Puya ke Puya, salah satu novel karya Faisal Oddang yang sangat saya kagumi.
Setiap ayunan kaki manusia, ia tengah berjalan pergi sekaligus menuju pulang. Orang-orang hidup hanya untuk mati, begitulah. Semakin kau berjalan menjauh, semakin maut berjalan mendekat.
Dan Tuhan menciptakan surga bagi para pejalan. Entah karena apa…
Novel Puya ke Puya adalah salah satu buku yang saya cari begitu tahu bahwa judul tersebut memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014, serta menyabet predikat Novel Terbaik versi Tempo tahun 2015. Saya selalu penasaran, meskipun sudah terlambat, dan akhirnya bisa memiliki buku ini. Dua malah. Oh ya di akhir tulisan ini saya akan memberikan giveaway untuk para pembaca sekalian, juga untuk pencinta Faisal Oddang. Jadi, ikuti tulisan ini sampai akhir ya.
Sinopsis Novel Puya ke Puya
Puya ke Puya menceritakan tentang kematian seseorang dan berbagai peristiwa yang terjadi dibalik kematian tersebut. Kematian menjadi hal yang menyedihkan memang, namun kita masih beruntung jika kematian itu tidak ikut membawa keluarga kita pada jurang kehancuran. Seperti kehancuran organ dalam tubuh kita di hari ketiga pasca penguburan. Seperti kehancuran kulit, rambut dan beberapa tulang rawan kita setelah beberapa minggu dihuni oleh belatung.
Tentu kita tidak menginginkan kehancuran macam itu untuk orang-orang yang masih punya nafas. Namun yang dihadapi dalam buku ini adalah kematian yang tidak hanya ditakuti oleh mayit, kerabat, tapi juga para leluhur.
Novel ini menceritakan tentang seorang lelaki bangsawan, seorang pemimpin adat di tanah Toraja. Tanah yang masih mengusung budaya dan tradisi kentalnya di Indonesia, bahkan hingga saat ini. Seorang bangsawan yang mati, diceritakan dalam novel ini harus juga mempersembahkan binatang-binatang terbaik sebagai kendaraannya kelak menuju Puya atau alam akhirat. Tentu saja tradisi ini membuat keluarga yang ditinggalkan olehnya harus menyediakan banyak biaya untuk upacara rambu solo. Sebelum mayat dikebumikan di lereng gunung yang tinggi.
‘Rambu Solo’ adalah upacara kemerdekaan yang memiliki arti : asap yang arahnya ke bawah. Asap yang arahnya ke bawah artinya ritus-ritus persembahan (asap) untuk orang mati yang dilaksanakan sesudah pukul 12 ketika matahari mulai bergerak menurun. Rambu solo’ sering juga disebut Alukard Rate Matamu’, ritus-ritus di sebelah barat, sebab sesudah pukul 12 matahari berada di sebelah barat. Oleh karena itu ritus-ritus persembahan dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan, yaitu rumah adat Toraja. Dikutip dari (Indonesia) Theodorus Kobong tahun 2008. Injil dan Tongkonan (halaman 49).
Jenis upacara ini ditentukan oleh status orang yang meninggal, dalam masyarakat Toraja dikenal sebagai tana’ atau kelas. Semakin tinggi kelasmu, maka semakin banyak pula kerbau dan babi yang harus disembelih untuk persembahan. Lalu, dari sinilah cerita mengalir. Peninggalan Ralla tidaklah banyak. Hanya sepetak tanah dan Tongkonan yang saat ini ditempati oleh istri dan anak laki-lakinya.
Banyak saudara-sauadaranya yang juga termasuk dalam golongan bangsawan menuntut Allu (anak laki-laki sang mayit) untuk melaksanakan upara Rambu Solo’ sesuai dengan kasta mereka. Namun Allu menolak, karena tradisi yang selama ini ia jalani dengan keluarganya terdengar tidak masuk akal. Allu bersikeras akan memakamkan ayahnya di kota. Jauh dari tanah Toraja yang selalu menjunjung tinggi adat. Tak peduli betapa beratnya beban yang harus mereka pikul hingga mati.
Tidak berhenti di situ, Puya ke Puya banyak memuat konflik antara makhluk yang berada di bumi, di alam baka serta bagaimana keserakahan manusia bisa menimbulkan banyak bahaya dan akibat yang fatal bagi dirinya sendiri. Tulisan khas Faisal Oddang yang membuat saya selalu penasaran dan berpikir harus menyelesaikan secepat mungkin. Kita tahu bahwa kebudayaan adalah produk manusia, harusnya dirancang untuk memudahkan mereka. Namun yang terjadi dalam buku ini adalah sebaliknya. Patut menjadi renungan untuk kita semua.
Kebudayaan adalah produk manusia. Manusia dan kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu, dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu.
