Kalau dulu senang menampilkan fashion terbaru, sekarang sudah tidak lagi peduli dengan itu. Kalau boleh meminjam kalimat dokter Grace Natalie, “saya sudah selesai dengan semua itu.”
Sudah saatnya selesai. Sudah saatnya saya menginvestasikan harta pada hal-hal yang bermanfaat, apalagi untuk bisnis. Bisa jadi nilai plus kan.
Sebelum Isya hadir, saya membelanjakan gaji bulanan dari suami itu untuk buku dan menabung. Hasilnya saya lebih punya tujuan dan prestice untuk dibanggakan. Bukan pamer, hanya saja untuk menyenangkan diri sendiri memang tidak harus cantik dan dipandang banyak orang. Tapi bisa juga dengan menambah wawasan serta keilmuan untuk dibagikan pada yang lain. Begitulah saat ini saya berpikir.
Entah mengapa belanja buku lebih terasa melegakan dan membekas di hati. Pun dengan tulisan yang bisa saya buat dari buku itu. Rasanya seperti menciptakan kenang-kenangan untuk diri sendiri, meskipun pada akhirnya tulisan itu juga dibaca orang lain.
Jadi untuk belanja baju lebaran, apalagi sekarang dengan hadirnya Isya rasanya kok tidak ada keinginan untuk itu yaa.
Alhamdulillah baju masih banyak yang bagus dipakai saat Hari Raya, jadi tidak mesti baru kan? Lalu kebiasaan lebaran tanpa baju baru pun akhirnya sudah kami jalani dua atau tiga tahun belakangan. Sudah malas aja gitu. Kalau lagi butuh atau memang lagi ada yang dipenginin baru deh beli. Ngga harus nunggu lebaran.
Hanya saja bagi teman-teman yang memang punya passion pada urusan baju atau designnya, ya itu pilihan. Yang berbelanja baju baru dan yang tidak, sama-sama baiknya kok. Hanya saja mudah-mudahan tidak menjadi kebiasaan buruk sehingga baju-baju banyak yang tidak terpakai dan akhirnya tertimbun begitu banyaknya di dalam lemari. Sebuah cara dari seseorang (saya lupa dari siapa pertama kali muncul ide tentang manajemen lemari) saya terapkan beberapa tahun belakangan. Hasilnya lumayan, saya jadi berpikir berkali-kali sebelum memutuskan untuk membeli baju baru.
Bagaimana caranya? Beli satu keluar satu.
Maksudnya, sebelum memutuskan untuk membeli baju baru, kita juga harus memikirkan bagaimana caranya ada satu baju yang keluar dari lemari kita. Jika tidak ada satu pun yang layak untuk keluar dari lemari (entah itu untuk diberikan pada orang lain atau dijual lagi), maka jangan keburu membeli yang baru. Begitulah peraturannya. Dan sebaliknya, jika ada baju yang bisa kita keluarkan dari lemari, maka bolehlah kita beli baju yang baru. Jumlahnya pun harus sesuai dengan baju yang keluar. Seperti itulah salah satu cara ampuh yang sudah saya buktikan menahan nafsu untuk selalu beli baju baru, padahal tidak butuh.
Adapun di musim lebaran seperti ini. Sepertinya baju baru sudah layaknya sebuah budaya atau tradisi di hari raya Idul Fitri. Rasanya tidak ada lebaran kalau tidak ada baju baru. Padahal tidak demikian. Mungkin hanya euforia belaka, bahwa orang tua kita dulu memang ingin memberikan hadiah bagi anak-anaknya yang sudah berhasil melewati puasa selama tiga puluh hari penuh. Baik itu dengan baju, sepatu, atau barang-barang lain. Namun, bukan berarti tradisi ini buruk, tidak. Hanya saja orang-orang yang sesungguhnya tidak berpunya akhirnya terpaksa harus mengabulkan permintaan anaknya untuk membeli baju baru. Padahal untuk makan sehari-hari saja mereka dibantu. Maka hal seperti inilah yang harus dirubah, agar masyarakat tidak menganggap bahwa punya baju baru ketika lebaran itu harus. Tidak.
Yang harus baru itu hati dan kebiasaan saat Ramadan untuk dilanjutkan setelah bulan penuh kemuliaan berlalu kan. Kebiasaan tadarus Quran harus lanjut. Juga salat qiyamul lail (tahajud), serta berinfaq secepat angin meniru Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam. Jadi kalau untuk baju baru rasanya kok sudah selesai ya. Sudah cukup.
Apalagi di masa pandemi seperti ini, anggaran baju baru tahun ini bisa dong disumbangkan untuk tetangga atau orang-orang sekitar kita yang sangat membutuhkan. Kapan lagi kita diberi kesempatan untuk beramal di hari raya yang agung?
#BPNRamadan2020
[…] Baca Selengkapnya […]