Sebelumnya :
Hari ke-17 Karantina Mandiri
Tenda-tenda mulai didirikan. Megah menancap kehijauan.
Lambang sebuah bencana nasional
Paramedis sibuk bergiliran, kesana kemari menyembuhkan
Melihat orang-orang begitu sibuk berlalu lalang,
padahal ancaman belum juga hilang
Bukan berarti mereka tidak takut. Tapi mereka memilih mati di jalan.
Tinimbang berbaring di atas matras putih dihias bantuan pernapasan.
Empat belas hari dilalui dengan harapan.
Doa-doa dilangitkan.
Namun Tuhan belum menurunkan keajaiban.
Tuhan mencobai dengan wabah.
Mana yang karim mana yang zalim.
Mana yang hatinya bermurah mana yang serakah.
Semua tampak sekejap mata, diperlihatkan khalisnya.
Jangan sampai sejarah mencatat,
hilangnya bangsa karena kemanusiaan yang terkikis, habis.
“Tenda di depan IGD sudah dipasang,” lapor laki-laki yang menjadi teman diskusiku selama tujuh tahun ini. Aku kaget. Karena aku tahu itu artinya status kami sebagai ODR (Orang Dengan Resiko) meningkat. Selama empat belas hari kemarin, orang-orang dibatasi untuk berobat ke Rumah Sakit.
Jika tidak dalam kondisi sangat mendesak, tidak dianjurkan untuk ke rumah sakit ataupun klinik.
Begitu setidaknya bunyi salah satu himbauan yang disampaikan oleh banyak rumah sakit di kotaku. Memang benar, karena kita tidak tahu manusia yang mana yang membawa virus. Ketika orang yang butuh pengobatan berkumpul, akan lebih banyak resiko penularan yang terjadi. Maka tidak mengherankan banyak rumah sakit mengurangi jumlah pasien setiap harinya.
Aku selalu bersyukur karena meskipun kami adalah keluarga yang disebut sebagai ODR, namun belum pernah ada pasien positif yang dirujuk ke rumah sakit tempat partner diskusiku itu bekerja. Namun melihat situasi kasus yang terus naik jumlahnya, nampaknya aku harus bersiap dengan kondisi seburuk apapun itu. Seperti sore ini. Tenda hijau dari BNPB sudah didirikan, tepat di depan Instalasi Gawat Darurat. Itu artinya Rumah Sakit itu sudah ditunjuk sebagai Rumah Sakit Rujukan Pasien Covid-19. Lantai dua sudah dikosongkan, khusus disediakan untuk kamar isolasi.
Maka beberapa hari terakhir ini aku marah jika ada orang yang mengatakan bahwa Malang masih baik-baik saja. Tidak. Kota ini sudah masuk zona merah, zona yang sudah ada kasus local transmission-nya. Tidak harus menunggu status seseorang setelah bepergian dari luar negeri atau luar kota, tidak. Saat ini semua orang berpotensi untuk terdampak virus ini.
Hal yang kulakukan untuk mengusir kekhawatiran hari ini adalah dengan membaca sebuah novel tanpa huruf E karya Triskaidekaman berjudul Cadl. Membunuh waktu selama masa karantina #dirumahaja ini selalu kulakukan dengan membaca buku sebagai stress release setelah seharian menunaikan kewajiban sebagai seorang ibu rumah tangga sekaligus pekerja. Selama stok buku belum habis, aku tidak akan mati gaya, nampaknya.
Kutanya teman-teman yang bernasib sama denganku dan masih patuh dengan Pemerintah untuk #dirumahaja tentang apa yang mereka lakukan selama di rumah. Ada yang memasak dari siang hingga sore hari, ada yang rebahan sepanjang hari, ada juga yang membaca buku sampai tamat. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita lakukan di rumah. Termasuk kegiatan sosial untuk sesama. Kecanggihan teknologi menolong kita untuk terus berinteraksi dengan orang-orang di luar sana meskipun tanpa tatap muka. Adalah suatu perkara yang mudah kalau kita ingin melakukan aksi sosial via daring.
Selain baca buku, mungkin kita bisa mencoba resep baru untuk variasi memasak. Atau ikutan kuis yang diselenggarakan oleh berbagai produk secara daring. Atau menulis segala hal yang kita sukai sebagai healing therapy agar tidak panik.
Meskipun jenuh kerapkali datang, yang bisa kita lakukan hanyalah bersabar. Demi kebaikan bersama. Demi kesembuhan bersama, juga demi kebangkitan bersama negeri ini pasca pandemi. Jangan sampai kita ikut merugikan orang lain dengan tidak mematuhi anjuran pemerintah dan ulama untuk #dirumahaja hingga pandemi ini dinyatakan berakhir. Jangan sampai karena ketidaksabaran kita, akan menghalangi hak paramedis dan orang-orang yang sudah patuh sehingga physical distancing yang dianjurkan akan lebih panjang waktunya.
Jika tidak ada satu pun yang patuh maka pandemi ini tidak akan berakhir sebagaimana negara lain sudah mengakhirinya dalam waktu tiga bulan.
Jika hanya sebagian yang patuh maka mungkin pandemi ini akan berakhir dalam tiga atau empat bulan ke depan.
Jika semuanya patuh maka menurut hitungan ahli Matematika UI, pandemi ini akan berakhir dua bulan ke depan.
Jadi tidak ada salahnya kan bersabar satu bulan lagi untuk terus berada #dirumahaja
Malang, 1 April 2020
Positif : 1677 kasus. Meninggal : 157 orang. Sembuh : 103 orang.
Sebelumnya :
[…] Time Capsule #dirumahaja (3) […]
[…] Time Capsule #dirumahaja (3) […]
[…] Time Capsule #dirumahaja (3) […]