My Beauty Journey – Skincare, Kosmetik, dan Perjalanan Menjadi Cantik

Kalau ada yang bilang menjadi cantik hanya dengan air wudhu maka jangan berpuas diri dengan jawabannya yang seperti itu. Kamu juga harus menengok bagaimana gaya hidupnya untuk memenuhi kebutuhan perutnya dan juga skincare yang ada di meja riasnya. Ngga mungkin kan dia pake bedak yang terbuat dari air wudhu yang dikemas dalam bentuk padat?

My Beauty Journey adalah perjalanan yang panjang. Tak jarang menyisakan pedih hingga dendam.

My Beauty Journey banyak memberikan pelajaran. Yuk simak sampai khatam.

my beauty journey

My Beauty Journey 

Masa-masa SMA adalah masa paling kacau sepanjang hidupku. Kacau dalam arti perawatan diri sendiri. Aku yang tidak begitu memperhatikan penampilan jadi minder ketika berjalan dengan kawan-kawan sekelas yang kebanyakan dari mereka sudah mulai merawat diri mereka. Aku yang tomboy ini bahkan tidak mengenal apa itu facial wash, apalagi macam-macam merk pewarna bibir yang kalau dijejer warnanya pasti tidak bisa membedakannya. Mana yang warna merah, pink, pink setengah merah, merah tua, merah setengah jingga, merah maroon, dan sejenisnya. Meskipun wajah berjerawat karena pengaruh hormon saat menstruasi datang, aku tetap saja masih belum mau untuk memulai merawat wajah. Aku hanya memakai sabun cuci muka milik ibuku yang bahkan aku tak ingat apa merk dan ciri-cirinya. Kadang cuci muka hanya memakai sabun mandi. Parah banget, kan?

Suatu ketika saat kelas 2 SMA, seorang teman bernama Andien yang dandanannya paling cantik dan hits saat itu menasehatiku untuk memakai perawatan wajah. Aku ingat sekali dia memberikanku satu buah facial wash dengan kemasan berwarna biru, katanya ini akan membuat wajahku nampak lebih cerah. Aku hanya tersenyum tipis. Aku tahu dia perhatian denganku dan mungkin sekaligus prihatin melihat wajahku yang kusam. Pantas saja tidak ada lelaki yang mau dekat denganku. Begitu pikirku. Tapi aku pun tak masalah, saat itu aku pun tak memikirkan lelaki manapun. Aku hanya menikmati masa-masa SMA ku dengan hobi yang kusukai. Aku mengingat pemberian Andien hingga saat ini. Itulah skincare pertama yang kupakai.

Sesampainya di rumah, aku mencoba memakai facial wash yang diberikan Andien sebelum tidur. Segar ya, batinku. Aku mematut diriku di depan kaca. Ih ngga jelek-jelek amat kok, batinku. Kepercayaan diriku mendadak melambung satu tingkat setelah memakai facial wash pemberian Andien. Lebay memang, tapi jujur saja itulah yang kurasakan saat memulai perawatan wajah pertamaku. Lalu aku bilang pada ibuku bahwa mulai sekarang aku ingin membersihkan wajah. Ibu memberikan peralatan untuk membersihkan wajahnya dan menjelaskannya satu persatu padaku. Aku hanya mengangguk-angguk dan berjanji akan memulai merawat diri. Untuk diriku sendiri.

Keesokan harinya aku bercerita pengalaman pertamaku memakai facial wash pada Andien dan teman-teman dekatku di kelas. Awalnya mereka tertawa dan tampak tak percaya aku bisa berubah pikiran secepat itu untuk mempercantik diri. Namun kemudian aku bersyukur bahwa mereka mendukungku juga. Bahkan banyak dari mereka memberikan rekomendasi padaku bedak apa yang cocok kupakai, pelembab bibir apa saja yang harus kupilih, dan segala macam tetek bengek yang seketika membuatku bingung mau memakai apa. Kuputuskan aku hanya memakai facial wash dan bedak saja. Sudah cukup, aku tidak terbiasa memakai sunblock, lipbalm, atau segala macam peralatan make up yang mereka tawarkan.

Sepulang sekolah Andien menemaniku untuk membeli facial wash sesuai dengan jenis kulitku serta bedak rekomendasinya yang cocok kugunakan ke sekolah atau keluar rumah sekalipun. Aku menurut dan mulai mempraktekkannya keesokan harinya. Namun sekitar tiga hari setelah pemakaian, jerawat jadi makin subur tumbuh di wajahku. Kata Andien itu adalah proses penyesuaian kulit, biarkan saja nanti akan hilang sendiri. Begitu katanya. Namun kepercayaan diriku semakin merosot ketika melihat bayangan diriku di depan cermin. Apalagi saat itu ada seseorang yang kusukai. Tidak mungkin aku menghadapinya dengan muka penuh jerawat seperti ini kan? Aku mulai mengutuk facial wash, bedak dan segala tetek bengek yang diberitahukan Andien padaku. Percuma, harusnya aku tidak mengikuti saran mereka.

