya, Yulia yang menyelesaikan Sarjananya di Universitas Surabaya dengan jurusan International Business Networking lalu beliau melanjutkan S2 MBAnya di Taiwan pada tahun 2015. Aktivitas akademisnya tersebut membawanya sebagai seorang profesional financing di UNICEF serta sempat juga mengabdikan diri sebagai management trainee di sebuah perusahaan air mineral.
Dalam perjalanan karirnya, Yulia kemudian tertarik untuk berkontribusi di bidang sustainability serta isu-isu seputar lingkungan lain dan juga social empowerment. Meskipun begitu, Yulia sadar bahwa soal sustainability itu adalah persoalan yang multidimensi, tidak bisa hanya dilihat dari satu disiplin ilmu saja. Karena ia merupakan gabungan dari ilmu sosial dan ilmu teknik.
Maka Yulia pun bertekad untuk memperluas disiplin ilmu yang ia miliki sebelumnya menuju arah ekologi, teknik lingkungan, hingga coding! Meskipun Yulia bisa belajar sendiri, namun tentu saja ia juga membutuhkan adanya kurikulum yang jelas, serta networking dan lingkungan yang mendukungnya.
Seolah semesta merestuinya, Yulia kemudian diterima di sebuah program Erasmus Mundus, di bidang Industrial Ecology/Circular Economy, yang mayoritas universitasnya fokus pada ilmu teknik. Program ini melibatkan empat universitas di tiga negara: Leiden University dan TU Delft di Belanda,University of Graz di Austria; dan terakhir Yulia memilih Tsinghua University di Tiongkok, untuk memahami bagaimana negara manufaktur dan emerging dapat menerapkan sirkular ekonomi.
Apa yang diinginkan Yulia untuk mempelajari sirkular ekonomi telah dikabulkan oleh semesta. Kini ilmu yang didapatkannya diaplikasikan melalui Karbon Biru sebagai wujud nyata dari cita-cita yang Yulia miliki untuk membuat bumi kita lebih baik. Agar langit kembali biru dan menjadi obyek yang tidak hanya indah ketika kita pandang, tapi juga aman dan nyaman untuk kita huni.
Sebagai informasi, Circular economy adalah disiplin baru yang mengeliminasi konsep sampah. Yulia juga menambahkan bahwa konsepnya memang berbeda dengan linear ekonomi yang hanya “ambil, konsumsi, lalu nyampah”.
Banyak orang di Indonesia familiar dengan tiga R: recyling, reduce, dan reuse, dan terbatas pada plastik. Namun, konsep sirkular ekonomi itu sangat luas dan mencakup sembilan R. Lalu diterapkan pada semua kategori produk, termasuk biomasa, furnitur, air, gas dan semua material di Bumi.
Ini menunjukkan bagaimana circular economy berbeda dari linear economy, di mana produk hanya dikonsumsi dan dibuang. Adapun dalam konsep circular economy, sampah dinilai sebagai ‘resource berharga’, atau input, menutup siklus industri.
Selama masa pendidikannya, Yulia belajar banyak hal teknis di TU Delft dan Leiden, seperti coding dan perhitungan emisi dalam produksi. Sebagai contoh, membandingkan emisi antara botol plastik dan botol kaca dari produksi hingga akhir hayat produk. Selain itu, Yulia juga belajar bagaimana memperhitungkan dampak manusia dan lingkungan lainnya. Semuanya dihitung dalam life cycle assessment (LCA).
Dalam tesisnya, Yulia memutuskan untuk menerapkan metode Economy-wide Material Flow Analysis (Ew-MFA) yang sudah disesuaikan dengan kondisi kearifan lokal dan alam Indonesia. Dalam hal ini kita melihat Indonesia dari sisi material: aliran masuk dari import atau ekstraksi dari alam, tertimbun dan dipakai di masyarakat, dan keluar ke alam atau ke negara lain dalam bentuk produk, sampah, dan emisi.
