Melansir dari CNN Indonesia, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membenarkan ayah dari dokter Aulia Risma Lestari meninggal dunia pada Selasa (27/8). Adapun dokter Aulia merupakan mahasiswi PPDS anestesi Universitas Diponegoro (Undip) yang diduga bunuh diri akibat perundungan.

Dikabarkan bahwa Ayahanda dari dokter Aulia kesehatannya kian memburuk pasca wafatnya anaknya. Memang sudah takdir, tapi kita juga tidak bisa menutup mata akan fakta bahwa sebegitu besarnya efek dari bullying atau perundungan ini pada korban dan juga keluarganya.

Benarkah Deklarasi Anti Bullying Hanya Sekadar Seremonial?

deklarasi anti bullying

Beberapa waktu lalu saat tahun ajaran baru dimulai, ramai sekali berita deklarasi anti bullying dilakukan oleh sekolah-sekolah, bahkan hingga tingkat universitas. Nampaknya, deklarasi anti bullying ini menjadi gerakan yang serentak dilakukan oleh sekolah-sekolah atas instruksi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Bahkan anak saya yang masih sekolah di Taman Kanak-Kanak tak luput dari instruksi yang serupa.

Kalau di Taman Kanak-Kanak, guru memutar video animasi yang sudah disediakan tentang anti bullying. Lalu di hari MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) anak-anak juga diajarkan lagu anti bullying.

Seperti ini kira-kira lagu yang dihafalkan oleh anak saya yang berusia 5 tahun :

Di sini teman, di sana teman

Dimana-mana kita berteman

Tak ada musuh, tak ada lawan

Semuanya saling menyayangi

Tidak ejek-ejekan, tidak pukul-pukulan

Saling tolong dan sayang, dengan teman

Belum genap satu bulan deklarasi anti bullying dilancarkan, dielu-elukan oleh orangtua wali murid yang berharap lingkungan pendidikan di Indonesia jadi lebih baik tanpa bullying, eh dateng dong berita yang menggemparkan seluruh Indonesia tentang dokter Aulia Risma yang dikabarkan bunuh diri dengan bukti kuat berupa surat yang ditulisnya sendiri.

Kejadian memilukan yang menimpa dokter kala menempuh studi lanjutnya untuk mendapatkan gelar spesialis ini ternyata menguak banyak sekali fakta yang selama ini tidak diketahui oleh masyarakat awam. Tidak usah saya sebutkan, banyak sekali dokter-dokter lain yang kemudian “ikut bersuara”.

Siapa sangka dokter-dokter di Indonesia ternyata harus melalui masa-masa sulitnya karena senioritas?

Siapa sangka dokter-dokter di Indonesia yang harus melayani pasien dengan Salam, Senyum dan Sapa ini harus melalui hari-hari beratnya selama pendidikan? Tidak hanya menguras otak dan tenaga, tapi juga menguras dompet hingga mentalitasnya yang dijatuhkan serendah-rendahnya.

Tak heran dokter di Indonesia banyak yang irit bicara. Enggan berlama-lama menjelaskan kepada pasiennya. Ya pikir saya sih karena mereka sudah lelah jiwa dan raga.

Lalu apa gunanya deklarasi anti bullying yang dilakukan di lingkungan pendidikan jika mereka yang menjadi panitia deklarasi sendiri saja menjadi pelaku bullying pada juniornya?

Iya tau ngga bisa menggeneralisir permasalahan dokter spesialis itu untuk semua lingkungan pendidikan di Indonesia, tapi satu nyawa itu berharga lho! Tidak ada yang remeh jika berkaitan dengan nyawa seorang manusia.

Bahkan dalam agama saya, Rasulullah menegaskan bahwa nyawa seorang Muslim di sisi Allah jauh lebih berharga daripada hancurnya dunia ini.

Jadi seharusnya satu nyawa sudah lebih dari cukup untuk menjadi pelajaran yang berharga. 

Untuk teman-teman yang masih ingat dengan peristiwa wafatnya salah satu murid di STPDN di tahun 2003 silam, pasti masih trauma banget kalau mengingat-ingat video bagaimana anak-anak yang baru masuk kesana menjadi “samsak” untuk para seniornya. Memang banyak yang bisa bertahan, tapi apakah itu penting jika satu nyawa telah direnggut?

Sampai kapan senioritas akan selalu membayangi dunia pendidikan di Indonesia jika korban bullying dari tahun ke tahun masih ada? Jadi apa gunanya deklarasi anti bullying jika satu nyawa berharga tetap tak mengubah kebijakan di dunia pendidikan kita?

Batal Sekolahkan Anak di Kedokteran Indonesia

gerakan deklarasi anti bullying

Sebagai seorang Ibu yang menantikan enam tahun datangnya buah hati, ada nyamuk yang menggigit anak saya saja rasanya menggelisahkan. Tak terbayang jika kelak anak saya disakiti oleh orang-orang yang pernah dekat saja tidak? Ngga ikut kasih makan, ngga ikut merawat dan membesarkan, tapi ikut ngebully, hati Ibu mana yang ngga sakit kan?

Saya yang dulu sempat punya impian bahwa kelak anak kami bisa menjadi dokter spesialis anak, tak ayal langsung mengurungkan niat tersebut, mengubur impian itu seperti mengubur keinginan agar Indonesia menjadi negeri yang ramah untuk siapa saja.

Ngga apa-apa lah anak saya ngga jadi dokter, daripada harus melewati perundungan sial itu!

Ngga apa-apa lah anak saya ngga jadi apapun jika harus melewati perundungan yang menistakan harga diri manusia.

Harusnya kejadian ini menjadi tamparan keras di wajah Kemenkes dan juga Disdikbud. Ada kelegaan ketika pelaku bullying dihukum seberat-beratnya, namun kenapa ya masih menyisakan ragu di dalam dada?

Kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk anak-anak kita agar terlindung dari perundung di luar sana? Coba bagikan pemikiranmu di kolom komentar yuk!

*Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI*