Proses Taaruf yang baru-baru ini viral banget di kalangan artis mengingatkan saya pada pengalaman pada 2012 silam. Baru-baru ini taaruf jadi trend tersendiri pada kelompok “hijrah” kaum milenial. Senang juga sih ada yang mengikuti kebaikan ajaran Islam. Namun, yang membuat saya sedih, proses taaruf dimaknai dengan proses perkenalan (yang tidak sedikit kejadiannya), melenceng dari syariat Islam. Sehingga proses taaruf yang belum benar ini jadi ditiru banyak orang. Lalu berkembang menjadi sebuah trend.
Seorang ustadz seringkali menasihati kami, murid-muridnya, bahwa proses menuju pernikahan itu harus disertai dengan pihak ketiga. Entah itu mahram dari pihak laki-laki maupun perempuan. Jadi tidak serta merta mengetikkan kalimat-kalimat khas lelaki yang sedang mencari jodoh pada perempuan bidikannya. Namun tetaplah harus melalui perantara. Jika kalimat-kalimat seperti “Bangunkan aku tahajud ya, kita salat malam bareng” diucapkan sebagai dalih tahapan taaruf bagi satu pasangan, maka apa bedanya dengan pacaran?
Atau, “Sudah bangun? Yuk tahajud bareng. Lalu sahur, kita puasa sunnah.”
“Ingat aku dalam sepertiga malam-mu ya.” dan berbagai gombalan lainnya.
Apa bedanya hayo skill di atas dengan skillnya orang-orang yang berpacaran atau menyebut penjajakan sebelum pernikahan? Hehehe…
Habis ini pasti saya diserang, nyinyir lo! Emangnya lo udah bener ya? Ngga papa juga sih, toh saya memang berniat untuk meluruskan apa yang sudah menjadi trend. Bukan untuk menyudutkan salah satu pihak, atau bahkan menjatuhkan. Tidak sama sekali. Karena saya pun menghargai seseorang yang berproses menuju pribadi yang lebih baik dan salih menurut agama. Baik, langsung saja ke cerita pertemuan saya dengan seorang lelaki pada tahun 2012 ya.
Pengalaman Taaruf
Jadi usai lulus kuliah di awal tahun 2012, saya memutuskan untuk langsung ikut kelas kursus Studi Islam dan Bahasa Arab setara D2. Meskipun saya lulusan Biologi, kakak saya ini maksa banget agar segera menyusulnya untuk ikut kursus. Alasannya untuk mendalami ilmu agama kami yang masih kurang karena bukan lulusan pondok. Begitulah dan saya pun menurut. Di sinilah pandangan saya perihal kehidupan menjadi berubah drastis 180 derajat! Kenapa? Karena lingkungan yang membentuk saya demikian. Saya jadi lebih gemes dengan ikhwan-ikhwan yang rajin ke masjid, baca Quran, dan yang sejenisnya.
Saya pun mulai meninggalkan apa-apa yang menurut saya tidak bermanfaat dunia akhirat. Termasuk seorang lelaki yang sempat dekat dan ingin melamar saya namun orang tua saya tidak setuju kala itu. Saya pun merenung, apa yang sebenarnya saya cari. Kalau hanya cinta, namun orang tua tidak ridha lalu apakah Tuhan saya akan ridha? Entah bagaimana Allah membolak-balikkan hati saya kala itu sehingga mudah saja untuk memutus sebuah hubungan yang tidak baik saat itu lalu berserah diri pada takdir Allah.
Proses Taaruf : Nadhar atau Memandang
Tidak lama setelah saya berkomitmen untuk menjadi wanita yang lebih baik, saya berkata pada Ayah dan Ibu bahwa apapun pilihan mereka berdua, insyaAllah saya ridha dan ikhlas menerimanya. Meskipun tidak semua kasus bisa disamakan seperti saya ya. Namun, saya percaya bahwa ridha orangtua adalah segalanya. Ada banyak kisah pilu dibalik ketidakridha-an orangtua pada pernikahan seorang anaknya. Saya pun tidak ingin ikut menjadi salah satu pelaku sejarah kisah kepiluan itu.
Oke singkatnya, saat itu Ibu punya seorang teman akrab di salah satu organisasi yang Ibu aktif di dalamnya. Hari itu, beliau berdua ternyata ada agenda yang harusnya dihadiri bersama-sama. Namun si teman Ibu sebut saja Bu H ini mengirim pesan singkat pada Ibu saya. Isinya, “Mbak saya lagi di Bandung nih, sedang menghadiri wisuda anak saya. Maaf belum bisa hadir rapat.”
Ibu saya : “Gpp mbak. Mudah-mudahan lancar. Siapa wisuda?”
Ibu H : “Ya mbak, terimakasih. Ave mbak wisuda. Jihan gimana? Sudah lulus ya?”