Ew-MFA menjadi dasar kesiapan Indonesia dalam menerapkan ekonomi sirkular dari sisi mass balance fisika. Pengalaman dan pembelajaran dari research ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk perencanaan dan implementasi ekonomi sirkular di Indonesia.
Berangkat dari pemikirannya inilah Yulia berfokus pada pengurangan emisi gas karbon dioksida di Indonesia dengan membentuk sebuah proyek bernama Karbon Biru.
Apa Itu Karbon Biru?
Bagi teman-teman yang belum tahu nih, Karbon Biru adalah proyek penyerapan karbon mangrove dan lahan basah yang bertujuan untuk mendorong :
- Konservasi Hutan Biru; yakni sebagai penangkapan dan penyimpanan karbon biologis
- Ekonomi Biru; yakni dengan mengolah limbah air payau dari tambak dan mengaktifkan silvofishery sebelum dibuang ke laut.
- Satwa Liar dan Keanekaragaman Fungsi kawasan Mangrove di sekitarnya.
- Perlindungan Masyarakat Biru; yakni dengan mengadvokasi ekosistem pesisir sebagai perlindungan pesisir yang lebih baik, lebih mudah, dan terjangkau. Karbon Biru berfokus pada pertumbuhan biru dan ketahanan lokal.
Aksi Nyata Karbon Biru, Lambungkan Harapan Burbur dengan Membuat “Pagar Alam”
26 Juli 2022 adalah hari di mana Karbon Biru memulai aksi mereka untuk membuat “pagar alam”. Rombongan anak muda dengan dress code warna biru menanam 1000 pohon bakau pada Hari Konservasi Ekosistem Mangrove Internasional di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Merangkul masyarakat setempat dan juga crowdfunding hingga relawan perkotaan yang rela mengambil cuti kerja, semuanya mau bersusah payah mandi di kolam air asin. Kata Yulia,
“Kami tidak hanya menanam pohon, tapi kami membangun hutan.”
Ada sensasi yang muncul di perut saya ketika melihat dokumentasi mereka kala itu. Karbon Biru berhasil meyakinkan masyarakat setempat, crowd funding, dan juga tim relawan untuk bersama-sama membangun hutan dan membuat pagar alam dari penanaman mangrove.
Mengapa Mangrove?
Indonesia memiliki akses pesisir yang besar sebagai negara maritim. Jika pesisir dibiarkan telanjang, maka akan sangat berbahaya. Dampak negatifnya bisa ke siklus karbon dan tentunya erosi dan juga bencana alam. Yulia menegaskan;
Terpilihnya Mangrove sebagai “pagar alam” ini tidak lain karena ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap karbon. Rata-rata blue trees atau Mangrove mampu menyerap 5-10 kali lipat lebih besar dibanding pohon hijau dan mampu menyimpan karbon ke dalam biomassa dan sekuestrasi ke tanah melalui akarnya yang kuat dan menusuk-nusuk.
Akar dari pohon Mangrove juga dapat meemcah ombak dan menjadi filter udara dengan kadar garam yang tinggi. Sehingga udara di sekitar daratan bisa lebih bersih dan aman.
Yulia melihat peluang mangrove ini adalah peluang besar dan lebih efektif daripada investasi ke gray infrastructure. Apalagi di banyak daerah di Indonesia memiliki potensi yang relevan, lebih murah dan juga menguntungkan untuk menggunakan mangrove sebagai “pagar alam” menopang ekonomi biru.
Terpilihnya nama karbon biru oleh Yulia karena yang terpikirkan adalah agar konsep ini bisa mencakup lebih dari sekadar mangrove. Tapi juga termasuk spesies lain seperti seaweed dan juga seagrass.
Dalam sebuah wawancara bersama Indonesia Mengglobal, Yulia percaya bahwa pesisir, yaitu wilayah pertemuan daratan dengan lautan, telah menjadi sistem yang paling dinamis, multifungsi, dan ekstensif dalam sejarah manusia. Pesisir mencakup pemukiman, sektor ekonomi, transportasi global, dan industri pariwisata.