Kegalauan di masa SMA belum apa-apa karena hanya sekedar masalah jerawat yang ada di wajah. Saat memasuki bangku perkuliahan masalah bertambah dengan hidung yang berkomedo dan bibir kering yang membuatku tidak tahan melihat bayanganku sendiri di cermin. Aku belum mengenal daycream, nightcream, serum, dan semacamnya. Aku meminta saran pada ibuku yang kulitnya selalu tampak awet muda dan kencang. Apalagi aku dan ibuku sama-sama memiliki kulit putih. Kelemahannya jika ada jerawat satu saja, akan tampak sangat mengganggu dan kontras sekali dengan warna kulitku. Namun kulihat sejak kecil, ibuku tidak pernah berjerawat.

“Ibu tuh ya seusia kamu udah rajin pake masker beras, lidah buaya, ketimun, apa saja dibuat masker. Sisa kopi Bapaknya Ibu yang selesai diminum itu juga bagus buat wajah. Harus telaten, ngga boleh males.” Begitu nasihat beliau padaku yang sedang meminta sarannya untuk memperbaiki kulitku yang sudah telanjur dihiasi dengan jerawat.

“Yah Buk mana sempat aku bikin masker dari beras, lidah buaya juga, praktikum aja sampe malem terus.” Jawabku tak mau kalah dengan alasan yang sebenarnya dibuat-buat.

“Coba aja pake cream ibuk nih, dibeliin Ayah. Tapi itu mahal, makenya tipis-tipis aja. Terus tidak usah pakai bedak setelah pakai itu. Coba aja.” Katanya sambil menyodorkan satu botol kecil cream transparan yang memang tampak mahal dan eksklusif dari kemasannya.

“Berapa nih Buk kalau beli?”

“400ribu! Ibu pakainya kalau pas mau keluar aja. Sebenarnya harus dipakai siang dan malam sebelum make up dan menjelang tidur, tapi dipakai mau keluar aja kulit sudah bagus kok. Sayang uangnya mending buat makan.” Katanya cuek. Aku tersenyum dan beterima kasih atas sarannya dan akan mulai mencobanya keesokan harinya.

Benar saja, cream yang diberikan Ibu enak sekali dipakai, meskipun agak terasa berat di wajah. Entah apa itu namanya aku tak tahu. Aku memakainya saat akan pergi kuliah saja, dan rasanya wajah tampak lebih cerah. Tahan lama hingga aku pulang praktikum sekalipun. Aku menabung dan bertekad untuk membeli cream seperti punya Ibu. Inilah yang pertama kutau tentang daycream dan night cream milik salah satu perusahaan kosmetik ternama dari Swiss. Kata teman-teman wajahku juga nampak lebih cerah dan terlihat segar. Ah, ini toh ternyata rahasia Ibu selama ini. Jadi tidak hanya masker beras, lidah buaya dan ketimun seperti yang beliau ceritakan itu, tapi rahasianya juga ada pada cream ini. Ah bohong kalau hanya cantik dengan air wudhu, cantik juga butuh pengorbanan. Iya, berkorban dompet makin tipis.

Namun perjalananku tidak berhenti disini, cream yang kupakai ternyata tidak juga mengobati bekas jerawat dan komedo yang masih betah hidup bersama dengan kulit wajahku. Kemudian aku memutuskan untuk berpindah perawatan wajah dengan yang lebih murah. Mahal-mahal tapi hasilnya tidak maksimal, begitu pikirku saat itu. Apalagi saat itu aku sedang dekat dengan seorang lelaki. Tidak mungkin aku akan kembali seperti pada masa-masa SMA yang acuh pada kulitku. Berbagai upaya kulakukan agar aku bisa cantik, glowing. Tapi nyatanya untuk menjadi cantik tidak bisa instan. Beruntung aku mengenal lelaki ini, yang tidak masalah dengan dandananku yang sedikit tomboy.

Namun berganti tahun pandanganku terhadapnya ternyata salah. Siapa sangka lelaki itu berselingkuh di belakangku. Tentu saja dengan wanita yang menurutku biasa saja. Oke ini memang usaha untuk menghibur diri, dan usahaku cukup sukses agar hatiku tidak begitu sakit. Tapi ada satu yang tak kupunyai seperti yang wanita itu punya. Dia punya kemampuan untuk memoles wajahnya dengan sangat baik. Dia dandan. Dia cantik mungkin, meskipun lebih terlihat seperti ibu-ibu daripada mahasiswa. Oke ini usaha menghibur diri lagi. Tapi tetap saja aku merasa kalah darinya.

