Berbicara soal perbaikan pengelolaan sampah saya pikir menjadi permasalahan di semua kota ya. Tidak hanya kota-kota lain, tapi juga menjadi permasalahan di Bandung, Cimahi dan juga Denpasar yang telah menerapkan Zero Waste Cities. Kalau ketiga kota yang sudah menerapkan Zero Waste Cities saja perbaikan pengelolaan sampah tak juga signifikan, bagaimana dengan kota lain? Tentu ini menjadi masalah kita bersama ya.
Saya sudah membahas bagaimana sampah ini dampaknya sangat panjang. Bukan hanya berkaitan dengan kebersihan dan juga bencana banjir yang kerap datang, tapi juga memengaruhi perubahan iklim yang akhir-akhir ini sudah nyata kita rasakan. Apakah kemudian kita akan terus abai dengan hal ini? Jangan ya, karena kalau kita abai, siapa lagi yang akan peduli pada bumi, tempat tinggal anak cucu kita nanti?
Kenalan dengan Program Kawasan Bebas Sampah Kota Bandung
Sebelum kita berbicara pada perbaikan yang saya hadiri beberapa hari lalu dalam sebuah forum bersama tim Zero Waste Cities YPBB Kota Bandung, kita kenalan dulu yuk bagaimana sih sebenarnya prinsip program kawasan bebas sampah itu?
Dari Ir. Ria Ismaria, M.T dari Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) pada sesi Konferensi Pers kemarin beliau menyebutkan bahwa prinsip program kawasan bebas sampah diantaranya :
- Desentralisasi SPS
- Perubahan sistem tercampur jadi terpilah
- Pengurangan Timbulan – efisiensi
- Kebiasaan memilah, mengolah dan memanfaatkan hasil
- Penegakan Aturan-Pembiayaan-Lembaga
- Partisipatif
Sebenarnya sudah ngga kaget ketika mengetahui kota Bandung menjadi salah satu inisiator program KBS (Kawasan Bebas Sampah), jelas karena mereka punya tata kelola kota yang baik dan juga program-program pendukung yang seharusnya bisa menjadi contoh untuk kota-kota lain di Indonesia. KBS sendiri adalah program yang diterapkan pada kelurahan, kecamatan hingga kota. Bermula di tahun 2015, kemudian program ini berlanjut di tahun 2018 dengan konsep baru yang lebih segar.
Teman-teman tahu kan Kang Pisman? Yakni Kurangi, Pisahkan dan Manfaatkan. Menjadi program yang masuk ke dalam program 100 hari pertama walikota baru saat itu. Sejak saat itulah saya mengenal kota Bandung sebagai kota dengan KBS-nya yang berkembang hingga saat ini. Meskipun belum sempurna, kita tahu lah ya, tidak semudah itu memberikan kesadaran pada masyarakat tentang Kang Pisman ini. Namun saya percaya perlahan-lahan itu semua bisa menjadi kebiasaan diantara masyarakat jika terus digerakkan.
Pada sesi press conference kemarin, Ibu Ria Ismaria juga mengatakan bahwa kita semua tahu, pengelolaan sampah daridulu hanya “kumpul-buang-angkut”. Sampah dikumpulkan di tempat sampah, lalu diangkut oleh petugas, kemudian diangkut lagi untuk ditumpuk di TPS atau TPA kemudian di sana baru dipilah-pilah. Hal tersebut berlangsung setiap hari dan akhirnya gunungan sampah semakin tinggi, dan tempat pembuangan akhir akhirnya tidak mampu lagi menerima kiriman sampah tersebut.
Sebenarnya, salah satu tujuan dari program Kang Pisman adalah mengurangi timbunan sampah di TPA, karena harapannya ada proses yang dilakukan sejak dari rumah. Oleh karena itulah YPBB dan pemerintah yakni Dinas Lingkungan Hidup berperan melakukan edukasi serta pendampingan pada masyarakat.
Seperti yang sudah saya katakan di awal, PR kita bersama adalah memberi edukasi sampai akhirnya mereka mau untuk melakukan atas kesadaran sendiri. Jika sudah dilakukan, harapannya akan menjadi kebiasaan atau habit. Meskipun hal tersebut tidak mudah untuk dicapai, namun bukannya tidak mungkin.