Sementara itu, lahan basah pesisir memiliki dua peran penting bagi bumi, di antaranya :
- Penghalang alami yang melindungi pantai dari tsunami, erosi, angin, dan kenaikan air laut yang secara alami meredam gelombang, dan
- Menjaga stok karbon hingga 70% dari total stok karbon. Meskipun pasar biru efektif dalam penyerapan karbon, laju hilangnya hutan bakau empat kali lebih besar dibandingkan hutan hujan tropis. Jika ekosistem mangrove tidak dipulihkan, diperkirakan vegetasi pesisir akan hilang dalam 20 tahun ke depan dan laju serapan CO2 global akan berkurang sebesar 25%.
- Hutan mangrove memiliki peran sebagai tempat hidup berbagai macam biota laut seperti ikan-ikan kecil untuk berlindung dan mencari makan. Selain binatang laut, bagi hutan mangrove yang ruag lingkupnya cukup besar sering terdapat jenis binatang darat di dalamnya seperti kera dan burung.
Sebagaimana yang kita tahu beberapa fungsi hutan mangrove yang telah dipaparkan di atas, tentunya hal yang paling esensial bagi kelangsungan hidup kita adalah fungsi hutan mangrove sebagai penghasil oksigen dan penyerap gas karbondioksida serta sebagai pencegahan abrasi.
Rusaknya hutan mangrove dapat mengakibatkan hilangnya fungsi-fungsi tersebut.
Bayangkan jika hutan rusak, tak ada lagi sesuatu yang mampu menghasilkan oksigen untuk kita bernapas, tidak ada lagi sesuatu yang dapat menyerap gas terlebih gas racun dan berbahaya bagi tubuh manusia, serta tak ada lagi suatu pertahanan kokoh yang mampu menahan laju abrasi.
Saat ini keadaan hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai Indonesia begitu memperihatinkan. Sebagian besar rusak dan diantaranya habis akibat aktivitas penebangan dan lain-lain. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan hidup kita.
Oleh karena itu, inilah langkah-langkah yang telah Karbon Biru lakukan untuk mencapai kemajuan #BirukanBumi, karena ekosistem lahan basah telah menjadi salah satu isu yang menjadi perhatian internasional, khususnya deforestasi mangrove di negara-negara tropis.
Konsep ini mendapatkan perhatian besar hingga Yulia berhasil mendapatkan dana sebesar €10.000 sebagai kompetisi “INNO Challenge 2022” yang diadakan oleh WWF (World Wildlife Fund) Belanda.
Apakah Yulia berhenti di situ? Tentu saja tidak. Karena membangun hutan tidak bisa dilakukan hanya sekali saja, tapi harus berkelanjutan.
Yuk “Membangun Hutan” Pulihkan Bumi yang Makin Rentan
Saat ini, proyek Karbon Biru baru memiliki chapter di Indonesia. Fokus utama dari Karbon Biru sendiri adalah berkolaborasi dengan pemilik tambak, sehingga Karbon Biru dapat menanam mangrove di area tambak untuk mengurangi erosi dan meningkatkan kualitas air.
Proyek yang digagas oleh Yulia berfokus pada penerapan solusi berbasis alam (nature-based solutions) untuk memperbaiki lingkungan dan mendukung ekonomi biru.
Ketika mangrove ditanam, lalu air masuk ke dan keluar dari tambak, air yang mengalir akan jernih lho! Karena mangrove yang tertanam di area tambak dapat menjernihkan air dari kotoran dan menyerap nitrogen dan fosfor. Otomatis bisa bertindak sebagai pembersih limbah alami.
Selain itu kepiting serta kerang pun juga bisa tumbuh dengan baik di area bakau. Sehingga pemilik tambak pun bisa mendapatkan penghasilan ganda.
Proyek untuk pesisir yang diinisiasi Yulia ini memberikan harapan baru untuk masyarakat Indonesia. Jika kita mau bergandengan tangan bersama-sama untuk konsisten membirukan langit Indonesia, saya yakin kehidupan anak cucu kita lebih baik nantinya.
