Samaran.

Siapa sangka novel dengan cover bergambar orang yang sedang tidur nyenyak ini ternyata menyimpan banyak konflik. Saat membacanya sampai pertengahan, kira-kira saat Mat Ali kesurupan di dekat Kedung Baya, aku mengira ending nya mungkin Yati Gendut atau Marjiin sedang bermimpi. Yah, pada akhirnya mungkin begitu. Zonk. Ternyata bukan! Banyak sekali kejadian demi kejadian, konflik demi konflik yang membuat saya tak berhenti membacanya. Masuk kerja pun tetap saya bawa di dalam tas, sebagai pembunuh waktu saat menunggu seseorang misalnya. Akhirnya saya bisa menuntaskan novel ini dalam dua hari.

Saya pikir setting waktu di novel ini adalah masa sebelum penjajahan. Terlukis bagaimana orang-orang Samaran bahkan tak mengenal mata uang sebagai alat pembayaran barang atau jasa yang sah dalam sebuah negara. Mereka tercukupi hidupnya oleh alam di sekitarnya, hingga uang pun mereka tak punya, apalagi mereka kenal. Namun setelah kedatangan grup ludruk, nyatanya Samaran sungguh ada di tengah zaman yang sudah berkembang saat itu. Orang macam apa di era 80-an (mungkin?) yang tak mengenal ludruk? Tak mengenal uang sebagai alat pembayaran. Tak mengenal bagaimana memainkan peran. Jangan-jangan mereka juga tak mengenal apa itu sebuah negara? Kacau sekaligus lucu.

Apalagi saat adegan Pelawak memasuki panggung dan lawakannya tidak ditertawakan sama sekali oleh penonton. Sungguh kasihan. Penduduk Samaran menahan tawa meskipun itu lucu, karena norma kepatutan. Tak patut orang susah itu ditertawakan (walaupun itu lawakan). Astaga, sedih bukan main ada yang ngelawak tapi tidak ada yang tertawa. Juga serangkaian kejadian lain yang ternyata berhubungan satu sama lain. Brilliant! Alur ceritanya seru dan susah ditebak bagaimana akhirnya.

Nah, mampukah Samaran mempertahankan norma, budayanya serta ke-eksisannya setelah ada kelompok Ludruk yang datang ke kampung mereka? Greget pokoknya mah ini, must read! 💕

#gerakanoneweekonebook #oneweekonebook #samaran