Setan dan iblis senantiasa bekerja di posisi hawa nafsu itu, merangsang dan mendorong kita untuk mengikutinya, melanturkannya, sehingga ujungnya kita jatuh pada perbuatan yang tidak etis, negatif, dan merugikan. Bagaimanapun caranya dan seperti apapun bentuknya, setan akan terus selalu mengeksploitasi “bekal hawa nafsu” kita sedemikian rupa. Dari yang vulgar macam mabuk-mabukan dan judi hingga yang halus, samar, dan abu-abu macam perasaan berbuat baik dan benar. (Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama halaman 136)

Tentu kita pernah merasa menjadi orang yang berbuat baik dan benar tampaknya, padahal sejatinya kita tengah menghakimi orang lain tidak berbuat baik dan benar menurut “ukuran kita sendiri”. Istilahnya, merasa paling benar dan orang lain salah hanya karena mereka tidak melakukan “kebaikan versi kita”. Padahal, penilaian kebaikan dan kebenaran itu murni hak Allah sebagai  Tuhan dan kita sebagai hambaNya.

3 Tahapan Orang Berilmu

Saya pernah berada pada fase seperti ini. Namun saya pikir, itu menjadi hal yang lumrah karena seseorang pasti pernah melalui sebuah proses dengan kesalahan. Karena tanpa kesalahan, mustahil kita bisa belajar menjadi lebih baik dan bijak. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab radhiallahu anhu bahwa seseorang ketika belajar itu akan melalui tiga tahapan.

Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahap pertama, dia akan sombong. Jika ia memasuki tahap kedua, maka ia akan rendah hati. Jika ia memasuki tahap ketiga, maka ia akan merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya. 

Saya sudah melewati fase pertama itu dengan banyak cerita dan sandungan. Termasuk yang diungkapkan oleh Edi Ah Iyabenu sebagai penulis buku ini bahwa perasaan halus, samar dan abu-abu yang dihembuskan oleh setan itu termasuk “merasa berbuat baik dan benar.” Padahal hakikatnya, belum atau bahkan tidak. Karena sudah buru-buru memvonis orang lain berbuat salah dan tidak benar. Saat-saat pertama orang menuntut ilmu agama memang seperti anak TK atau SD yang merasa pendapatnya paling benar. Jika disanggah atau mendapati pendapat yang menyelisihi pendapatnya, dianggapnya pendapat orang lain itu salah dan harus diluruskan. Padahal, ilmu itu milik Allah, dan ilmu itu luasnya seperti laut yang tak bertepi dan kedalamannya tidak berujung. Bahkan diibaratkan jika ditulis dengan tinta. tidak akan habis air di lautan sebagai tintanya.

Maka sangat tidak adil jika kita hanya tahu satu pendapat lalu menganggap pendapat lain yang tidak kita tahu itu sebagai pendapat yang salah. Hal seperti ini memang seringkali terjadi, lho. Berangkat dari cara berpikir yang seperti itulah Islam menjadi agama yang “tidak menyenangkan”, meskipun perkara agama bukan untuk bersenang-senang. Tidak menyenangkan di sini maksudnya terlihat seperti agama yang terbatas, agama yang saklek dan seolah-olah tidak memiliki kemudahan apapun untuk pemeluknya. Padahal sebaliknya.

Buku ini hadir seolah-olah untuk memberikan pengetahuan secara luas sekaligus memberikan sudut pandang lain untuk memahami maksud Islam rahmatan lil alamin. Sehingga kita akan mengenali bagaimana macam-macam pendapat mengenai hal ini.

Islam, Agama Cinta

Esensi dalam buku ini ingin menyuarakan bahwa Islam itu adalah agama rahmatan lil alamin; Islam adalah agama cinta, maka tiada Islam tanpa adanya cinta. Esensi Islam tersebut dinarasikan dengan apik oleh salah satu dzurriyah terkemuka Rasulullah yang disebut-sebut sebagai “kunci ilmu pengetahuan”, yakni Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau disebut “kunci ilmu pengetahuan” karena dari beliaulah seluruh khazanah keilmuan Islam bersambung garisnya kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang disebut Rasulullah sebagai “pintu gerbang bagi kota ilmu pengetahuan” dan Rasulullah sendiri adalah “kota ilmu pengetahuan”. Itu garis ke atasnya. Garis ke bawahnya ialah dari beliaulah lahir ulama-ulama agung yang warisan keilmuan dan pemikirannya terus kita cecap sampai hari ini. Baik dalam khazanah fiqh, kalam, tasawuf, astronomi, dan lain sebagainya.

Ada 20 bab yang menyusun buku ini hingga sangat bagus untuk dibaca semua kalangan. Baik yang sudah lama “hijrah” atau teman-teman yang baru saja “berhijrah”. Pelan-pelan kita akan memahami bagaimana pandangan lain tentang slogan Islam adalah agama cinta damai. Kita akan mendengar banyak sekali nasihat yang tidak terasa menggurui, serta hikmah luar biasa agar berlaku seperti umatnya Nabi Muhammad yang penuh welas asih, ngemong, dan tolerannya beliau kepada umat lain.

Ali bin Abi Thalib menasihatkan, “kita semua adalah bersaudara dalam iman. Jikapun kita tak sesaudara dalam iman, kita bersaudara dalam kemanusiaan.”

Ditutup dengan wasiat Mbah Moen bagi kita umat Islam yang mayoritas di negeri ini yang dimaknai dalam dua dimensi : 

1. Dimensi Batiniah, rohaniah, bahwa kecerobohan menempatkan diri bukan di maqamnya dan kekurangcermatan dalam berucap dan bersikap bisa menjadi ketercelaan rohani, iman, takwa dan akhlaq kita. 

2. Islam juga agama sosial, selain agama rohani-personal. Kualitas rohani kita akan senantiasa berbanding lurus dengan kualitas laku sosial kita. 

Wasiat yang disampaikan Mbah Moen serta nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang diletakkan di bagian penutup dalam buku ini tentu saja memberikan kita angin segar, oase di tengah padang pasir, serta kebahagiaan di tengah sesaknya pemahaman yang melilit leher kita sendiri. Sesaat saya terdiam dan berpikir, mudah-mudahan saya benar-benar sudah melewati fase pertama orang-orang yang sedang menuntut ilmu.

Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama, oleh Edi Ah Iyubenu

Penerbit DivaPress, Cetakan Pertama April 2020, 200 halaman

3/5

Baca juga ulasan buku Om Edi Ah Iyubenu yang lain di sini :
Belajar Mudah Kaidah Ushul Fiqh ala Bucin