Apa yang diinginkan dan diusahakan oleh Yulia dan tim Karbon Biru saat ini adalah mengubah pandangan masyarakat tentang lingkungan. Ketika banyak orang berpikir bahwa pembangunan dan ekonomi harus selalu berbanding terbalik dengan konservasi alam, Karbon Biru dan seluruh relawan yang terlibat mampu menunjukkan bahwa solusi berbasis alam seperti Karbon Biru dapat menciptakan manfaat ganda kok.
Manfaat itu tentu saja untuk melindungi lingkungan, masyarakat, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Sampai saat ini, 1 Oktober 2024 sudah ada 7620 pohon mangrove yang sudah ditanam bersama-sama dengan 250+ relawan Karbon Biru. Sungguh angka yang membanggakan dan harus kita didukung agar berkelanjutan.
Mengutip kalimat dari laman Karbon Biru;
Bersama-sama kita percaya bahwa perubahan iklim global, kemiskinan, dan runtuhnya titik kritis kita bukanlah sesuatu yang harus dilawan oleh umat manusia – sebaliknya, ini adalah seruan dan undangan terbuka dari Bumi agar kita dapat mendengarkan dan melihat dengan lebih baik.
SATU Indonesia Dukung Karbon Biru Pulihkan Dunia
Salah satu dukungan kecil yang bisa kita lakukan untuk mendukung pulihnya bumi ini sebagaimana yang dilakukan oleh Karbon Biru di Indonesia adalah dengan membeli bahan makanan, pakaian dan produk-produk lokal.
Beberapa manfaat yang bisa kita dapatkan ketika memutuskan untuk membeli produk lokal diantaranya :
- Bisa memperpendek rantai pasokan dan memperkecil karbon yang terlepas akibat transportasi.
- Menyejahterakan masyarakat sekitar.
- Turut mendukung pemerataan pendapatan dan juga persebaran penduduk
Manfaatnya sama dengan visi dan misi yang digaungkan oleh Karbon Biru.
Indonesia yang merupakan zamrud khatulistiwa, hutan yang luasnya terbentang tanpa cela, gambut dan berbagai jenis tumbuhan dan hewan di penjuru Nusantara, sudah selayaknya untuk kita jaga kelestariannya bersama-sama.
Melalui gerakan Karbon Biru dan juga bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan lain-lain tidak ada yang mustahil kok jika kita berpegangan tangan dan berkomitmen untuk menyelesaikan masalah bersama-sama.
Kita makin bangga dengan produk lokal bernilai tinggi yang produksinya aman. Tanah kita sehat, air kita bersih dan 190 juta anak bangsa mendapat tempat berkarya di penjuru Indonesia.
Saya ikut bangga ketika Yulia Ratnasari menjadi salah satu penerima penghargaan SATU Indonesia Awards. Sudah sepatutnya menjadi contoh generasi muda Indonesia.
SATU Indonesia Awards sendiri adalah penghargaan tahunan yang diberikan oleh PT Astra International Tbk kepada generasi muda yang berkontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan. Tak heran jika Yulia mendapatkannya, karena kontribusi serta semangatnya untuk perbaikan lingkungan di negeri ini harus kita dukung bersama-sama.
Pesan Yulia dalam sebuah wawancara bersama Indonesia Mengglobal untuk pembaca :
Anak muda Indonesia bisa menjadi long-life learner (pembelajar sepanjang hayat) yang menghargai pengetahuan. Anak muda bisa menjadi generasi yang dapat mencapai hal-hal yang besar, yang membuat dunia lebih baik. Jangan hanya ngeksis di media sosial, ya!
Bagaimana anak muda? Masih sibuk dengan media sosial dan pencapain orang lain? Yuk kita susun goals kita sendiri, goals yang mampu mendatangkan banyak manfaat untuk negeri ini seperti yang dilakukan Yulia untuk membirukan Indonesia.
Semoga artikel ini bermanfaat!
#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia
Referensi :
karbonbiru.org
indonesiamengglobal.com
Dinas Lingkungan Hidup
carbonethis.com
National Oceanographic