Menjajaki Transisi Perjalanan Kota Bandung Menuju Zero Waste Cities
Sebagaimana tajuk dari konferensi pers beberapa hari lalu, “Menjajaki Transisi Perjalanan Kota Bandung Menuju Zero Waste Citie” diadakan sebagai upaya perbaikan pengelolaan sampah dan menjadi salah satu program evaluasi sejak berlalunya program Kang Pisman empat tahun lalu.
Berada di tengah-tengah rangkaian acara evaluasi program tersebut, ada DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Pemerintah Kota Bandung bersama YPBB (Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan) melakukan evaluasi yang juga bisa diakses oleh publik melalui acara konferensi pers Menjajaki Transisi (Perjalanan Kota Bandung Menuju Zero Waste Cities). Acara tersebut diadakan secara virtual pada Selasa, 29 Maret 2022 lalu dengan menghadirkan tiga narasumber terkait, yakni :
- Deti Yulianti, S.T., M.T dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung
- Ir. Ria Ismaria, M.T dari Forum Bandung Juara Bebas Sampah
- Ratna Ayu Wulandari, S.Hut dari Zero Waste Cities YPBB Kota Bandung
Pada awal acara, saya melihat bagaimana keseriusan Pemerintahan Kota Bandung, BJBS serta YPBB memberikan edukasi serta pendampingan pada masyarakat melalui tayangan video. Bahkan semua pihak terkait telaten memberikan edukasi dari rumah ke rumah hingga satu kawasan dapat menjadi pilot project kawasan Zero Waste Cities. Bagaimanapun masyarakat memang harus segera sadar akan problem sampah yang menggunung ini.
Jika hanya sosialisasi secara formal dan disampaikan di kelurahan, mungkin ada saja masyarakat yang belum merasa butuh karena gap tadi. Oleh karena itulah penting menghadirkan kesadaran pada mereka dengan pendekatan-pendekatan yang memungkinkan serta sesuai dengan visi misi bersama.
Program Zero Waste Cities yang dikembangkan oleh YPBB sendiri menekankan pada penanganan dan pencegahan sampah yang dilakukan secara menyeluruh, dari hulu ke hilir. Dalam pelaksanaannya, pemilahan sejak dari rumah memang menjadi prinsip utama yang ditekankan di setiap kawasan. Payung hukum untuk mendukung tata kelola sampah menjadi lebih baik pun sudah ada, yakni yang tertuang di Perda Kota Bandung No.9.
Selain itu YPBB disebutkan oleh bu Ria juga sudah berhasil melakukan penguatan sistem, meluaskan wilayah Kawasan Bebas Sampah serta menata kelembagaan dan pembiayaan pemilahan sampah di tahun 2020-2021 lalu. Apakah pelaksanannya berjalan lancar? Tentu saja tidak, karena proses memilah sampah itu sulit lho. Ada begitu banyak variabel yang mendukung maupun yang menyebabkan kegagalan tersebut, sehingga memang harus ikut merasakan trial and eror dulu jika ingin berhasil seluruhnya.
Oleh karena itulah YPBB tidak bisa sendirian. Tentu butuh sekali untuk ikut menghadapi persoalan penegakan aturan yang juga berperan krusial menuju kota Bandung yang ZWC.
“Ketika sudah menjadi aturan maka warga bisa ikut terdorong agar terjadi perubahan lebih cepat. Pemerintah dengan beragam cara, sumber pembiayaan, agar bersiap untuk segala perangkat aturan agar kelembagaan efektif dan efisien,” tutur Bu Ria siang itu.
YPBB yang merupakan organisasi non-profit dan non-pemerintah terkait pengelolaan sampah sudah melakukan banyak hal demi menuju ZWC. YPBB mendukung inisasi DLH Kota Bandung untuk membentuk KBS, lalu melakukan pendampingan serta edukasi ke wilayah-wilayah, merekayasa sistem, hingga ikut menyebarkan semangat hari demi hari agar masyarakat lebih peduli terhadap sampah yang mereka hasilkan.
