“Dik, mbok plis to ah, dipertimbangkan juga kaidah dar-ul mafasid muqaddamun itu, bahwa meninggalkan kemudharatan itu harus lebih diutamakan. Sikapmu ini mudharat buatku, Dik. Buat masa depan tresnaku. Itu harus didahulukan untuk ditinggalkan lho, Dik…”

(Belajar Mudah Kaidah Ushul Fiqh ala Bucin, halaman 133)

Kita tahu bahwa sumber-sumber utama syariat Islam (alQuran dan Sunnah Rasulullah SAW) sangat luas dan lebar wilayahnya. Baik dari segi sebab sejarah turunnya, kekayaan gaya bahasannya, logikanya, sastrawinya, hingga pesan moral yang dikandungnya. Karenanya, tidak bisa dibenarkan mencutat-cutat (pinjam bahasanya Om Edi Ah Iyabenu) ayat dan hadis sesuka-sukanya, lalu memutuskan suatu hukum Islam (fiqh) tanpa fondasi ilmu-ilmu yang lengkap, utuh, dan otoritatif.

Diantara ilmu pokok tersebut adalah Ushul Fiqh. Diantara praktik operasinya ialah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang sangat banyak jumlahnya itu, yang merupakan warisan para ulama salaf agung pendahulu kita.

Buku ini menyajikan lintasan pengenalan ilmu Ushul Fiqh dengan sederhana, kemudian mengulas kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan gamblang dan praktis untuk memudahkan siapapun yang ingin memahaminya ataupun mempelajarinya lebih jauh. Uniknya, di setiap kaidah yang diulas, disertakan cerita-cerita jenaka dengan tokoh Cito dan Citi. Maka dengan pola demikian, diharapkan kaidah-kaidah Ushul Fiqh takkan lagi “seram” untuk dikenali, dipahami dan dipelajari.

Salah satu contoh kaidah yang ditulis dari sekitar 53 kaidah Ushul FIqh yang dijabarkan dalam buku ini misalnya pada kaidah 9

Idzaa ta’arodho mafsadataani ru’iya a’dhomuhumaa dhorooron.

Jika ada dua keburukan berkumpul, maka yang dihindari adalah keburukan yang lebih besar.

Ini kaidah yang sangat sederhana secara akal sehat. Kiranya tak perlu berilmu seluas lautan, cukup pakai akal sehat, jawaban sejenis akan langsung bisa didapatkan. Lalu Om Edi Ah Iyabenu menambahkan cerita kekonyolan Cito ketika dihadapkan pada dua pilihan pembeli. Yang satu lelaki nan cerewet dan suka menawar dagangannya. Sedangkan yang kedua, wanita dengan segala kemudahannya dalam transaksi, tinggal OK lalu bayar. Namun, Cito mempertimbangkan kaidah tersebut, sehingga ia harus meladeni dulu pembeli pertama karena ialah yang berhak atas barangnya pertama kali meskipun ditawar. Namun sayang ternyata lelaki itu membatalkannya. Maka pergilah Cito ke pelanggan kedua. Tapi terlambat, pelanggan wanita yang bermudah-mudah itu ternyata sudah dapat penjual lain yang lebih cepat. Nah lho, kena lagi Cito.

Permisalan lagi pada Kaidah 12 :

Al-ashlu Baqoo u Maa Kaana ‘ala Maa Kaana – Hukum asal segala sesuatu adalah tetap sebagaimana keadaan hukumnya semula.

Penjelasannya yaitu kepada sesuatu yang hukumnya telah mutlak, tidak ada perubahan lagi. Seperti ketetapan hukum berzina adalah haram. Jika kita bekerja keras, dapat uang yang halal, lalu uang tersebut digunakan untuk berzina, maka zina ya tetap haram. Jadi walaupun pakai uang halal, keharaman zina itu tetaplah haram, dan sebagainya.

Begitu juga ungkapan Cito pada Citi, orang yang dikasihi sekaligus disayanginya (meskipun Cito memang orang yang gampang sayang dan kangen pada perempuan manapun). Cito berkata pada Citi bahwa cintanya pada Citi seperti kaidah Al-ashlu Baqoo u Maa Kaana ‘ala Maa Kaana. Namun dibalas oleh Citi dengan kaidah ushul fiqh pula :

“Mas pasti tahu kaidah al-yaqiinu la yuzalu bi al-syak. Bahwa suatu keyakinan tak bisa digugurkan oleh keraguan kan? Jadi keyakinanku tak bisa digugurkan oleh segala apa yang mencoba membuatku ragu dan berubah pikiran. Selama Mas Cito begini-begini saja, status sikapku akan sesuai dengan kaidah awal tadi.”

Lalu, lagi-lagi Cito patah hati. Patah hati yang sebentar saja. Karena penolakan Citi tak berarti apa-apa baginya. Yang penting maju terus pantang mundur!

Di sinilah asyiknya belajar Ushul Fiqh. Penulis berhasil menarik minat saya pada satu mata kuliah yang dulu pernah saya ambil saat ikut kuliah D2 Bahasa Arab di sebuah Ma’had. Kaidah Ushul Fiqh yang kami pelajari memang masih sedikit, namun entah karena apa dan siapa pelajaran itu menjadi hal yang sulit dihafalkan. Namun ketika membaca buku ini saya seperti melihat penggalan cerita yang selalu dikaitkan dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang konon katanya sesulit Matematika itu. Lebih mudah dan lebih rasional terdengar di telinga dan ditangkap oleh otak saya yang mungkin cenderung lamban.

Kaidah-kaidah Ushul Fiqh menjadi lebih mudah dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ketika kita sudah mengerti bagaimana cara mengaplikasikannya. Lewat buku inilah saya belajar kembali tentang kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan lebih matang. Selain kaidah-kaidah tersebut, penulis juga mengingatkan pembaca untuk membahas kaidah tersebut dengan guru masing-masing. Sehingga jika ada pemahaman yang salah ketika membaca, sang guru bisa meluruskan. Namun penjelasan Om Edi Ah Iyabenu yang sederhana dan aplikatif itu rasanya sudah sangat mudah dipahami kok. Sehingga kemungkinan untuk meleset atau gagal paham kecil kemungkinannya.

Nampaknya saya mulai jatuh cinta dengan tulisan-tulisan beliau yang moderat dan adil sejak dalam pikiran itu.

Belajar Mudah Kaidah Ushul Fiqh ala Bucin, oleh Edi Ah Iyabenu

Penerbit Diva Press, Cetakan Pertama, April 2020, 324 halaman

4/5