Buku Fisika Marthen Kanginan adalah salah satu buku yang tak bisa kucintai, bahkan sampai saat ini. Kisahku dengan buku fisika Marthen Kanginan bermula saat aku duduk di bangku SMA. Kata orang, masa dimana seorang remaja sedang mencari jati diri. Begitupun aku, masih mencari apa sebenarnya yang aku inginkan.
Kisah bersama Buku Fisika Marthen Kanginan
Aku selalu merutuki halaman demi halaman buku di depanku ini. Aku yang duduk di bangku ketiga dari papan tulis, selalu mengantuk ketika diperintahkan guru untuk membaca sepuluh menit dari bab “Gaya”.
Buku ini tebal, isinya sama sekali tidak menghibur. Hanya ada deretan kalimat dan angka-angka. Bahkan ketika ada apel jatuh dari pohon, dibahasnya lah topik itu hingga tuntas sampai pada pembahasan berapa kecepatan apel yang jatuh dari pohon, berapa jarak yang ditempuh dari dahan hingga tanah, serta berapa gaya yang dihasilkan dari peristiwa jatuhnya apel.
Kemudian kita diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semisalnya. Betapa boring nya aku saat itu.
Membaca hanya satu halaman saja sudah membuatku menguap, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kelas, menatap kembali buku didepanku, mencoba membacanya dengan terpaksa tapi hasilnya tetap saja aku menguap, ingin tidur.
Hingga pada saat guru meminta untuk mengerjakan soal di halaman selanjutnya, aku yang tidak serius membaca materinya hanya bisa melongok ke samping kiri atau kanan, depan atau belakang.
“Eh gimana cara nya nomor 1?”
Kemudian teman sebangku yang baik hati pun akan merelakan waktunya dua atau tiga menit untuk mengajariku memakai rumus dalam mengerjakan soal.
“Oh gitu ya, ngerti-ngerti, makasih ya! ” ucapku seraya langsung mengerjakan soalnya.
Tapi lima atau sepuluh menit kemudian, aku berkali-kali membaca soal nomor berikutnya sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.
“Duh, ini gimana lagi ya model soalnya?” aku menggerutu sendirian. Tapi tetap saja didengar oleh teman sebangkuku, juga teman di belakang atau depanku.
Teman sebangku yang berkacamata dan baik hati pun masih serius dengan soalnya. Tak lama, dia hanya tersenyum melihat gelagatku yang ingin meminta bantuan (“lagi”). Teman sebangku yang setia ini adalah kutubuku dan partnerku membaca. Tentu saja membaca komik, bukan buku-buku berisi teori-teori hukum Newton, Fluida atau Termodinamika. Dia yang sangat rajin mengerjakan soal-soal dari buku karangan Marthen Kanginan ini selalu membantuku jika aku merasa kesulitan untuk menyelesaikan apa yang sudah diminta oleh guru kelas kami.
Aku yang selalu dimanja oleh temanku tadi tumbuh menjadi seseorang yang selalu bergantung padanya jika pelajaran itu datang lagi dalam keseharianku. Hingga akhirnya waktu ujian tiba, kami harus berpisah dan tidak lagi bisa duduk sebangku.
Terpaksa aku harus membaca dan mempelajari buku itu sendiri, meskipun dihiasi dengan tangisan berdarah. Lebay, iya memang. Sampai waktu ujian tiba pun, aku hanya bisa mengerjakan lima puluh persen dari jumlah soalnya. Pasrah. Aku memang tidak ditakdirkan untuk betah berlama-lama duduk, membaca dan memahami isi kepala Bapak Marthen Kanginan. Sampai pada ujian masuk perguruan tinggi negeri pun aku masih juga tidak menyukai nya. Tidak juga berusaha untuk memahami dan mencintainya. Sungguh, cinta memang tidak bisa dipaksakan. Aku hanya pasrah dan berdoa, serta tidak lupa menghitung kancing untuk menjawab soal pilihan ganda yang selalu muncul ketika ujian tiba.
Untungnya aku hanya bertemu dengannya sampai semester kedua perkuliahan. Setelahnya, aku merayakannya dengan buku-buku pilihanku sendiri. Kemudian segera menutup lembaran hidup bersama dengan anak turunan buku karangan Bapak Marthen Kanginan.
Maaf ya Pak, bukannya saya membenci buku Bapak. Tapi saya tidak bisa dipaksa mencintai buku Bapak.
Ada yang punya perasaan yang sama denganku?
Ini contoh penampakan buku yang tidak berjodoh denganku, Buku Fisika Marthen Kanginan untuk SMA. Epic banget ngga sih buku ini?
Semoga suatu saat aku bisa membacamu dengan hati senang, riang dan bersemangat ya :p
Adakah yang masih menyimpan buku Fisika Marthen Kanginan inikah di rumah? Atau bahkan mungkin teman bloger ada yang suka sekali dengan buku ini? Bagi tipsnya dong di kolom komentar bagaimana caranya menyukai buku ini, hehe..
Kayaknya saya ingat siapa beliau ππππ
Hahaha kayaknya kita pernah membaca buku yang sama, hihi
Yes, tpi saya brhenti di kelas 2 sma kak ji, krna kls 3nya IPS πΆπΆ
Beruntunglah mb dini, pas masaku dulu kelas 2 sudah penjurusan πππ
Lah, kan ‘masa’nya dluan aku kak ji…aku lulus 2003 lho.. *tuwa
Cinta yang dipaksa tidak akan berbuah manis. π
Ewkwkwk bener banget ππ
Hahaha. Baper mode on.
Bapak legendaris yang namanya tersohor seantero anak-anak sekolahan, hehehe
Seangkatan kita kayaknya mbaJi
wah aku anak IPA juga dong, eh tapi nggak pernah nemu buku ini deh. Apa karena beda zaman yak? hhihi..
Waduh, dulu pakai buku fisika apa dong? Jangan2 aku yg ketuaan nih πππ’
[…] (biasa disebut keunikan perspektif) lalu dinarasikan dengan bahasa yang luwes, tidak kaku seperti buku pelajaran. […]