Ibu saya : “Ya mbak sudah lulus. Sekarang di mahad, belajar bahasa arab.”
Ibu H : “Wah mau besanan sama saya ngga?”
Ibu saya : “Boleh tuh.”
Ibu H : “Kalau sudah di Malang tak ajak Ave main ke rumah njenengan”
Begitulah. Berawal dari kalimat iseng sebenarnya, namun siapa sangka Allah sedang menyiapkan jalan menuju pertemuan pertama saya dengan suami.
Saya pun tak diberi tahu saat itu. Ibu hanya bilang suatu hari pada saya : “Han nanti jangan keluar ya. Teman ibuk ada yang mau kenalin anaknya ke kamu.”
Syok? Jelas. Saya pun menahan rasa ingin tahu dan juga pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala. Saya hanya mengangguk tanda setuju.
Malam itu, Ibu H dan anak lelaki satu-satunya datang ke rumah kami. Saya sendiri yang membukakan pintu. Tak melihat ada lelaki di belakang ibunya, saya mempersilakan mereka berdua masuk dan langsung pergi ke dalam. Ketika Ayah dan Ibu menemui Ibu H dan lelaki itu, saya pergi ke belakang untuk mengambil teh hangat dan menyuguhkan pada Ibu H dan anaknya. Di sinilah mata saya pertama kali melihat lelaki yang ternyata menjadi suami saya sekarang. Begitupun dirinya, melihat saya pertama kalinya dalam balutan jilbab warna hitam dan warna baju yang senada. Kami hanya saling menatap beberapa detik saja sebelum saya mengalihkan pandangan ke arah Ibunya. Begitupun lelaki itu, mengalihkan pandangan ke arah lain.
Proses Khitbah/Meminang
Tak lama setelah pertemuan pertama kami, lelaki yang dipanggil Ave oleh keluarganya ini sering diamanahi ibunya untuk mengirim makanan ke rumah saya. Hehehe.. mungkin modus ya :p
Saya pun mulai mencari tahu nama lengkapnya, kuliahnya, sampai pada aktivitas dan organisasi yang pernah dia ikuti lewat salah satu media sosial yang ia punya. Hanya berbekal nama lengkap, saya bisa mengantongi beberapa informasi tentangnya. Begitu juga dengan hobinya yang sama dengan saya : membaca. Koleksi komik dan novelnya sangat banyak, membuat saya tertarik dengan mas Ave ini awalnya. Disamping wajahnya yang ganteng (iyalah, mana ada kecap nomor dua ya kan), dia juga lelaki yang menurut saya bisa menjadi imam dalam hidup.
Kesabarannya menemani Ibunya di hari tua menjadi poin tertinggi dari orangtua dan saya sendiri. Karena lelaki yang baik dan saleh tentu punya sifat dan kebaikan pada keluarganya juga, terkhusus ibu dan ayahnya. Seringkali ketika ada pengajian, ibu mengajak saya dan ibu H mengajak mas Ave. Jadi kami bisa bertemu meskipun hanya mencuri pandang satu atau dua detik lamanya. Tidak pernah ngobrol apalagi saling berbalas pesan lewat gawai. Saya hanya mengingatnya dalam doa. Jika memang jodoh, maka saya memohon agar Allah memudahkan segala urusan saya. Jika tidak, maka saya memohon agar Allah menjauhkannya dari saya.
Tidak sampai satu bulan lamanya, Ibu memberitahu saya bahwa mas Ave ingin meminang saya secara resmi. Betapa kagetnya saya saat itu. Antara belum siap dan juga penasaran sih sebenarnya. Penasaran karena masih ada banyak pertanyaan yang salah satunya, apa yang membuat Ibu dan Ayah yakin bahwa mas Ave adalah lelaki yang tepat untuk saya?
Ternyata jawaban beliau berdua sungguh sangat sederhana dan begitu menancap dalam hati hingga saat ini.
Karena kami melihat baktinya pada ibunya. Bakti pada ayahnya, serta keluarganya. Tidak ada lelaki sesabar Ave di keluarga ini, begitu kata keluarganya.
Saya pun dengan mudahnya mengatakan “iya” pada Ayah dan Ibu. Karena saya percaya bahwa jawaban atas istikharah bukanlah mimpi yang indah atau buruk, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh seorang ustadz saya di dekat rumah. Bukan pula isyarat-isyarat dari alam misalnya. Namun saya percaya bahwa takdir Allah berupa jodoh itu akan kita temukan jawabannya seiring dengan berjalannya waktu. Kalau proses ini dimudahkan dan begitu lancar dan cepat menuju kebaikan, maka inilah jawabannya. Inilah yang Allah kehendaki. Saya percaya bahwa setiap kehendak Allah itu baik bagi umatNya.
