Laut Bercerita, berkisah tentang kehidupan aktivis di tahun-tahun krisis. Tahun yang mencekam, sekaligus mulainya bentuk wajah baru Indonesia.

Sampaikan pada Ibu, Bapak, dan Anjani : jangan hidup di masa lalu, di saat aku masih menjadi abangmu yang jahil dan sering membuat dapur ibu berantakan. Jangan terjebak pada kenangan yang membuat kalian semua tak bisa meneruskan hidup. 

Laut Bercerita, halaman 366.

Jakarta, Maret 1998

Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting : Siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis mahasiswa saat itu.

Membaca Laut Bercerita membawa saya pada sebuah cerita yang pernah dituturkan seorang ayah pada anaknya. Tentang makna sebuah perjuangan dan cita-cita menjadi negara yang bebas dan merdeka dalam artian yang sesungguhnya. Ayah saat itu bercerita bagaimana keadaan saat itu genting dan banyak bahan pangan yang harganya naik drastis. Sehingga satu keluarga besar kami saat itu harus berpuas diri dengan makan nasi dan beberapa telur yang didadar, lalu dibagi enam belas potong. Masing-masing mendapatkan potongan kecil segitiga seperti pizza namun lebih tipis dan lebih kecil tentunya.

Ibu juga pernah menceritakan bagaimana ia mendapatkan perlakuan diskriminatif dari sekolah negeri tempatnya melaksanakan Praktik Mengajar. Saat itu, ibu adalah satu-satunya yang berjilbab. Namun beberapa guru dan kepala sekolah tidak mengizinkan ibu untuk masuk ke lingkungan sekolah dengan menggunakan penutup kepala. Namun bukan ibu namanya jika gentar. Ia bahkan rela tidak lulus daripada harus melepas penutup kepalanya. Tidak heran jika Ibu sangat anti dengan mereka-mereka yang saat itu memegang kuasa di sekolah negeri tersebut. Siapa yang menjadi mayoritas pastilah akan berbuat semena-mena dengan yang minoritas, kecuali pada zaman Nabi Muhammad yang telah terbukti bagaimana Baginda Nabi memperlakukan Yahudi dan kaum kafir lainnya.

Ingatan tentang siapa Pak Harto, Pak Karno membuat saya bergidik ngeri ketika membaca buku ini. Dalam hati selalu ada pengingkaran bahwa kedua tokoh kemerdekaan itu tidak seperti ini. Bagaimana pun, sejarah akan selalu tertulis ulang ketika pemimpin itu berganti. Sejarah yang ditulis pada zaman Pak Soekarno menjadi penguasa berbeda dengan sejarah yang ditulis pada zaman kekuasaan Pak Soeharto. Pun hingga saat ini. Sehingga saya pun menjadi sangsi, sejarah mana yang harus dipercaya?

Begitu pun dengan pikiran yang terus melayang-layang mengapa yang disebut-sebut sebagai anak turunan PKI tidak pernah akur dengan para priyayi atau bahkan Kiyai? Bagaimana bisa mereka akan akur jika anak turunan siapapun itu akan selalu dicap sama seperti leluhurnya. Seolah menjadi blacklist bagi mereka, bahkan pada bayi yang baru lahir. Padahal jika kita melupakan sejarah di kondisi tertentu, mencoba memaafkan kesalahan-kesalahan yang telah lalu, mungkin tidak akan ada yang namanya balas dendam. Tidak ada lagi buku-buku yang dilarang, bahkan dibakar.

Bukankah setiap bayi yang lahir ke dunia ini dalam keadaan fitrah/suci? Lantas, bagaimana hak hidup mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak, kehidupan yang tentram serta pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas yang dimiliki jika label anak turunan PKI dan anak turunan Kiyai selalu tersemat dalam diri mereka. Tidakkah kita bisa melupakan masa lalu dan mencoba berdamai agar dunia menjadi lebih baik? Fantasi yang terus menerus merong-rong mereka yang masih menyimpan dendam itu tidak akan bisa sembuh dengan sendirinya. Kecuali atas keinginan dirinya sendiri. Maka menjadi pendamai antara kelompok kanan dan kiri tentu saja dimulai dari diri sendiri. Berusaha seobyektif mungkin menyikapi sesuatu, bahkan ketika membaca buku.

Resah sekaligus geram membaca novel karya Leila S.Chudori ini.

Laut Bercerita

Resah karena harga sebuah nyawa yang begitu murah di zamannya. Geram karena berbagai macam penyiksaan yang dialami oleh tokoh utama sungguh tidak manusiawi. Jelas sih, mana ada penjara yang manusiawi?  Karena meskipun hanya sebuah fiksi namun ada sejarah yang sengaja dimunculkan kembali agar kita tetap ingat tentang tujuan utama reformasi. Penulis berhasil menghidupkan hal itu.

Benar adanya bahwa sejarah itu ada pada tangan penulis. Sejauh mana sentimentil seorang penulis pada satu golongan dan kecondongannya pada golongan yang lain. Namun melihat yang terjadi pada 1998, banyaknya korban, serta bagaimana beberapa kiprah tokoh-tokoh agama dalam peristiwa itu, benar adanya bahwa ada suara-suara yang dibungkam saat itu. Ada hak-hak yang dihilangkan. Menyisakan pencarian yang tak berujung hingga saat ini. Meskipun kita juga perlu pembanding yang pas. Bukannya saya antipati dengan mereka semua yang sedang berjuang, namun sebagai generasi yang tak ikut merasakan kelamnya perjuangan pahlawan reformasi itu, saya merasa berhak mengetahui bagaimana sebenarnya peristiwa yang terjadi.

Perampokan, pemerkosaan, hingga perampasan hak oleh pihak ketiga kini menjadi alasan bagi mereka yang ingin menyuburkan kembali apa itu idiologi Marxisme. Sedangkan sebagian ada yang ingin mempertahankan pendapatnya bahwa negeri ini sejatinya lebih aman dan tentram dalam kediktatoran Soeharto. Lihatlah lautan informasi yang akhirnya tak terbendung, itu karena roda-roda reformasi tidak bergerak semestinya dan pada tempatnya. Sehingga tujuan mulia bahwa keadilan itu akan ada setelah reformasi lahir, tidak terjadi sepenuhnya. Kasus Novel Baswedan pun tak jelas kabarnya hingga saat ini. Ketika sibuk dengan aktivis lain yang hilang, kita lupa bahwa korupsi semakin liar. Lalu apa bedanya dengan zaman Soeharto?

Jika dulu perut-perut militer yang dikenyangkan, kini perut-perut pejabat berbaju coklat yang memegang kendali. Kesenjangan itu semakin lebar, dan tetap ada. Hanya berbalik pada siapa pemangku kepentingannya.

Novel ini berkisah tentang keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Fiksi yang berlatar belakang sejarah ini membuat saya belajar kembali pada sejarah yang dulu hampir selalu membuat saya mengantuk di kelas. Kisah Biru Laut yang berjuang demi Indonesia yang lebih baik dikemas secara apik hingga saya meneteskan air mata berkali-kali. Saya membayangkan menjadi salah satu dari mereka-mereka yang telah hilang dan sudah berjuang, tapi perlahan terlupakan. Melalui novel ini saya mengingat kembali bagaimana peristiwa yang tidak saya mengerti itu (karena pada 1998 saya masih berusia delapan tahun) bisa menjadi titik balik wajah Indonesia yang baru.

Jakarta, 2000

Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, Kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.