Tentu saja aku tidak membiarkan diriku dibohongi untuk kedua kalinya dengan menolak ajakannya untuk kembali dan memperbaiki hubungan dari nol. Tidak akan pernah. Aku bukan wanita sebodoh dan seculas itu. Meskipun hatiku patah dan kepercayaan diriku terjun bebas, tapi aku tidak membiarkannya jatuh terlalu dalam dengan mengurung diri di kamar. Menonton drama korea hingga air mata habis dan kelopak mata membengkak. Tujuh hari tidak masuk kuliah demi pemulihan hati dan jiwa yang remuk redam. Tidak menerima telepon dan pesan dari siapapun. Aku betul-betul menghabiskan kesedihanku dalam waktu satu minggu itu dengan melakukan apa saja yang membuat hatiku tenang. Inilah patah hati pertama kalinya dalam hidupku.

Aku bisa saja membalas dendam dengan menerima kembali lelaki itu dan suatu saat bertekad akan menjatuhkannya sesakit mungkin. Tapi aku sadar apa yang terbersit dalam kepalaku itu tidak akan membuatku lebih baik. Aku hanya akan memupuk penyakit hati yang tidak akan pernah usai dengan hanya satu kali balas dendam. Hubungan yang sudah berakhir ini kemudian membuat pikiranku lebih terbuka dan tidak mudah percaya dengan rayuan gombal lelaki manapun. Aku bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih produktif.

My Beauty Journey, Perjalanan Menjadi Cantik

Mulai dari hal itulah aku memperbaiki perlahan apa yang sudah kutinggalkan. Kumulai kembali hobi menulis dan menggambar yang sudah lama tidak kulakukan. Aku juga mulai menabung untuk membeli skincare yang lebih lengkap dan berjanji akan merawat diri sendiri dengan lebih baik. Bukan untuk siapapun, tapi sebagai hadiah untuk diriku sendiri. Meskipun butuh biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk memulai hidup sehat dan kulit yang terawat, aku merasa kepercayaan diriku mulai kembali lagi. Kata teman-teman wajahku juga menjadi lebih cerah dan glowing. Terang saja, aku mulai memakai serum, day cream, night cream, sunblock, lipbalm, dan juga bedak. Karena balas dendam terbaik adalah dengan berusaha untuk mengukir prestasi dan memperbaiki diri hingga lelaki di masa lalu itu akan menyesal pernah mengukir luka dalam hatiku. Aku pun lega melihatnya memohon-mohon penuh penyesalan, bersikeras untuk kembali. Inilah balas dendamku untukmu, begitu batinku.

Aku dipertemukan dengan Mbak Yayuk, seorang teman yang kukenal dari sebuah organisasi sosial yang kuikuti. Dialah yang mengenalkanku pada skincare halal dan terjamin kualitas bahannya. Bahan-bahan yang digunakan dalam skin care tersebut berasal dari minyak zaitun, moringa, habbatus sauda’ , lidah buaya, daun kelor, bunga-bungaan dan berbagai bahan alami lain. Harganya juga tidak terlalu mahal, sedang-sedang saja dan sungguh memang worth it dengan hasil yang kudapat.

Kupertahankan hingga saat ini, hingga aku memiliki suami yang menerimaku baik dalam keadaan kusam maupun bersinar. Suami yang menerimaku dalam keadaan apapun. Kata konsultan kulitku, air putih memang penting untuk merawat kelembaban kulit, juga menjaga ph kulit sehingga tidak mudah berjerawat. Aku pun mulai membiasakan hidup sehat dengan mengurangi makan makanan yang tidak sehat. Makanan berminyak, minuman bersoda atau berkadar gula tinggi, junkfood dan makanan tidak sehat lainnya. Begitulah, untuk menjadi cantik tidak cukup dengan menjaganya dari luar, tapi juga dari dalam dengan memakan makanan yang sehat dan banyak meminum air putih. Hal ini sudah kubuktikan hingga saat ini. Jerawat pun jadi jarang sekali muncul di wajahku sejak aku menerapkan pola hidup sehat dan tentu juga dengan merawat dan menjaga kebersihan wajahku dengan rangkaian skincare yang sudah kupercaya kehalalan dan kealamiannya.

Aku sampai pada kesimpulan bahwa menjadi cantik itu memang butuh pengorbanan. Bagi mereka yang tak punya waktu untuk membuat masker alami dari bahan-bahan yang sudah tersedia di alam, maka ada alternatif lain skin care yang sudah banyak sekali beredar di Indonesia. Pilihannya banyak, dan tentu saja ada harga ada rupa. Jika tidak ada waktu, maka alternatif lainnya adalah mengeluarkan lebih banyak biaya untuk perawatan. Lalu yang tidak kalah penting adalah,

menjadi cantik itu dimulai dari isi kepala, bukan dari wajah

perjalanan menjadi cantik

Disclaimer : Tulisan ini dimuat dalam Buku Antologi berjudul My Beauty Journey, Penerbit Laksana, Imprint DivaPress bersama penulis terpilih lainnya, Cetakan Pertama, 2019.
Judul terinspirasi dari Novel Eka Kurniawan berjudul Cantik itu Luka