Tantangan yang Dihadapi dalam Perbaikan Pengelolaan Sampah
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, ada begitu banyak tantangan yang menghadang di depan kita. Diantara tantangan tersebut terangkum dalam penjelasan berikut :
1. Pemilahan Sampah Dari Sumber Masih Naik-Turun
Sebagaimana tujuan awal bahwa pemilahan sampah harusnya dimulai dari skala rumah tangga, dan petugas sampah hanya menerima. Namun yang terjadi kebanyakan warga hanya menyetor sampah organik. Sedangkan penyerahan sampah anorganik masih tercampur. Pada akhirnya petugas pengumpul sampah yang harus melakukan pemilahan.
2. Insentif tidak dianggarkan secara resmi
Pekerjaan terkait pengelolaan sampah bukanlah pekerjaan mudah seperti pekerjaan profesional lainnya. Akan lebih bijak jika perbaikan pengelolaan sampah juga mendapatkan porsi anggaran yang resmi dari pemerintah kota.
3. Belum tergantung pada sistem
Sebagaimana temuan YPBB bahwa dalam proses melaksanakan KBS, terdapat dua kelurahan yang menjadi percontohan ternyata sangat tergantung dengan tokoh penggerak yang berada di RW setempat. Bahkan studi kasus yang diadakan di RW 2 Babakan Sari, warga hanya menyetor sampah organik untuk memenuhi syarat ZWC saja. Sehingga kita tahu lah ya hasilnya seperti apa.
4. Sampah “Ilegal”
Maksud saya di sini adalah sampah yang tidak disetorkan pada petugas sampah yang bertugas. Hal tersebut dikarenakan kebanyakan dari warga tidak mau membayar iuran tiap bulannya, sehingga sampah-sampah yang mereka hasilkan dibuang begitu saja ke lahan kosong atau dibakar. Padahal itu jelas sangat mengganggu dan mencemari lingkungan.
5. Biaya pengelolaan sampah sangat besar
Jangan heran jika anggaran yang diajukan untuk perbaikan pengelolaan sampah nantinya bernilai milliaran. Padahal “hanya” sampah. Namun sampah inilah justru yang menjadi sorotan utama baik dari sisi ekonomi hingga lingkungan. Untuk mengelola satu ton sampah saja, kita harus mengeluarkan biaya di atas seratus ribu rupiah. Ini berarti kalau yang dikelola setiap hari seribu ton, biaya yang dibutuhkan hampir seratus juta untuk setiap harinya.
Bagaimana dengan satu bulan? Satu tahun? Itu pun jika jumlah sampahnya hanya 1 ton per hari. Bagaimana jika lebih dari itu? Semua pengelolaan tersebut tentu membutuhkan biaya yang besar ya teman-teman.
Oleh karena itu yuk deh kita bantu apa saja yang kita bisa terkait perbaikan pengelolaan sampah ini. Karena kalau tidak dipikirkan dan dicari solusinya mulai sekarang, lalu kapan lagi? Apakah kita hanya akan menyisakan gunungan sampah untuk anak cucu nanti?
Tugas Besar Pengelolaan Sampah Untuk Kita Semua
Inilah tugas besar kita. Jika kita bisa mengurangi timbunan sampah hingga 500 ton sehari saja, saya yakin semua yang dicita-citakan demi bumi yang lebih baik akan terwujud. Selama YPBB, DLH Kota Bandung, dan BJBS terus bersinergi dan bekerjasama menciptakan sistem yang kokoh dan terintegrasi hingga masyarakat bawah, insya Allah kita bisa mencapai tujuan menuju Zero Waste Cities bersama-sama.
Tentu tidak hanya berhenti pada kegiatan edukasi dari rumah ke rumah, namun juga kita melaksanakan pelatihan petugas pengumpul sampah, pembangunan infrastruktur pengolahan sampah hingga menciptakan regulasi yang ketat dan kuat untuk mendukung tujuan bersama ini.
Selain itu penerapan pengelolaan sampah yang sudah berjalan hingga saat ini juga sebaiknya dipertahankan, sebagaimana yang sudah dilakukan juga di negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura yang memberlakukan hari penyetoran sampah.
Berharap banget kota Malang yang saya tinggali juga bisa seperti ini. Setidaknya mencontoh kota Bandung meskipun belum sempurna, tapi mereka sangat berusaha menciptakan ZWC itu sendiri.