Keluarga besar Mas Ave pun datang secara resmi untuk meminang saya. Hari itu, saya mengenakan jilbab merah. Tanda bahwa saya pun tengah berbahagia, meski hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan stalking sosmednya. Juga berbekal dengan informasi dari kakak dan ibunya. Pun seorang temannya yang kebetulan satu tempat kerja dengan adik saya. Semua sinyal menyatakan baik dan bisa diterima, Allah pun menghendaki terjadinya proses khitbah dan kedua orangtua kami pun ridha.
Persiapan Pernikahan
Wah rasanya saya hampir tidak percaya akan menikah di usia 23 tahun. Setiap proses yang saya lalui seperti kotak-kotak hadiah dari Allah yang sengaja disiapkan untuk saya. Isinya selalu mengejutkan sekaligus membahagiakan. Kira-kira dua atau tiga minggu setelah khitbah, orangtua kami bersepakat untuk membicarakan tanggal pernikahan saya dan Mas Ave di rumah calon Ibu mertua saya. Namun saat itu saya tidak diperbolehkan ikut, hehehe. Padahal saya sudah kangen ingin melihat calon suami :p Namun harus saya tahan dan terpaksa harus ditelan lagi debar itu.
Hasil dari pertemuan tersebut disepakati bahwa tiga bulan dari hari itu adalah tanggal pernikahan kami. Segala persiapan dan rapat akan dilakukan di rumah saya. Sehingga dalam rentang tiga bulan itu, calon suami sering datang ke rumah untuk meminta arahan dari ayah saya. Namun sampai saat itu sekalipun saya tidak pernah ngobrol dengan beliau. Saya hanya mendengar Mas Ave berbicara dengan ayah, ibu atau kakak saya. Bahkan saat rapat sekalipun, ia tidak pernah menyapa atau melihat saya. Kecewa sih, karena ngga mungkin kan saya duluan yang ngajak ngobrol. Hih.
Belakangan saya baru tahu alasannya kenapa Mas Ave tidak berani mengajak saya ngobrol. Karena dia pun deg-degkan dan merasa canggung mau ngobrol apa. Apalagi ada ayah, ibu dan kakak yang selalu mendampingi saya ketika Mas Ave ke rumah untuk membicarakan soal persiapan pernikahan. Boro-boro ya pergi keluar bareng, bahkan sms-an pun engga. Atau mau BBM-an? Engga sama sekali. Saat itu yang ngetrend bbm sih.
Hingga suatu hari sekitar satu minggu menjelang pernikahan, ada pesan masuk ke nomor saya.
Ini ada kado dari temen, nanti kuantar ke rumah. Kamu aja yang simpan.
Tak lama, kado itu sudah ada di rumah. Saya pun membalas pesan singkat itu sambil senyum-senyum : Oke mas, terimakasih. Kubuka aja ngga apa-apa?
Dibalasnya kemudian, “Ngga papa, kan udah jadi punyamu ^^”
Serius ada emot senyum seperti itu juga hahaha. Akhirnya mas Ave menyapa saya. Inikah yang dimaksud untuk tidak berkhalwat atau berdua-duaan saja meskipun di dunia maya? Saya pun menahan untuk tidak membalasnya lagi, Sabar. Seminggu lagi halal, insya Allah.
Akhir Proses Taaruf : Hari Pernikahan
Hari akad pun tiba. Saat itulah kami pertama kali duduk berdekatan. Saling memandang malu-malu. Menumbuhkan bunga-bunga kebahagiaan yang sudah lama kami simpan. Pertama kalinya saya melihat beliau tersenyum dan melihat giginya yang kecil-kecil itu. Pertama kalinya juga dia berbicara berhadapan dengan saya. Menggenggam tangan saya di hadapan semua orang (dan saya tahu tangannya masih gemetaran, kwkwkw). Ah, kalau diingat, rasanya ingin mengulang lagi hari bersejarah itu. Karena foto-foto pernikahan kami jadi canggung dan banyak yang seperti orang musuhan karena saking gugupnya.
Bahagia? Iya. Alhamdulilah tahun ini tujuh tahun pernikahan kami. Banyak keajaiban dan ujian yang Allah turunkan pada kami berdua. Namun saya tidak pernah menyesali takdir pernikahan melalui proses taaruf yang indah. Saya bangga memilih taaruf sebagai salah satu ikhtiar untuk mendapatkan jodoh dunia akhirat. Saya berterimakasih dan bersyukur pada Ayah dan Ibu yang memilihkan suami terbaik untuk anak gadisnya ini.
Setiap hari, cinta kami bertambah. Meskipun tidak luput dari serangan badai. Justru badai itulah yang membuat kami semakin kuat dan dewasa.