Analisis Novel Puya ke Puya
Membaca Puya ke Puya ini saya jadi ingat beberapa tradisi yang dilakukan tetangga di sekitar rumah ketika kerabatnya meninggal.
Bukan bermaksud menyinggung tradisi apapun itu selama tujuannya baik. Tapi saya jadi kesal dengan orang-orang yang rela berhutang ke rentenir berjuta-juta, dan tahulah ya, kemana buntutnya? Akhirnya tidak bisa bayar hutang, jual apapun yang bisa dijual, dan berakhir ke pelarian. Meninggalkan anak istri dan kerabat karena hutang yang sebenarnya tidak seberapa di awal. Keluarganya berantakan. Istilahnya, sudah jatuh tertimpa tangga.
Maksud saya, ketika ada orang meninggal harusnya kita bisa mengangkat bebannya. Mengurangi kesedihannya. Memberi penghiburan padanya. Bukan justru membebani dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga yang berduka untuk melengkapi tradisi yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Jika tidak mematuhi tradisi, keluarganya akan dibiarkan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan penguburan sendirian. Jelas tetangga-tetangga saya itu akan takut jika harus mengurus semuanya sendirian. Maka jalan satu-satunya adalah mematuhi tradisi meskipun harus dengan jalan berhutang.
Belum lagi kalau almarhum atau almarhumah meninggalkan hutang. Akan bertambah lah beban keluarganya. Tradisi rambu solo di Toraja ternyata berwujud lain di sini.
Puya ke Puya by Faisal Oddang
Jakarta : KPG, 2015, 218 halaman.
Cetakan kedua, Agustus 2018.
4/5
Nah, tantangan untuk memenangkan satu buah buku Puya ke Puya plus FREE ONGKIR ke seluruh Indonesia cukup mudah. Bagaimana caranya?
Pilih 3 artikel dalam blog ini yang paling kamu sukai. Lalu share judul atau screenshot artikelnya di instagram story kamu, dan mention 3 orang temanmu untuk ikutan. Jangan lupa tag akun instagram saya ya @jihanmw agar saya bisa mendata siapa saja yang ikut.
Yang tidak punya instagram bisa tag akun Facebook saya ya : Jihan Mawaddah
Ditunggu sampai 5 Februari 2020. Akan ada satu pemenang yang nanti akan saya umumkan 6 Februari 2020.
[…] Baca Selengkapnya […]
bagus juga bukunya, jadi wishlist book yang akan aku baca di tahun 2020 ini 🙂
Yuk ikutan giveawaynya. Siapa tau bisa punya bukunya juga
Suatu paradoks yang muncul saat kita mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu karya karsa yang dinamis mengikuti perkembangan zaman. Benarkah itu definisi kebudayaan? Bahkan sebaliknya. Kebudayaan itu alot. Nggak mau berubah. Karena dipegang erat oleh mbah-mbah yang takut menghadapi perkembangan zaman. Justru yang mengikuti perkembangan zaman adalah modernitas; lawan kebudayaan dan merongrong kebudayaan bagaikan singa yang mengaum di hadapan anak tikus yang baru lahir.
Setuju. Tapi, banyak orang yang menganggap “melestarikan” budaya itu penting, dan perlu. Padahal budaya juga produk manusia zaman dulu, berarti kita bisa juga dong menciptakan kebudayaan baru, haha. Yang dianggap tidak melestarikan kebudayaan katanya tidak peduli dengan warisan nenek moyang, hihi. Emang yang paling pas mah ya ngikut aja Quran dan Sunnah. Pegangan paling relevan sampai akhir zaman.
semoga menang giveawaynya, pen banget baca bukunya ^^
Sebenarnya ada dilema ketika harus mengikuti adat istiadat tetapi meninggalkan beban hutang yg besar atau meninggalkan tradisi tetapi harus mengusung mayat tanpa bantuan tetangga..miris..
Aku yang tinggal di kota merasa bersyukur, karena jauh dari adat-adat yang menurutku sedikit ribet dan menyusahkan. Bukan hanya di kematian tapi juga di pernikahan.
Bukankah mengikuti Allah dan Rasul-Nya lebih mudah?
Sedih bacanya,,, antara tradisi dan kemampuan finansial
Jadi pengen deh, ngumpulin orang yang beranggapan tradisi itu memberatkan, terus bareng-bareng mengubah tradisi itu menjadi saling tolong-menolong..
tentunya berat banget diawal, apalagi ada pengucilan, nyinyiran, ataubahkan bullyan…
Huft
Emang “tradisi” yang dilestarikan itu meski dianggap kurang relevan dg perkembangan zaman bisa jadi ada hubungannya dengan industri pariwisata, ya? Sebut saja, tradisi sebambangan (kawin lari) di Lampung. Tradisi yg muncul sebagai solusi tradisi “begawi” yg super mahal.
Wah gimana tuh mba Begawi? Jadi kepo nih