Saya bersyukur bertemu dengan kawan ngobrol sepanjang hidup sesabar Mas Ave. Sesuai dengan doa-doa yang saya panjatkan di hadapan Allah pada malam-malam Ramadan sebelum Mas Ave dan keluarganya datang pada kehidupan kami. Taaruf bukanlah seperti membeli kucing dalam karung. Tidak, jika kita melalui prosesnya dengan benar dan hanya mengharap keridhaan Allah. Tidak condong pada nafsu belaka. Taaruf menjadi buruk karena pelakunya. Begitupun syariat Islam yang lain. Karena syariat Islam sudah sempurna. Namun karena pelakunya-lah syariat hanya menjadi komoditas nafsu belaka.
Pesan untuk Generasi Muda perihal Proses Taaruf
Ada banyak sekali kisah patah hati yang akhir-akhir ini mengisi pemberitaan. Kata teman-teman millenial sih sedang marak “jagain jodoh orang”. Nah lho memangnya siapa yang suruh jagain? Hehe… Aduhai sungguh baik sekali mau menjaga seseorang yang belum tentu jadi jodohnya dunia akhirat, belum pasti menikahinya, belum pasti akan membersamainya di kala suka dan duka. Tapi itu pun tidak bisa disalahkan, karena jatuh cinta adalah fitrah yang diberikan Allah pada manusia. Namun fitrah itu akan jadi bencana jika kita tidak menempatkannya pada posisi yang semestinya.
Peliknya hidup tidak akan pernah kita rasakan jika kita terus membiarkan diri sendiri untuk selalu berada di zona nyaman. Zona tanpa masalah, tanpa ambisi juga tanpa cita-cita tinggi untuk masa depan. Begitulah, hidupmu ya akan begitu-begitu saja dan akan berakhir sia-sia. Banyak remaja yang mengeluh perihal kehidupannya yang sulit. Mengerjakan PR yang tidak sudah-sudah, susah atau guru yang kerap kali bertingkah seolah dia tak pernah muda. Oh guys, come on! Hidup di luar sana akan seribu kali lebih pelik dari urusan PR atau guru yang menyebalkan. Lalu sepatutnya kamu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Apa saja? Coba hitung mulai saat mata terbuka di subuh hari hingga menutup ketika tidur di malam hari.
Kalau dihitung-hitung nikmat Allah ini memang tidak akan pernah bisa kita menghitungnya karena saking banyak dan luasnya. Lalu patutkah kita mengeluhkan kehidupan yang kita anggap sangat berat karena percintaan yang kandas, jodoh yang tak kunjung datang, atau gagalnya membina hubungan? Seperti kata Ustadz Budi Azhari, kita tidak akan pernah menjadi orang besar jika kita hanya memikirkan hal-hal remeh, menggalaukan percintaan yang itu-itu saja atau bersedih karena IPK yang turun merosot dari target. Karena orang-orang besar selalu memikirkan hal-hal besar dalam hidupnya. Hingga waktunya habis di dunia ini pun ditutup dengan memikirkan hal-hal besar yang belum atau sudah ia raih.
Jadi, jangan terburu-buru memikirkan proses taaruf kalau memang belum bisa melaksanakannya dengan benar. Sehingga hanya akan menjadi pembenaran pacaran secara islami 🙂 Lebih baik kita pikirkan, apa yang harus dilakukan hari ini agar bisa memberikan manfaat untuk banyak orang. Bagi yang sedang menunggu jodohnya, percayalah bahwa ketetapan itu akan datang sesuai dengan janji Allah. Ikuti prosesnya dengan baik sehingga tidak ada lagi ungkapan membeli kucing dalam karung. Karena dalam taaruf kita masih bisa kok mengenal calon pasangan dari orang-orang terdekatnya, bahkan menanyakan hal-hal sensitif sekalipun dalam proses taaruf itu diperbolehkan. Itulah syariat, semua diatur demi kemaslahatan dan kebahagiaan kita di dunia dan akhirat sebagai ummat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
With Love, Jeyjingga.
Baca juga : Siapkah Poligami?
[…] Baca Selengkapnya […]
Aku pas ta’aruf juga nggak saling melihat dan ada Ustadz. Baru pas ta’aruf yang keberapa gitu, baru aku ngelihat. Terus, taarufnya juga ada ta’aruf online pakai grup WA. Isinya ya aku, istriku (waktu itu masih calon), sama ustadz. Alhamdulillah lancar.
Ah aku kok seneng ya mba baca cerita mba Han. Pengen.bilang cie … cie… hehehe..Semoga bahagia selalu sampai kakek nenek. Aamiin.
Waaah, ceritanya sangat inspiratif, mbak. Cukup detail juga. Ini bisa jadi pandangan untuk kami2 yg masih jomlo ini..
Ooh trnyata gini yaaa taaruf itu, hehehe
[…] Jihan Mawaddah : Taaruf ala Upik Abu […]